Lomba lari yang dimenangi Erlan tuuh...
Lomba lari...., dari kenyataan!
- Rafi, yang katanya the best sepupu -
*
Perlombaan pertama, yaitu renang, tentu berhasil dimenangkan dengan mudah oleh Renatta. Bagaimana tidak? Mau tidak mau Erlan harus menahan nafas, terutama syahwatnya tentu saja, melihat keeksotisan tubuh Renatta.
Erlan ngos-ngosan. Bukannya dia tidak mampu mengejar Renatta, dia sungguh mampu lakukan itu, hanya saja otaknya sedang konsleting saat ini gara-gara bikini two pieces yang dipakai Renatta.
“Dih, baru gini aja udah tepar.” Cibir Renatta, yang sudah berdiri di bibir kolam renang, menyibak rambut panjangnya yang basah. Erlan memejamkan mata agar tidak tergoda naik ke kolam kemudian menarik tubuh Renatta yang masih basah ke dalam pelukannya.
Lengan dan kaki jenjang sempurna, berotot tapi tetap menarik untuk dilihat dengan kulit coklat eksotis, perut Renatta yang rata, b****g yang terbentuk bulat sempurna karena olah tubuh, tidak lupa hal yang membuat celana Erlan tadi mendadak sesak, dua telur burung onta!
Telur burung onta s****n!
“Lan, elu mau sampai kapan di situ? Buru naik terus ke lomba kedua, bersepeda!” teriak Rafi karena Erlan tak kunjung keluar dari kolam renang.
“Jangan sampai ntar masuk angin loh Pak, terus menyerah kalah dengan alasan gak enak badan.” Cibir Renatta, semakin menggoda Erlan. Dia sengaja menggerakkan tubuh untuk membuang bulir air berkaporit yang masih ada di tubuhnya.
“Kamu buru ganti baju deh Renatta!” perintah Erlan.
“Laah… emang kenapa?” tanya Renatta heran, alisnya sampai naik.
Rafi tertawa terbahak hingga bahunya naik turun, memegang perut karena tahu alasan kenapa Erlan belum juga keluar dari kolam renang.
“Natta, mendingan kamu ganti baju dulu deh. Selama kamu masih di sini, Erlan gak akan berani keluar kolam renang.”
“Memangnya kenapa Kak Raf?”
“Malu dia.” Sindir Rafi.
“Tumben si bos punya malu. Ya sudah, aku bilas badan dulu terus ganti baju. Buru Pak Erlan, biar cepet beres lomba kita.” Senyum kecil tersungging di bibir penuh Renatta. Dia melangkah ke arah ruang bilas tanpa kenakan handuk kimono, dia benar-benar sengaja ingin membuat Erlan menyesali omongannya. Tubuh bagian belakangnya sungguh saat menggoda mata Erlan dan Rafi untuk mengikuti hingga menghilang masuk ruang bilas.
“Woy… Lan, buru naik!”
“Dua menit lagi Raf, celana gue masih sesak, tambah sesak gara-gara lihat pemandangan barusan.” Erlan meringis, menolak perintah Rafi.
*
Akhirnya, Erlan membutuhkan tambahan lima menit berendam di kolam renang untuk mendinginkan otak dan syahwatnya.
Erlan berpapasan dengan Renatta yang sudah memakai baju bahan dry-fit yang mempunyai fungsi spesifik mengatur suhu pengguna sehingga nyaman dipakai untuk olahraga bersepeda dan lari. Merknya pun mahal, Climacool.
Sekali lagi, mata Erlan tertumbuk pada d**a Renatta tapi karena kali ini tertutup, hanya beberapa detik saja dia menahan nafas, kemudian melengos dan segera membilas badannya. Tentu saja Renatta kebingungan dengan hal ini sementara Rafi hanya terkikik geli.
Di taman apartemen, suasana malam tidak mencegah orang-orang untuk tetap ada di luar, bukannya memeluk bantal untuk segera tidur, tapi masih betah menghirup udara malam.
“Ada perubahan, berhubung ini semakin malam, jarak untuk bersepeda hanya sepuluh kilometer saja.” Rafi berikan info. Dia mendunga, melihat ke arah langit malam yang penuh dengan gemintang.
“Loh kenapa Kak Raf?”
“Heuum, gue setuju Raf, ide bagus.” Erlan setujui ide ini.
“Diih, cemen!”
“Tapi… tentu gak semudah itu dong. Gue akan bikin adrenalin kalian meningkat walau hanya dengan sepuluh kilometer saja.”
“Gimana tuh?” tanya Renatta, antusias dan Erlan hanya menatap malas Rafi.
“Jalanan di sekitar sini hingga ke jalan raya di luar komplek kan rata, gak ada tanjakan, palingan hambatan ada di lalu lalang orang lewat aja. Normalnya sih bersepeda sepuluh kilometer bisa kalian selesaikan dalam waktu dua puluh hingga tiga puluh menit, tapi gue tantang hanya dengan tujuh belas menit aja kalian sudah sampai di titik awal sini, titik finish. Gimana?” alis Rafi naik turun saat berkata ini.
“Boleh Raf, gue setuju.” Erlan langsung menyutujui, mau tidak mau Renatta juga setuju.
“Berarti ini triathlonnya bukan yang level pemula dong Kak Raf, tapi level sesuka panitia.” Gerutu Renatta disambut kekehan Rafi, tanda setuju.
“Kalian segera bersiap deh. Ingat yaa, dalam waktu tujuh belas menit sudah sampai sini. Siapapun yang sampai duluan, itu pemenang cabang kedua di triathlon ini.”
Saat Rafi memberi aba-aba mulai, keduanya segera melajukan sepeda balap masing-masing. Erlan bersorak dalam hati, yakin mampu selesaikan lebih dulu dibanding Renatta. Hanya saja jelang kilometer keenam, Renatta lakukan sprint, hingga mampu melewati Erlan. Lelaki tampan itu kelabakan, adrenalinnya terpacu. Dilihatnya Rafi berdiri di garis finis, artinya sebentar lagi mereka akan sampai titik akhir. Erlan mengayuh sekuat tenaga, dia tidak pedulikan kakinya yang sekarang terasa kaku.
“YESSS!!” teriak Erlan, berikan selebrasi dua tangan ke atas saat berhasil mencapai garis finis lebih dulu dibanding Renatta, mungkin hanya selisih beberapa detik, tapi tetap saja Erlan pemenang di cabang kedua ini.
Erlan dan Renatta duduk mengampar di trotoar, kelelahan. Bulir keringat membuat mereka seperti baru mandi. Rafi berikan sebotol air mineral dingin, yang diterima Erlan tapi ditolak Renatta karena dia membawa sendiri tumblr kesayangan.
Nafas keduanya memburu, ngos-ngosan. Detak jantung tidak beraturan, adrenalin meningkat.
“Cabang yang kedua ini, pemenangnya Erlan. Jadi skor sama ya, seimbang, satu lawan satu. Nah untuk cabang yang ketiga, lari. Buru yuk biar cepet selesai.” Lirik Rafi ke jam tangannya.
“Ntar dulu dong Raf, kasih kesempatan lima menit lagi untuk istirahat, ya kan Renatta?” usul Erlan.
Bukannya mengamini, Renatta angsurkan tangan untuk dibantu berdiri oleh Rafi, “enggak ah, Pak. Sekarang aja biar cepet beres.” Renatta lakukan pelemasan otot kaki, leher dan tangan.
“Emangnya kamu gak capai?” tanya Erlan heran dengan stamina gadis di depannya ini yang tidak nampak kelelahan. Erlan tidak tahu saja sebenarnya Renatta sudah mulai lelah, mungkin karena lama tidak lakukan triathlon.
“Biasa aja tuh Pak. Makanya kalau olahraga tuh ya beneran di alam, di luar ruangan dong, gak yang di ruangan aja.” Cibir Renatta.
