Tertangkap Basah

1027 Kata
Bagian 9 Saat sedang asyik memasak di dapur, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Kreek .... Ternyata aku lupa mengunci pintu. Padahal perasaan tadi sudah dikunci. Aku pun mematikan kompor, lalu bergegas untuk melihat siapa yang datang. Dan ternyata Sinta datang. Dia lagi dia lagi! Sinta langsung nyelonong masuk sambil cengar-cengir ke arahku. Tuh kan benar! Memang enggak punya malu ya. Kupikir Sinta tidak akan berani lagi datang ke rumahku. Ternyata aku salah. Sinta masih berani menginjakkan kakinya ke rumahku. Memang benar-benar enggak tau malu ya! Bahkan, aku belum bisa melupakan kejadian tadi pagi. Tapi ternyata Sinta Tapi, kenapa Sinta masih bersikap biasa saja. Seolah tidak terjadi apa-apa. "Astagfirullah, Sinta! Ngapain kamu masuk rumah orang diam-diam? Seperti maling saja!" "Maaf Mbak, aku sengaja masuk diam-diam. Takutnya nanti kalau aku mengucap salam, anaknya Mbak akan bangun," ucapnya tanpa merasa bersalah sedikitpun. Selalu saja anakku yang menjadi alasannya. "Sudah berapa kali kuingatkan, jangan pernah masuk rumahku secara diam-diam," tegas kepada wanita yang tidak tahu d*ri itu. Jujur, aku sungguh muak melihat tingkahnya. Gara-gara keteledoranku yang lupa mengunci pintu, menciptakan kesempatan untuk Sinta datang lagi ke rumahku. "Kamu mau ngapain ke sini?" "Nggak mau ngapa-ngapain kok' Mbak, cuma mau minta maaf soal yang tadi. Sinta harap, kejadian tadi jangan dijadikan penghalang buat kita nyambung silaturahmi ya Mbak." Enak banget dia ngomong seperti itu. Dia pikir aku akan melupakan kejadian tadi apa? "Sebaiknya kamu enggak usah datang lagi ke rumahku, Sinta. Aku tidak mau kejadian seperti tadi terulang lagi." "Yah, kok' gitu sih? Mbak Desi masih marah ya?" Sinta memasang wajah sedih, lebih tepatnya pura-pura sedih. "Iya! Aku tidak bisa melupakan kejadian tadi. Sekarang lebih baik kamu pulang saja ke rumahmu." Aku mengusirnya terang-terangan. "Yah, enggak asyik dong Mbak, tetanggaan tapi enggak boleh didatangin rumahnya," ucap Sinta sambil berjalan melewatiku. Dia menuju dapur, kemudian membuka kulkas. "Hey, kamu ngapain buka-buka kulkas segala? Eggak sopan bangat sih jadi orang!" "Loh, kok kulkasnya kosong Mbak, tadi pagi 'kan Mbak Desi belanja banyak! Sinta memperhatikan isi kulkasku dari rak atas sampai bawah. "Lagian kamu ngapain kepoin isi kulkasku segala? Mau cari apa? Cari yang gratisan ya? Enggak ada. Noh di warung banyak!" Aku sengaja berkata seperti itu untuk menyadarkannya. Jika belum sadar diri juga, berarti otaknya memang sudah berkurang satu ons. "Aku nyari telur, Mbak, biasanya kan Mbak menaruhnya di rak yang ini, yang khusus buat tempat telur." Sinta menunjuk rak yang paling atas. Aku tersenyum penuh kemenangan. Ya iyalah, telur dan yang lainnya sudah kuamankan terlebih dahulu. Kusimpan di kamar belakang yang enggak dipakai. Karena anakku masih kecil, jadi kamar belakang masih kosong, bisa digunakan untuk menyimpan segala sesuatu. Agar tidak digondol oleh si Sinta. Harus pintar-pintar menghadapi tetangga yang satu ini. Bisa-bisa kalau dikasih, bakalan kebiasaan. Lagian, aku sudah bosan dikatain bod*h sama emak-emak KBM. Mereka bilang aku bod*h, tapi kenyataannya bukan seperti itu. Aku ini terlalu baik. Harusnya dari awal, aku jaga jarak sama si Sinta. "Kosong? Coba deh kamu lihat lagi. Itu isinya banyak kok dibilang kosong!" "Lah, beneran, Mbak, cuma ada sayuran dan air mineral doang!" "Emang sayuran dan air mineral itu enggak termasuk ya, yang penting kan ada isinya! "Biasanya kan kulkas Mbak Desi penuh dengan bahan