Ayah Jovanka saat melewati taman, melihat mobil anaknya terparkir di sana.
“Bu, itu mobil Jovanka, kan?” tanya Ayah Jovanka.
“Mana, yah?” tanya Nyonya Nesa menghadap ke arah yang berbeda dengan ayah Jovanka. Kemudian, Ayah Jovanka dengan perlahan melajukan mobilnya ke arah mobil anaknya itu.
“Itu,” ujarnya dengan menunjuk ke arah mobil Jovanka.
Beliau memarkirkan mobilnya gtepat di belakang mobil anaknya. Lalu dengan menahan amarah, Ayah Jovanka dengan cekatan turun dari kobil dan menghampiri mobil anaknya itu.
“Jovanka!” teriak ayahnya bersamaan dengan membuka mobil anaknya.
Jovanka menoleh dengan tatapan yang sayu dan air mata yang masih menetes ke pipinya.
“Ya Allah, Nak. Kamu kenapa?” tanya Nyonya Nesa yang merasa khawatir saat melihat keadaan anaknya yang tak baik-baik saja.
“Ayo, pulang. Ikut Ayah,” ajak ayahnya.
Para pengawal pun dengan cekatan menghampiri mereka.
“Lepaskan!” teriak Jovanka dengan menghempaskan tangan ayahnya. Dia yang biasa lembut, saat ini mendadak kasar kepada orang tuanya.
Plak!! Ayah Jovanka yang sudah tersulut emosi sebab telepon yang diabaikan, saat ini amarahnya memuncak gara-gara perlakuan anaknya yang seperti ini. Jovanka terdiam sembari menatap ayahnya dengan mata yang sedikit membengkak.
“Kita pulang!” ajak ayahnya dengan menarik tangan Jovanka sedikit kasar.
“Ayah, jangan kasar-kasar. Kita nggak tahu, apa yang membuat dia seperti ini. Beri dia pengertianlah,” pinta Nyonya Nesa.
“Pengawal, tolong bawa mobil Jovanka, biar dia ikut mobil kami!” perintah Ayah Jovanka saat ini.
"Baik, Tuan," jawab pengawal.
Jovanka di masukkan ke dalam mobil dengan ditemani ibunya sembari merengkuh tubuhnya anak gadisnya itu. Sedangkan ayahnya, melajukan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi.
"Jovanka, apa sebenarnya yang terjadi? Ceritalah, Nak. Kalau kamu seperti ini, nantinya malah membuat ayahmu semakin murka," ujar ibunya mencoba membujuk anaknya itu.
Jovanka hanya bisa menangis sesenggukkan. Dia bingung, harus menjelaskan seperti apa. Dia tahu, nantinya kedua orang tuanya pasti murka terhadapnya.
"Nggak punya telinga, hah? Kenapa nggak di jawab? Tuli? Atau bisu?" hardik ayahnya.
Jovanka hanya sanggup menangis sesenggukkan, tak mampu menjawab pertanyaan dari ayahnya. Dia takut ayahnya murka saat ini. Dia bicara salah, apalagi tak menjawab masalah apa yang mempengaruhi dia menangis saat ini.
"Jo, bicaralah. Kami ini orang tuamu, kami tempat teraman kala kamu mengatakan apa masalahmu saat ini. Mungkin, kami bisa membantu meringankan sedikit bebanmu," bujuk ibundanya lagi.
Jovanka menggelengkan kepalanya dalam dekapan ibunya itu.
"Nggak usah di tanya lagi. Buang-buang waktu aja. Biarkan dia bungkam sekalian."Ayah Jovanka yang tersulut emosi hanya bisa marah-marah melihat anaknya seperti ini. Beliau adalah tipikal orang tua yang keras kala mendidik anak.
Ibunya Jovanka pun juga terdiam. Beliau takut, jika suaminya semakin murka dan terjadi apa-apa dengan mereka saat ini. Sesampainya di rumah, ibunya bergegas membawa anaknya masuk ke dalam kamar Jovanka sendiri, beliau takut jika suaminya tak terkendali kala melihat anaknya seperti ini. Ibu Jovanka mengamankan anaknya di dalam kamar dan menutup pintu serta menguncinya.
"Jo, hayuk bilang. Ini Ibu kamu, bolehlah aku mendengarkan apa yang kamu alami. Jika kamu tak enak memosikan Ibu sebagai orang tuamu, jadikan ibu sebagai sahabat yang sanggup menampung segala kepedihan yang tergores dalam hati kamu. Apa Adelio menyakitimu?" tanya Nyonya Nesa.
Jovanka lagi-lagi menggelengkan kepala.
