Ternyata telur ayam juga bisa berubah jadi segede telur burung onta dalam waktu singkat!
- Otak Bos yang lagi korsleting -
*
“Gue minta tantangannya…”
*
Baik Erlan dan Renatta menahan nafas demi bisa mendengar dengan baik kelanjutan ucapan Rafi.
“Apaan?” teriak Erlan, mungkin level kesalnya sudah melewati batas menunggu Rafi bicara.
“Kita bikin kebalikannya ya. Kalian tidak boleh jatuh cinta satu sama lain! Elu Lan, gak boleh suka sama Renatta. Pun Renatta, juga gak boleh suka sama Erlan. Gimana? Deal?”
Sedetik terjadi keheningan, mata Renatta bersirobok dengan Erlan.
Di detik kedua, terdengar tawa membahana dari Erlan dan Renatta. Bahkan Erlan sampai terbungkuk memegang perutnya.
“Duuh duuh ampe sakit perut gue, Raf!”
“Kalian kompak banget nih, sampai respon pun sama. Gimana, deal kan dengan tantangan yang gue ajuin tadi? Terdengar sederhana, tapi bakalan sulit dilakukan.” Rafi mengingatkan.
“Gue setuju Raf. Gampang itu, apanya yang sulit sih?” tantang Erlan, melirik penuh cemooh pada Renatta yang tatapannya seperti ingin memakan hidup-hidup bos ganteng ini.
“Kamu sendiri gimana Natta? Setuju?” tantang Rafi.
“Heuum… hanya tidak boleh jatuh cinta sama Pak Erlan kan?” tanya Renatta, memastikan, “kalau itu sih, aku tentu setuju.” Jawab Renatta penuh keyakinan seperti Erlan.
“Gitu doang kan Raf?”
“Satu lagi biar lebih seru! Gak boleh ada perasaan yang terlibat pada hubungan kalian baik di kantor ataupun di luaran selama seratus hari! One hundred days not to fall in love to each other!” Rafi tersenyum puas. Misinya sudah berjalan satu langkah.
“Oke, setuju.” Keduanya kompak menjawab.
“Hanya saja, kalian berdua kenapa bisa langsung mengiyakan sih?”
“Maksudnya apa Raf? Kenapa elu nanya gitu?”
“Antara benci dan cinta itu setipis rambut dibelah tujuh, aku heran kalian seyakin itu gak akan saling jatuh cinta padahal kan ada pepatah Jawa tuh, witing tresna jalaran seko kulino. Cinta datang karena terbiasa.” Rafi ucapkan peribahasa Jawa itu dengan logat yang fasih. Tidak heran, karena dia berasal dari Magelang.
“Ya ampun Raf, yang pasti, nih cewek barbar bukan tipe gadis idaman gue! Badan lempeng kaya papan, urakan, rambut diuwel-uwel terus, gak pernah dandan, gak ada cantik-cantiknya. Dia kira dia Beyonce yang seksi dan semok kalik ya? Mana bisa gue jatuh cinta sama cewek macam gitu? Malu gue kalau dibawa ke kondangan.” Cemooh Erlan. Melihat ke arah Renatta dengan pandangan mata penuh cibiran dari kaki sampai kepala, kemudian tertawa geli saat berhenti di d**a.
Saat Erlan berkata itu, Renatta menyumpahi dalam hati.
Gue sumpahin elu bakalan tekuk lutut, memohon-mohon gue untuk terima cinta lu! Dasar bos lucknuutt!! Eeh tapi kan tantangannya gak boleh jatuh cinta. Heuum tapi itu kalau kami tidak ada yang berhasil menang di triathlon ini. Kita lihat aja, mata elu itu pak bos, akan melotot melihat bodi gue yang katanya lempeng gini!! Aarrgh hmphft$@#.
Tak hentinya sumpahan Renatta pada Erlan walau hanya dalam hati.
“Hati-hati ama omongon Lan, kena tulah ntar. Elu bakalan menghiba ke Renatta baru deh tahu rasa!” Rafi mengingatkan.
“Cih! Gak bakalan!” jawab Erlan, juwama.
Renatta geleng-geleng kepala tapi di kepalanya sudah terbayang rencana baru. Sekarang, dia berganti haluan. Targetnya adalah, membuat bos lucknut ini jatuh cinta padanya tanpa dirinya jatuh hati pada si bos! Tapi harus bagaimana ya tepatnya ide itu akan dia lakukan? Dia kan juga punya perjanjian pada sang papa.
“Oiya, renang akan dilakukan di sini. Kemudian bersepeda dan lari, kita akan lakukan di taman apartemen. Sekarang jam setengah sembilan, jika sesuai, maka kita akan selesai kurang lebih jam setengah dua belas malam. Kalian yakin?”
“Yakin!” jawab keduanya, kompak.
“Kak Raf, aku ambil baju renang dulu ya biar bisa segera mulai. Pak Erlan silakan pemanasan dulu loh, biar gak kaget tuh otot-otot tubuhnya.” Kedip genit Renatta pada Erlan, membuat lelaki itu bergidik.
“Lan, elu pernah lihat Renatta pakai baju renang?” tanya Rafi penasaran, saat Renatta sudah tidak di situ.
“Sering! Kan kolam renang kami samaan Raf! Gimana sih?” Erlan mencopot kemeja dan celana kainnya. Segera memakai celana renang yang sudah dia siapkan sebelumnya.
“Elu yakin gak bakalan suka sama bodinya Renatta? Iya sih dia kurus untuk tinggi badannya, tapi kan dengan kulit coklat eksotis gitu bukannya malah terkesan semakin seksi ya?” tanya Rafi pada Erlan.
“Mana gue tahu Raf, dia tuh kalau berenang selalu pakai baju renang buat para diver. Serba tertutup! Mana tuh d**a lempeng pisan, gak ada melonnya. Adanya malah dua telur ceplok, telur ayam pula atau malahan telur puyuh ya?” kekeh Erlan yang memang beberapa kali berenang bareng Renatta.
“Melon? Telur ceplok? Burung puyuh? Kamu ngomong apa sih?” kening Rafi berkerut.
“Ini loh…” Erlan memberikan gestur, menunjuk dadanya disambut tawa Rafi yang baru paham.
“Elu tuh emang! Jangan cuma nilai cewek dari fisik doang! Renatta tuh berkualitas sempurna! Cantik, pintar, tangguh, mapan, mandiri, wealthy pula. Kurang apalagi coba?”
Andai saja elu tahu siapa papanya Renatta, elu bakalan mikir ribuan kali deh Lan!
“Iya, yang elu sebut tadi benar, tapi gue gak setuju ama kata cantik. Menurut elu, Renatta mungkin cantik. Tapi menurut gue, yaa B aja, alias biasa. Elu tahu sendiri standar cantik menurut gue gimana.” Ucap Erlan sambil melakukan pemanasan.
“Aah elu mah, definisi cantik lu itu mainstream tahu gak!” jawab Rafi.
Erlan abaikan saja Rafi. Dia sedang membungkuk, lakukan pemanasan, saat ada sebuah kaki jenjang berada di dekatnya.
Renatta sudah ada di situ, tapi memakai kimono warna putih sebagai pengganti pakaian penutup tubuh.
“Kamu sekarang renangnya pakai kimono?” Erlan geleng-geleng kepala.
“Bapak udah pemanasannya?” bukannya menjawab pertanyaan Erlan, Renatta malah ajukan pertanyaan baru.
“Ditanya malah balas nanya. Nih modelan staf pembangkang, pantesan kerja gak pernah selesai tepat waktu, gitu kalau kerjaan belum selesai terus ngomel bilang lembur.” Cibir Erlan.