“Haah s****n, iya iya deh. Gue dah siap Raf.” Kata Erlan setengah hati. Kakinya masih terasa kram, tubuhnya lelah, ingin segera istirahat.
“Elu tuh Lan, lari yang elu ikuti tuh cuma lari dari kenyataan, tahu gak?” Rafi menggoda Erlan, yang digoda diam saja, tidak merespon karena kelelahan.
“Lari lima kilometer ya Kak Raf? Kaya tadi kan diskon lima puluh persen tuh.” Gurau Renatta.
“Iya, benar, tapi diselesaikan dalam waktu dua puluh menit saja! Sanggup gak kalian?” tantang Rafi lagi.
Erlan dan Renatta berpandangan, keduanya kedikkan bahu, tanda pasrah saja.
“Karena kalian sudah setuju, ikuti aba-abaku ya,” Rafi menyejajarkan posisi Erlan dan Renatta yang bersiap.
“Bersedia, siaaap…., yaaak! Lariii!”
Bayangkan saja, dengan tubuh yang sudah sangat kelelahan karena diforsir berenang dan bersepeda, kali ini keduanya harus lari lima kilometer dalam waktu dua puluh menit saja!
Tapi keduanya tetap berusaha selesaikan. Saat ini posisi Erlan ada di depan Renatta. Erlan tidak mau lagi kecolongan. Dia akan berusaha stabil saja dibanding mengebut di awal tapi kemudian tidak sanggup selesaikan saat jelang garis finis.
Renatta cukup kelelahan, cuaca terasa menyengat walau malam hari, membuatnya kehilangan banyak energi. Tapi dia tetap lari, mengikuti Erlan yang dengan percaya diri berlari.
Yes, gue bakalan menang! Kemenangan sudah di depan mata! Semangaat, semangaatt!
Erlan menyemangati diri sendiri. Sesekali dia menoleh ke belakang, dia melihat Renatta yang jauh tertinggal, membuatnya semakin jumawa. Merasa yakin kemenangan akan dia raih.
“Haah haah…” Renatta membungkuk. Kedua tangannya bertumpu di lutut, dia ambil nafas dan buang dengan cepat. Dia lihat Erlan sudah melesat di depannya, tapi dia akan lakukan sprint setelah hilang lelahnya. Tentu saja dia tidak mau Erlan yang menang.
“Haus… duh mana lupa lagi gak bawa botol minum.” Sedang berpikir nikmatnya air mineral dingin, tiba-tiba dari arah yang berlawanan, dari arah depannya, nampak di kejauhan ada seorang lelaki yang berlari cukup kencang diikuti teriakan orang-orang yang meminta siapapun untuk menghentikan lari lelaki itu.
“Maling! Woy maling! Berhenti lu!” teriakan bapak-bapak bersarung yang mengacungkan tangan menunjuk ke arah larinya si maling. Mata Renatta terpicing melihat kejadian itu.
Erlan cukup kaget, tapi karena kemampuan refleknya kurang, ditambah lagi dia harus selesaikan lomba lari ini dengan waktu yang sudah ditentukan, tidak ada yang dilakukannya. Erlan hanya melihat ke arah larinya si maling yang saat ini malah dikejar Renatta.
“Eeh tuh cewek malah ngejar maling sih? Tapi gue bakalan menang dong! Kemenangan di depan mata! Silakan kejar tuh maling!” tentu saja suara hati Erlan coba menyadarkannya untuk segera mengejar Renatta yang coba melumpuhkan si maling.
Bantu dong Lan, seenggaknya elu bantu Renatta! Gimanapun juga elu yang laki, Renatta yang perempuan. Kenapa malah dia yang lakukan pengejaran ke maling sih? Harusnya kan elu tadi!
Suara demi suara, pro dan kontra, terdengar di kepala Erlan. Padahal Rafi sudah terlihat, artinya dia akan tiba di garis finis sebentar lagi. Tapi… dalam hitungan detik, Erlan balik badan dan mengejar Renatta.
