Jovanka hanya sanggup menangis dengan merengkuh tubuh mamanya. Dia tak tahu harus mencari kekasihnya itu di mana lagi. Kos ini adalah tempat terekahir untuk mencarinya.
Tak banyak hal yang ia tahu dengan kekasihnya itu. Dia sama sekali tak mengetahui asal usul dan seluk beluk latar belakangnya sama sekali.
Perlahan tubuh Jovanka melemah, meski kesadarannya masih terjaga penuh. Wajahnya pucat pasi, antara syok dan kelelahan. Usia kandungan yang masih muda, membuat tubuhnya terbatas untuk melakukan hal ini. Pikirannya sangat kalut, buntu membuat otak dan tubuhnya seakan-akan berperang. Otaknya menginginkan untuk terus mencari, tapi tubuhnya sudah tak mumpuni. Dia juga bingung, harus ke mana lagi dan kepada siapa dia harus menanyakan hal ini.
“Kita cari ke mana lagi?” tanya Rey.
Jovanka hanya bisa menjawab dengan menggelengkan kepalanya.
“Lalu, bagaimana kita mencarinya lagi, Yah?” tanya ibunya Jovanka. Ibunya juga panik, mencemaskan masa depan anaknya tak tahu harus bagaimana. Dia juga tak mungkin menutupi hal ini, sebab perut akan semakin membesar perharinya.
“Aku nggak tahu, Bu. Ini adalah tempat terakhir yang aku tahu. Aku harus bagaimana?” tanya Jovanka.
“Pulang! Nggak usah dicari lagi. Kamu harus tanggung apa yang sudah kamu perbuat.” Ayah Jovanka menarik tangan anaknya menuju mobil yang tadi mereka kendarai. Jovanka yang merasa bersalah hanya sanggup nururt tanpa melakukan perlawanan. Sedangkan Rey dan mamanya hanya sanggup menatap tanpa membantunya. Mereka tak berani ikut campur ditengah keluarga yang baru saja mereka kenal. Mereka tahu jika rasa kecewa yang di rasakan ayah Jovanka sangat tinggi sehingga takut untuk ikut campur masalah ini.
Mama Rey merengkuh tubuh dari ibu Jovanka. Beliau mencoba menenangkan kesedihannya. “Sabar ya, Mbak. Semoga di tengah musibah ini ada kebaikan yang lain, ya. Kamu yang sabar, yang kuat untuk anak gadismu. Kamu jangan sampai down, kasihan dia bakal lebih down dan takutnya malah putus asa.”
“Makasih ya, Mbak. Sebelumnya saya mewakilkan keluarga untuk meminta maaf atas kesalah pahaman ini. Semoga kami selalu kuat untuk mrnghadapi masalah ini. Sumpah, rasanya tak karuan dalam hati tiba-tiba mendapatkan berita duka seperti ini.” Ibu Jovanka kala mengatakan itu sembari menangis sesenggukan tetapi mencoba tetap kuat.
Ayah Jovanka melajukan mobilnya menuju rumah keluarga Rey untuk mengantarkannya pulang. Sesampainya di sana, mereka hanya langsung berpamitan untuk pulang.
“Kami mohon maaf sebelumnya sebab sudah menuduh keluarga Anda yang tidak-tidak dan kami juga berterimakasih atas kesediaan kalian berdua untuk membantu kami,” ujar Ayah Jovanka sebelum kembali melajukan mobilnya untuk pulang.
“Iya, Pak. Kami juga senang hati, semoga masalah ini semoga cepat berlalu, ya,” ujar Rey.
“Makasih ya, Anak. Kami izin untuk pulang dulu, ya.” Ayah Jovanka perlahan kembali melajukan mobilnya menjauh dari rumah keluarga Rey. Awalnya tak ada yang aneh, hanya suasana dalam mobil itu terdengar hening sebab tak ada seorang pun dari mereka yang enggan mengeluarkan suara.
***
Sedangkan di rumah Adelio, dia saat ini lebih nyaman sendirian di dalam kamarnya. Rasa sakit yang teramat sangat sehingga membuat dia linglung. Dia mencoba untuk tak apa-apa, namun hatinya tak dapat untuk di bohongi. Rasa seperti sayatan yang sangat pedih ditorehkan Jovanka begitu saja di dalam hatinya.
“Kenapa?” gumam Adelio.
Tok! Tok! Terdengar suara ketukan pintu di kamar Adelio.
"Iya, siapa?" tanya Adelio.
"Ayah," jawab ayahnya.
"Masuk aja, Yah. Nggak dikunci kok," jawab Adelio sembari menyeka air matanya. Dia tak ingin terlihat lemah di depan ayahnya sendiri.
Perlahan pintu pun terbuka, tampak Tuan Alberic masuk ke dalam kamar Adelio dan menghampirinya.
"Kenapa, Yah? Tumben." Tuan Alberic yang jarang masuk kamar Adelio, membuat anaknya merasa heran aja.
Tuan Alberic tak bergegas menjawabnya, beliau hanya duduk di samping anaknya sembari menatap Adelio dengan lekat.beliau bingung harus memulai perkataan dari mana.
"Kenapa, Yah?" tanya Adelio merasa aneh.