"Ayolah, Jovanka. Kamu dan Adelio jangan membuat kami pusing, bicarah apa yang sebenarnya terjadi anatar kalian berdua. Ibu hanya ingin tahu duduk masalah dari masalah kalian berdua itu. Bicaralah, Nak."Ibu Jovanka terus menerus mencoba membujuk anaknya.
"Maafkan aku, Bu. Aku yang salah," Jovanka merengkuh tubuh ibunya.
"Jelaskan, Nak. Ibu akan mencoba mengerti," ujar ibunya.
Jovanka mencoba menjelaskan masalah perselingkuhannya dengan Rey.
"Aku menduakan Adelio, Bu. Aku jahat kepadanya, aku kelewatan dengannya." Jovanka menangis sesenggukkan. Dia tahu, jika ibunya mendengar juga akan murka seperti ayahnya. Walaupun beliau berkata tak akan marah atau pun mencoba melindunginya, tetapi rasa kecewa akan menggiring amarah itu menghampirinya.
"Oke, namanya orang pacaran itu kamu yang salah. Kamu seharusnya meminta maaf ke Adelio. Oke, Ibu tahu jika sulit bagi dia untuk memaafkan kamu, tapi yang aku bingung. Kenapa Adelio yang tersakiti malah kamu seolah-olah dalam posisi korbannya?" tanya ibunya.
Jovanka menatap ibunya dengan lekat. Dia bingung harus mengatakannya. Mulutnya seakan-akan terkunci rapat.
"Jovanka, ada apa ini? Ibu merasa ada hal lain yang masih kamu sembunyikan dari Ibu. Bicaralah atau kamu memang niat menunggu kedua orang tuamu murka," pinta ibunya sembari menaikan nada bicaranya.
"Aku hamil, Bu," ujar Jovanka dengan berbisik.
Ibu Jovanka terperangah kala mendengar ucapan anaknya.
Plak!! Tamparan keras mendarat tepat di pipi kanan Jovanka.
"Ibu boleh tampar aku sesuka hatimu, kalau perlu hajar aku sampai meninggal aku rela, Bu. Aku mencoreng nama keluarga kita." Jovanka memegang tangan ibunya sembari memukul-mukulkannya di kepalanya.
Ibu Jovanka menghempaskan tangan anaknya.
"Aku gagal menjadi seorang Ibu. Aku Ibu yang buruk, yang tak mampu mendidik anaknya dengan baik." Ibu Jovanka memukulkan tangannya ke tembok hingga berkali-kali sampai tangannya terluka.
"Ibu, berhenti!" Jovanka menangis sembari menahan tangan ibunya. Tetapi rasa kecewa yang teramat sangat menyakitkan membuat ibunya masih tetap melakukan hal yang sama.
"Kebahagiaan seorang Ibu ketika melihat anaknya sukses dan kesedihan terdalam ibu itu juga dari anak yang tak mampu mengindahkan amanah yang selama ini mencoba di terapkan ke anaknya sejak dini. Aku gagal Ya Robbi. Duniaku serasa hancur, tolong cabut nyawaku sekarang!" teriak ibunya.
"Ibu!" teriak Jovanka dengan memeluk tubuh ibunya.
Seketika yang di luar mendengar mereka berdua merasa panik.
"Kenapa, Ibu?" tanya ayah Jovanka dengan mencoba membuka pintu kamar anaknya.
Tak ada sahutan dari mereka berdua, hanya terdengar isak tangis yang membuat ayah Jovanka semakin panik.
"Ambilkan kunci cadangan kamar ini!" perintah ayah Jovanka.
Para pengawal dengan cekatan mengambilkannya dan di berikan ke ayah Jovanka. Beliau membuka pintu dan melihat istrinya terduduk di lantai dengan di peluk anak gadisnya.
"Ada apa ini?" tanya ayahnya Jovanka yang masih mencoba tegas meski dalam hatinya merasa khawatir.
"Ibu hancur, Yah. Anak yang kita banggakan ...." Ibu Jovanka menggantungkan ucapan sehingga membuat suaminya merasa penasaran.
"Ada apa dengan Jovanka? Bilang yang jelas dong, Bu," pinta suaminya.
"Di-dia hamil, Yah." Tangis sesengukkan kembali terdengar bahkan lebih keras.
Ayah dari Jovanka matanya terbelalak lebar mendengar kenyataan yang mampu menyayat hatinya dalam sekejab. Beliau melangkah mundur, hingga tubuhnya teratuk ke tembok.
"Ayah nggak salah dengarkan ini?" tanya Ayah Jovanka yang merasa runtuh.
Jovanka hanya menggelengkan kepalanya.