Aaarggh… kenapa juga Renatta mengejar maling itu sih? Kenapa juga gue malah ngejar Renatta dibanding selesaikan triathlon ini? Double s**t buat diri gue!
Sesungguhnya Erlan masih tidak terima dengan keputusannya sendiri yang malah mengejar Renatta, bermaksud membantu gadis itu. Entah apa atau siapa yang membuatnya berganti pikiran. Tapi melihat ada banyak orang yang juga mengejar si maling demi membantu yang kemalingan, membuat hati Erlan tergerak.
Mungkin saja si maling ini sering menjuarai lomba lari, karena larinya cukup kencang. Renatta tidak rasakan lagi kelelahan yang mendadak hilang entah ke mana. Sekarang ini tujuannya hanyalah melumpuhkan si maling dan mengembalikan benda yang dirampas ke pemilik sahnya!
Renatta lakukan sprint, dia kejar si maling yang akhirnya jarak di antara mereka semakin terkikis.
Samar-samar didengarnya suara Erlan memanggil namanya. Renatta sampai lupakan bahwa mereka sedang lomba triathlon!
“Woy… maling, berhenti luh!” teriak Renatta pada lelaki kurus yang ada di depannya. Larinya secepat kilat, tapi Renatta mampu lebih percepat lagi larinya, hingga saat jarak mereka sudah semakin dekat, dia layangkan tendangan ke punggung maling hingga terjatuh.
Tapi dasar maling, dia pantang menyerah! Dia yang sudah terjatuh, meringis kesakitan tapi berusaha lari lagi. Renatta emosi, sekarang ini dia akan lumpuhkan si maling dengan cara menendang kaki dengan tenaga yang tersisa.
Tidak ada perlawanan dari maling yang jatuh tertelungkup dengan pipi memerah dan darah keluar dari sudut bibirnya.
Tenaga pengamanan yang ikut lakukan pengejaran segera menangkap maling tersebut dan hendak dibawa ke pos setelah ucapkan terima kasih pada Renatta.
Usai itu, tubuh Renatta bagai tidak bertulang. Dia duduk di pinggiran trotoar, nafasnya lebih memburu dibanding tadi. Diliriknya Erlan yang menjatuhkan p****t tepat di sebelahnya. Tidak ada kata yang terucap pada keduanya, hanya berpandangan saja. Tapi keduanya tahu saat itu juga bahwa Rafi-lah pemenang lomba ini. Lelaki yang tidak ikut perlombaan tapi bisa memenangkan pertandingan! Hebat kan?
“Heey… di sini kalian ternyata. Kenapa malah duduk-duduk di trotoar sih, bukannya segera kembali ke garis finis?” suara penuh kekhawatiran Rafi terdengar. Dia tadi lihat ada keramaian dan tahu ada maling saat seorang satpam bercerita padanya.
“Ma.. mau minum Kak Raf, ha... haus.” Pinta Renatta. Matanya berkunang, kepalanya sungguh pusing.
“Gue juga minta minum Raf.” Timpal Erlan. Nafasnya tidak lebih baik dari Renatta. Dia merasa pusing dan haus yang amat sangat.
“Nih, tapi gue cuma bawa satu botol doang. Bagi dua ya.” Rafi berikan botol air mineral dingin itu pada Renatta yang kemudian segera menegak hingga setengah botol.
“Jangan dihabisin dong Renatta, gue juga haus.” Tanpa ba bi bu, Erlan merebut botol air mineral dingin itu.
“Pak, itu bekasan saya loh.” Ringis Renatta, kemudian dia mengucek mata.
Sebentar...Kenapa sekarang kepalaku berputar?
“Hah gak papa, gue haus banget.” Erlan tidak pedulikan itu.
“I… itu ciuman gak langsung dong? Pak, gimana kalau saya punya sakit TBC? Euum... tapi kenapa di atas kepala bapak, banyak kunang-kunang ya?” kemudian terdengar suara jeritan Rafi yang kaget karena Renatta pingsan dengan tubuh yang terjatuh di trotoar.
“Natta!!”
"Renatta! Jangan pingsan di sini!"