makanan, seperti telur, ikan kaleng, buah-buahan juga. Ini kok' tumben nggak kosong? Mbak simpan di tempat lain ya?" Masih berani dia bertanya padaku. Memang benar-benar tidak waras nih orang! "Iya, takut digondol tikus. Akhir-akhir ini sering bangat tikus keluar masuk rumahku!" ucapku sekenanya. "Ya, enggak mungkinlah Mbak, memangnya ada tikus yang bisa buka kulkas!" sahutnya lagi. "Ya mungkin saja ada. Lantas, kenapa akhir-akhir ini aku sering bangat kehilangan bahan makanan. Bahkan lauk yang sedang disimpan di kulkas juga raib tak bersisa." Aku ingin melihat bagaimana expresi Sinta setelah aku berkata seperti itu "Mungkin saja Mbak Desi yang lupa nyimpannya dimana. Atau mungkin kucing yang ambil!" "Aku enggak lupa. Memang benar kok' tikus yang nyuri di rumahku. Tikus berkaki dua berkepala manusia." Entah dengan cara apa lagi aku mengusirnya agar keluar dari rumahku. Disindir, udah. Diusir terang-terangan juga sudah. Benar-benar tetangga yang menyebalkan. Muka tembok! Sinta tidak menjawab ucapanku. Dia masih berdiri mematung di depan kulkas sambil sesekali melirik ke arahku yang sedang memotong-motong sayuran. "Mbak, telurnya Mbak taruh dimana? Sinta mau pinjam Mbak!" "Kalau mau nyari telur bukan di rumahku! Di warung banyak!" Aku berucap dengan nada ketus. Masa iya? Telur pake dipinjam segala. "Ya sudah deh, kalau enggak ada. Aku pulang dulu!" ucapnya sambil memonyongkan bibirnya. "Ya sudah, pergi sana!" Sinta memang harus digituin, biar tahu rasa. Kalau dikasih terus, keenakan dong dia! *** Kreek …. Aku mendengar suara dari arah pintu, sepertinya ada seseorang yang membuka pintu rumahku. Samar-samar kudengar suara langkah kaki, semakin lama semakin mendekat. Aku yang baru terbangun dari tidur, berusaha mengumpul nyawaku kembali, kemudian mencoba mengintip dari lubang pintu. Ternyata si Sinta yang datang mengendap-endap ke rumahku seperti maling. Kali ini aku sengaja membiarkan Sinta melakukan apa yang dia mau. Aku memang sengaja tidak mengunci pintu. Ternyata dugaanku benar. Sinta datang lagi seperti biasanya. Pelan-pelan kubuka pintu kamar, kuikuti Sinta dari belakang. Aku bersembunyi di balik gorden pembatas ruang tengah dan dapur sambil mengawasi Sinta. Dibalik gorden warna coklat tua, kini aku bersembunyi. Aku ingin melihat langsung dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Sinta melakukan aksinya. Sinta celingak-celinguk melihat ke kiri-kanan, sambil melangkahkan kakinya pelan-pelan agar tidak didengar oleh penghuni rumah. Sementara itu, aku masih berada diposisiku semula. Sinta tidak menyadari keberadaanku, karena jika tanpa penerangan cahaya lampu, dapurku agak gelap. Apalagi pintu dan jendela tidak ada yang dibuka. Sinta membuka kulkas terlebih dahulu, kemudian menutupnya lagi. Mungkin dia tidak menemukan apa yang dia cari di sana. Ya, sebelumnya sudah kuamankan isi kulkas terlebih dahulu. Sekarang beralih ke meja makan. Sinta membuka tudung saji. Kulihat matanya terbelalak sambil mengambil ayam goreng dan sayur capcay yang kutaruh di atas meja. Sinta tidak menyadari kalau sedari tadi aku mengawasinya dan merekam aksinya. Tangan kanan Sinta memegang piring yang berisi ayam goreng, sedangkan tangan kirinya memegang mangkuk yang berisi sayur capcay. Sinta kembali menutup tudung sajinya dengan pelan, setelah mengambil isinya. Kemudian dia beranjak dari dapurku dengan melangkahkan kakinya pelan-pelan. Mungkin dia takut ketahuan olehku. Sinta pun mendekat ke arahku. Inilah saatnya aku bertindak, akupun keluar dari tempat persembunyianku. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN