Sudah tahu banyak revisian, malah berduaan, di pantri pula. Ngapain?
- Bos tega rasa cemburu -
*
Seminggu setelah kejadian Renatta pingsan, seperti biasa para cunguk kantor sedang bergosip ria. Apalagi si bos belum datang karena ada pertemuan dengan klien di pagi hari ini.
Anggota pertama klub ‘b***k Korporat’ - demikian Dito membuat nama grup yang terdiri dari Dito, sebagai anggota senior, anggota kedua adalah Calya dan anggota ketiga adalah Renatta, si anak bawang yang selalu menjadi bulan-bulanan omelan si bos.
“Natta, seminggu ini gue perhatiin si bos jadi tambah semangat ngomelin elu sih.” Dito memberi kalimat pembuka.
“Iya Nat, kenapa tuh? Elu bikin salah apalagi sih ke dia?” timpal Winda, yang juga rajin bergosip di kubikel mereka ini.
“Nama gue bukan donat! Astagah udah sembilan bulan gue di sini masih aja dipanggil nat nat berasa donat.” Jawab Renatta, berpura cemberut.
“Ada apa sih Natta antara kamu sama si bos?” tanya Calya penuh kelembutan.
“Mana gue tahu, lagi PMS kali dia.” Jawab Renatta cuek.
“Mana ada neng, lakik PMS? Kalau bikin alasan yang bener dong. Perasaan juga si bos sensitif ke elu doang sih?” Dito coba memastikan.
Renatta memutar kursinya, agar bisa berhadapan dengan tiga temannya. Sambil berpikir, dia menggulung asal rambut hitam panjangnya ke atas. Seingat dia, sejak kejadian malam itu, Erlan benar-benar semakin membombardirnya dengan pekerjaan yang tanpa henti. Nanti dia akan coba cari info dari Rafi.
“Siang semua…” suara ramah menyapa, keempat b***k korporat itu menoleh ke arah sumber suara, Rafi yang berikan senyum semanis madu.
“Kalau mau brunch, nih aku bawain donut. Satu lusin.” Rafi berikan box donut bermerk terkenal yang lumayan mahal. Empat pasang mata itu langsung berbinar bahagia.
“Makasiiih Pak Rafi, enak banget punya bos kaya Bapak deh, butuh asisten gak pak?” Dito merayu, siapa tahu ada lowongan.
“Kamu nih, bos kita emang kurang enak gimana sih?” tanya Rafi, dia kan juga wakilnya Erlan.
“Kurang semuanya dia mah, kurang genap, kurang empati terutama.” Celetuk Renatta, sambil mengunyah donat coklat kesukaannya.
“Huuss, Natta! Jaga bicaranya, gimanapun juga itu bos kita loh.” Calya menegur Renatta dengan halus.
“Hahaha… tapi kalian berdua tuh lucu kok, antara kamu dan Erlan tuh aneh. Kalau ada, keliatan, langsung berantem gak jelas. Kalau gak ada, gak terlihat, malah dicariin, dikangenin. Benci tapi rindu itu mah.” Goda Rafi, dibalas lirikan tidak terima Renatta.
“Diih…”
“Siapa yang benci tapi rindu sama siapa?” terdengar suara bariton ikut di dalam percakapan.
“Eh Pak Erlan, ini Pak si Renatta kangen ama penugasan Bapak nih.” Dito langsung saja mengorbankan Renatta masuk ke mulut harimau.
“Heh mana ada? Tugas kemarin aja belum beres! Tuh lihat!” tentu saja Renatta menolak tuduhan tidak berdasar itu.
“Bener nih Renatta?” seringai Erlan membuat semua yang ada di situ menjadi siaga satu.
“Enggak! Itu tuduhan, fitnah!” Renatta mendelik ke arah Dito, kesal teramat sangat.
“Tuduhan yang bagus sih, kebeneran ntar setelah makan siang aku ada janji dengan klien. Kamu ikut!” Erlan berkata tegas, tidak mau dibantah.
“Ini kan deadline Pak. Bapak sendiri yang minta agar segera diselesaikan sore ini jam empat kan?” Renatta menunjuk layar Mac di depannya. Tapi kali ini dia mengunyah donat penuh emosi, mungkin karena terlalu emosi, hingga membuat coklat lumernya belepotan di bibirnya yang berwarna pink pucat tanpa polesan gincu.
“Kan masih entaran. No debat, Renatta.” Putus Erlan.
“Natta, emosi boleh, tapi itu coklat jangan sampai belepotan dong. Makan kok seperti anak kecil sih?” Rafi mengusap bibir Renatta. Tidak hanya Renatta yang kaget, tiga b***k korporat lainnya sampai mendelik, bahkan Erlan sampai menunjuk ke arah mereka, bergantian, Renatta kemudian Rafi.
“Makasih Kak Raf…” tutur Renatta, pipinya bersemu merah karena malu.
“Kalian…? Heh tidak boleh ada pacaran di kantor ya!” suara Erlan sedikit meninggi.
“Siapa yang pacaran?” kening Renatta berkerut.
“Kamu dan Rafi. Ingat di peraturan perusahaan tidak boleh ada hubungan asmara di kantor.”
“Gak gitu juga kali Lan,jangan ngadi-ngadi deh, yang gak boleh tuh hubungan suami istri di satu bagian yang sama. Lagian gue ama Renatta emang gak ada apa-apa kok. Tapi by the way, gue mencium aroma kecemburuan.” Goda Rafi pada sang sepupu yang merasa jengah dengan kedekatan Rafi dan Renatta.
“Hah? Cemburu? Gue? Enggaklah! Renatta, buru siap-siap.” Erlan melengos kemudian melenggang ke ruangannya. Dia merasa, saat ini, tidak punya punya perasaan apapun pada Renatta, tapi kenapa dia kesal saat melihat Rafi mengusap bibir Renatta?
Setidaknya saat ini, dia hanya menganggap Renatta sebagai stafnya, ya, hanya sekadar staf saja saat ini.
*
“Kok melamun magrib gini? Lagi mikirin apa sih?” tanya Rafi saat melihat Renatta melamun di pantri. Saat ini sudah jelang jam tujuh malam tapi mereka masih stuck di kantor. Tangannya mengusap lembut rambut Renatta.
“Haah, enggak kok Kak Raf, aku gak melamun. Cuma akhir-akhir ini aku merasa capek banget. Pak Erlan gila-gilaan kasih kerjaan, hufft… Aku jadi gak punya waktu me time.” Keluh Renata, curhat.
Heuum seingatku timbunan kerjaan semakin menjadi sejak kejadian Kak Rafi mengusap bibirku. Tapi, kata Kak Rafi, dia gak ada perasaan apapun kepadaku.
“Kamu ngaduk apaan sih itu Nat?” Rafi melongok ke arah mug yang sedari tadi diaduk Renatta.
“Kopi.”
“Hah, jam segini ngopi? Gak bisa tidur ntar loh.” Respon Rafi penuh kekhawatiran. Dia melihat ke arah Renatta dengan prihatin.
“Jam tidurku udah gak bener nih Kak, sehari bisa tidur empat lima jam itu merupakan kemewahan.” Jawab Renatta sambil menyeruput kopinya yang sudah tidak panas.
“Jaga kondisi tubuhmu Natta. Ini kan gara-gara kamu tidak mau melanjutkan dinasti ya? Sama seperti kakakmu yang ogah-ogahan? Kasian Om Alfian kalau kakakmu benar-benar tidak fokus.”
“Papa tahu kalau kami, aku terutama, tidak berminat handle induk. Aku mau, tapi hanya usaha yang sesuai dengan passionku.”
Rafi mengangguk-angguk layaknya paham.
“Kak Raf, aku boleh tanya gak?” ragu-ragu Renatta bertanya.
Rafi mendekati Renatta, bahkan menarik kursi di sebelahnya untuk bisa duduk bersebelahan, “boleh dong. Mau nanya apa sih?”
“Dulu tuh pas aku pingsan setelah lomba triathlon, siapa yang menyelamatkanku?”
“Ooh ituu… Aku dan Erlan panik saat kamu tiba-tiba terjatuh di trotoar. Aku langsung telpon ambulans, karena Erlan yang duduk tepat di sebelahmu, dia yang lakukan pertolongan pertama. Kalau tidak…” Rafi mengedikkan bahu. Ada senyum tipis tersamar di bibirnya, sayangnya Renatta tidak melihat senyum ini.
“Pertolongan pertama?” alis Renatta naik, ragu-ragu melanjutkan, “maksudnya CPR ya Kak?”
Kali ini senyum usil Rafi sangat jelas tercetak, “gak cuma CPR tapi juga kan harus menekan dadamu karena gak ada alat kejut listrik. Kamu harus berterima kasih padanya loh Natta.”
“Huwaatt?? Beneran tuh Kak Raf?” tanya Renatta, pipinya semburat pink.
“Apa yang beneran? Ini kalian ngapain jam segini berduaan di pantry? Ingat loh kalau sepasang anak Adam berduaan di satu ruangan, yang ketiga tuh setan.” Tiba-tiba Erlan sudah berdiri menyandar tembok.
“Elu dong kalau gitu? Hahaha… Gue duluan ya. Natta ingat untuk berterima kasih ke Erlan.” Kedip satu mata Rafi membuat Renatta semakin pusing.
“Kamu ngapain di sini kelamaan?”
“Bikin kopi pak, biar gak ngantuk. Lagian ini sudah jam berapa masih aja disuruh revisi ini itu. Dasar bos tega, gak punya hati nurani.”
“Lah udah tahu masih belum beres malahan nongkrong di pantri lama, buruan selesaikan revisi keempat jadi biar bisa cepat pulang.” Erlan balik badan, tapi tidak jadi melangkah karena dicegah Renatta.
“Pak… tunggu sebentar deh.” Tangan kiri Renatta menarik siku kiri Erlan.
“Apalagi sih Renatta? Katanya mau cepat pulang.”
“Pak, terima kasih ya.” Tutur Renatta pelan.
“Haa? Terima kasih? Untuk apa? THR dan bonus masih lama kan?” alis Erlan menyatu.
“Euum… karena sudah memberi saya pertolongan pertama pas saya pingsan di taman.”
Baik wajah Erlan dan Renatta bersemu pink. Erlan sempat membayangkan menekan d**a Renatta yang rata.
Erlan bahkan berdehem untuk menghilangkan rasa groginya, “eheem… no need to mention it. Aku kan gak mungkin diam saja melihatmu pingsan. Bisa-bisa ntar aku diomeli Rafi empat puluh hari empat puluh malam.”
“Sekali lagi, terima kasih Pak.” Kali ini Renatta sedikit membungkuk, membuktikan bahwa dia benar-benar tulus berterima kasih.
Erlan lambaikan tangan sembari melangkah pergi tapi di depan pintu, dia berhenti sebentar, sedikit menoleh ke belakang, “tapi Renatta, aku gak menyangka bibir seorang gadis sepertimu itu ternyata asin! Hahaha…”
“Dasar bos syial….aan!”