"Kamu kenapa? Apa ada hal yang perlu kamu katakan dan Ayah siap untuk mendengarkannya?" tanya Tuan Alberic.
Adelio yang suka memendam segala masalahnya, memilih tersenyum seraya menggelengkan kepalanya.
"Oke, kalau kamu nggak mau bicara, mungkin ini privasi kamu. Ayah sebagai orang tua, tak berhak mengatur masalah hati, sebab kamu sudah dewasa. Jika untuk sharing, Ayah rasa sih nggak apa-apa. Kita bisa kok minta pendapat ke siapapun itu, misal Adelio ingin bicara dengan Ayah silahkan. Percaya nggak, jika seseorang tak mampu berpikir jernih dan menyelesaikan segala sesuatu itu hanya diri sendiri. Jika kita sedang marah, dalam hati hanya menyuarakan kebencian, begitu juga sebaliknya. Hati tak boleu dominan Sayang. Tak ada manusia yang mampu menyembuhkan luka dalam dirinya sendiri. Paham Adelio?" tanya Ayahnya.
Adelio hanya menganggukkan kepala, namun tetap bungkam akan rasa di dalam hatinya.
"Ya sudah, Ayah kembali keluar ya kalau begitu," ujar Tuan Alberic sembari beranjak dari tempat duduknya saat ini. Namun, baru beberapa langkah, Adelio memanggilnya.
"Ayah," panggil Adelio.
Tuan Alberic tersenyum sebelum menoleh kembali ke arah Adelio. "Iya, Nak."
"Ayah lagi sibuk, nggak?" tanya Adelio.
Tuan Alberic menggelengkan kepalanya.
"Aku boleh cerita soal Jovanka? Itupun kalau Ayah berkenan, kok," ujar Adelio dengan lirih.
Tuan Alberic kembali duduk, sembari menghela napasnya. "Iya, Nak. Ceritalah."
"Yah, sebenarnya aku males untuk ngomong ini, apalagi ke ibu. Aku takut menyakiti hatinya, bagaimana beliau menyayangi Jovanka sebab dari anak sahabatnya sendiri. Jovanka hamil sama orang lain, Yah. Aku sengaja ingin memendam rasa ini, sebab aku rasa cukup aku yang kecewa bukan Ibunda," jelas Adelio.
Tuan Alberic terperangah kala mendengar pengakuan anaknya. Tapi, beliau juga tak tahu harus memberikan solusi seperti apa, sebab diluar ekspetasi sebelumnya.
"Lebih baik kamu katakan ini, Nak. Urusan Jovanka hamil, bukan hak kita untuk marh atau ikut campur sebab kita hanya orang lain yang kebetulan dekat dengannya. Iya, tahu kamu pasti ini sakit sebab dua hal yang membuat kami hancur. Pertama kamu sudah diduakan, yang ke dua, dia memberikan segala hal dalam dirinya untuk pria selingkuhannya. Percayalah, Nak. Allah, akan memberitahukan siapa yang pantas untuk menjadi pasangan kita dan mana yang tidak pantas," ujar Tuan Alberic.
"Iya, Yah. Padahal sebentar lagi, kita tunangan. Eh, nggak tahunya perselingkuhan itu terbongkar dengan sendirinya. Apalagi, aku melihat dengan mata kepala aku sendiri," ujar Adelio.
"Anggap aja bukan jodohmu ya, Nak. Nggak perlu membencinya, justru berterima kasih soalnya dia sudah memberitahukan bagaimana sifat aslinya sebelum kalian terikan tali pernikahan," ujar Tuan Alberic.
Adelio mencoba menganggukkan kepalanya. Dia akan merasa munafik, jika apa yang sudah dilakukan Jovanka tak menimbulkan kebencian dalam hati Adelio. Sekuat apapun dia mengelak, tak bisa di pungkiri sejak pertama kali mendengar penghianatan itu rasa kebenciaannya menancap dalam hatinya.
"Terus, bagaimana keadaan Jovanka saat ini? Apa orang tuanya sudah mengetahuinya?" tanya Tuan Alberic.
"Tadi, Ibunda sudah menelepon ibunya Jovanka. Beliau hanya mengatakan jika hubungan kita berakhir, apapun alasannya aku tadi minta jika ibunya Jovanka bertanya ke anaknya sendiri. Aku hanya takut, Yah. Perkataanku tak dapat dikontrol malah menyakiti hati orang yang harusnya aku jaga, yaitu Ibunda dan ibunya Jovanka. Aku nggak berhak menyakiti hati mereka. Aku hanya berurusan dengannya, bukan krang tuanya."
Adelio mencoba dewasa, tak melibatkan kedua orang tua Jovanka dalam rasa bencinya. Mereka tak tahu apa-apa. Adelio yakin, orang tuanya pasti tak pernah mengajarkan untuk menduakan pendampinya saat ini.
"Yah, maaf bukannya mengusir. Adelio saat ini ingin sendiri, Ayah bisa keluar sekarang, ya. Maaf ya, Yah," ujar Adelio merasa tak enak hati kepada ayahnya.
"Iya, Nak. Nggak apa-apa, kok. Berpikir yang jernih, jangan gara-gara satu wanita merusak masa depanmu nanti," pesan Tuan Alberic.
Adelio pun tersenyum kepada ayahnya, agar menunjukan bahwa dia tak apa-apa.