“Diih kok malah singgung kerjaan? Enggak Pak Erlan, saya gak akan berenang pakai kimono putih yang seputih hati saya ini, yang selalu istighfar walau diinjak bos yang tak punya hati nurani.” Sindir Renatta, dia letakkan tas ransel di kursi santai.
“Sudah, sudah. Berantem mulu. Baiknya kamu segera pemanasan Natta biar bisa segera mulai.” Rafi mengingatkan.
Renatta membuka kimononya, dia letakkan di atas ransel, rambut hitam panjangnya dia biarkan tergerai, toh untuk pemanasan kan? Sebenarnya dia ingin membuat Erlan ‘panas’.
“Beres Kak Raf, makasih sudah diingatkan.” Jawab Renatta dengan sangat manis.
“Uhuukk!!” Erlan terbatuk-batuk, terpana melihat Renatta. Matanya melotot, hampir saja keluar dari rongganya.
“Ke… kenapa kamu jadi begitu?” tanyanya terbata. Matanya lekat melihat Renatta yang sangat berubah.
“Begitu gimana?” Renatta balik bertanya sembari lakukan pemanasan dengan membungkukkan tubuh, menyentuhkan jemari tangan kanan ke kaki kiri.
Well, tentu saja ini dilakukan dengan sengaja. Karena mau tidak mau hal ini akan mengekspos tonjolan di dadanya. Setelah itu, Renatta menggulung rambut panjangnya membuat leher jenjangnya dengan kulit kecoklatan terlihat sempurna.
“Lan, woy… itu mata tolong dikondisikan! Halo… halo…” Rafi sampai mengibaskan tangan di depan mata Erlan, membuat sepupunya itu tersadar, sudah tersihir pesona Renatta yang baru kali ini dia lihat.
“Ingat ya Lan ama kata-kata elu tadi! Gak bakalan jatuh hati pada Renatta!” Rafi mengingatkan sang sepupu.
Bagaimana Erlan tidak tersihir? Kali ini Renatta sengaja memakai bikini two pieces berwarna merah hitam yang kontras dengan kulit kecoklatan Renatta. Yang membuat Erlan terpana adalah telur ceplok yang semula adalah telur ayam berubah menjadi telur burung unta!
Bagaimana bisa dalam waktu sesingkat itu berubah ukuran? Pakai busa?
“Awas matanya Pak Erlan, tolong dikondisikan. Jangan sampai kaki saya nempel di leher Bapak ya. Kak Raf, ini harassment gak sih?” Renatta menoleh ke arah Rafi yang senyum-senyum sendiri.
“Renatta, itu kamu sumpel pakai apa? Kalau pakai busa ntar basah tambah berat loh.” Cibir Erlan, pandangan matanya memberikan arah pada satu titik, padahal sungguh dia ingin tahu kenapa ukurannya bisa berubah dalam waktu singkat.
“Perasaan tadi di kantor, ukurannya masih standar, kenapa sekarang berubah jadi gede gitu Renatta?” kembali Erlan sampaikan keheranannya.
“Aah itu kan perasaan Bapak aja, bapak gak pernah melihat aslinya kan? Kak Raf, aku lari dulu sebentar.” Renatta bersemangat menggoda Erlan.
Rafi mendekati Erlan yang mendadak memakai handuk putih ukuran besar, untuk menutupi pinggangnya. Mata tajamnya masih saja melihat ke arah Renatta berlari dengan anggun, tanpa berkedip.
“Raf, gue mau masuk kolam dulu ya, barang lima menitan.” Erlan membuang handuk yang tadi dia pakai ke sembarang arah dan segera masuk kolam.
“Loh, kenapa?”
“Celana renang gue mendadak sempit gara-gara telur burung onta dadakan itu! Amsyong emang deh. Kudu dilemesin dulu nih.” Erlan segera membenamkan seluruh tubuhnya ke kolam.
“Ha ha ha… gak cuma burung lu Lan, tapi tuh otak juga kudu dilemesin! Dasar otakmu yang gak bener aja!”
*