Bagian 10
"Apa yang kamu lakukan di rumakku? Dan apa yang kamu bawa di tanganmu?" tanyaku sambil menatapnya dengan tatapan tajam.
Sinta terkejut melihatku, sehingga piring dan mangkok yang dipegang Sinta tadi jatuh ke lantai. Sayur dan ayam goreng, serta pecahan beling pun berserakan di lantai rumahku.
"Aduh! Mbak Desi kok' ngagetin aku sih? Tuh kan, jadinya begini, piring dan mangkuknya jadi pecah, sayur dan ayamnya nggak bisa dimakan lagi!" ucapnya seolah-olah dialah pemilik rumah ini. Malah sang pencuri yang memarahi tuan rumah. Hebat!
"Aku lebih suka piring dan mangkuknya pecah, dari pada menyaksikan mangkok dan piring beserta isinya harus berpindah ke rumahmu."
"Bagaimana mungkin kamu bisa berada di dapurku? Kenapa kamu masuk rumahku secara diam-diam? Sebenarnya, apa yang kamu inginkan, Sinta." Aku masih bisa menahan emosi, sebisa mungkin aku harus bersikap tenang. Jika aku gegabah, takutnya nanti tidak bisa memberikan efek jera kepada Sinta.
Sinta terdiam, dia masih mematung di tempatnya.
"Berani-beraninya kamu masuk rumahku tanpa izin. Mencuri sayur dan ayam gorengku! Ternyata selama ini kamu pelakunya."
"Ya ampun Mbak Desi, aku itu enggak nyuri! Masa minta sayur dikit doang dibilang mencuri sih?" jawabannya membela diri, tak mau kalah.
"Minta? Hey Sinta, kamu pernah sekolah enggak sih? Kalau yang namanya minta, minta langsung sama orang yang punya. Ini namanya maling. Masuk rumah orang diam-diam, terus ngambil lauk orang tanpa memintanya terlebih dahulu. Dasar maling!"
Kali ini, kesabaranku sudah benar-benar habis. Dikasih minta minta jantung! Dibaikin malah ngelunjak.
"Mba Desi aja yang membesar-besarkan masalah. Cuma gara-gara hal sepele seperti ini, Mbak Desi malah mengatai ku pencuri!"
"Memang kenyataannya kamu iti maling alias pencuri, Sinta. Udah ketangkap basah masih berani ngelak! Kamu terlalu lancang Sinta. Aku enggak suka!
"Astaga, Mbak! Cuma gara-gara ayam goreng dan sayur capcay? Santai aja kali!"
"Bagimu biasa saja, tapi tidak bagiku. Asal kamu tau ya Sinta, aku udah muak sama kamu. Kamu pikir aku enggak tau kelakuanmu? Kamu sering mencuri laukku, mengambil telur dan yang lainnya dari dalam kulkasku. Jangan kamu pikir aku ini bod*h, kamu salah Sinta!"
"Aku enggak habis pikir sama, ternyata Mbak Desi itu pelit bin medit ya. Nggak sebaik yang kukira!"
"Kamu benar, aku memang pelit! Kurasa, enggak akan ada orang yang mau dimanfaatkan seperti ini. Aku merasa sangat dirugikan olehmu. Pengeluaranku bertambah karena kamu sering mengambil bahan-bahan makananku. Aku yang biasanya memasak satu kali sehari, karena kamu sering mencuri laukku, akhirnya mau tidak mau harus memasak lagi!"
"Kan tinggal di masak lagi Mbak," ucap Sinta dengan entengnya.
"Diam kamu! Dasar tidak tahu d*ri, tidak punya malu! Enak banget kamu ngomong begitu. Aku enggak sudi kamu atur-atur. Memangnya kamu siapa?"
"Siapa yang ngatur sih, aku cuma ngasih saran, Mbak!"
"Diam!"
Tanpa perlu mendengar omongan Sinta lagi. Langsung kujambak rambutnya.
"Inilah akibatnya jika kamu berani bermain-main denganku!"
Setelah menjambak rambutnya, aku mendorong tubuhnya hingga tersungkur ke lantai.
Sinta bangkit, tidak terima dengan perlakuanku. Ia mengangkat tangannya dan hendak menamparku, tapi sayangnya, aku terlebih dahulu menampar pipi kirinya, sebelum ia berhasil menamparku.
"Aw … sakit!" Sinta meringis sambil memegangi pipinya.
"Lihat saja, Mbak, aku akan menuntut balas. Aku akan bilang kepada seluruh warga bahwa kamu sudah menganiaya diriku. Agar kamu dan keluargamu diusir dari kampung ini!" Ancamnya sambil memegangi pipinya, bekas tamparanku tadi.
"Silakan saja. Aku tidak takut! Sekarang keluar kamu dari rumahku, dan jangan pernah menginjakkan kakimu ke rumahku lagi. Pergi kau sana. Dasar maling!" Aku menariknya, lalu mendorong Sinta agar segera keluar dari rumahku.
"Ingat! Jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi di depanku."
Sepertinya Sinta sudah kehabisan tenaga, dia seperti pasrah menerima perlakuanku.
Seharusnya dari awal, aku enggak boleh terlalu baik sama Sinta.
Setelah mengunci pintu, aku langsung ke dapur, membuka kulkas, mengambil air mineral lalu meneguk hingga tandas. Berharap air mineral ini dapat mendinginkan hatiku kembali. Ternyata tidak, hatiku masih terasa panas seperti terbakar, akibat emosi tingkat tinggi menghadapi Sinta.
Dari dalam sini terdengar suara sinta masih menangis. Malah ia semakin mengencangkan tangisnya. Sepertinya, kali ini dia mau bermain sinetron. Pasti dia sengaja menangis di depan rumahku untuk mencari perhatian dari penghuni kompleks.
Tapi aku tidak takut sama sekali. Aku tidak akan gentar sedikitpun. Kita lihat saja, apakah Sinta berhasil menjalankan rencananya!
Aku mengintip dari lubang pintu, tiba-tiba suara tangisan tidak terdengar lagi. Bahkan aku tidak lagi melihat keberadaan Sinta di depan rumahku. Mungkin dia sudah capek, karena rencananya tidak berhasil. Tidak ada satupun warga yang mendengar tangisannya.
Jarak rumah kami dengan rumah tetangga lainnya agak jauh. Hanya rumahku dan rumah Sinta saja yang bersebelahan.
Mungkin itu sebabnya, sehingga tidak ada yang mendengar suara tangisannya.
Makanya selama ini biarpun sering terjadi cekcok antara keluargaku dan keluarganya Sinta, tetangga sekitar tidak mengetahuinya.
Rumah kami letaknya di ujung komplek, tetangga yang paling dekat hanya rumah Sinta. Makanya, dulu aku sangat senang karena kedatangan tetangga baru.
Sudah hampir enam bulan, rumah yang didiami oleh Sinta dan keluarganya tidak berpenghuni. Dari kabar yang kudengar, sang pemilik kontrakan sering kali menaikkan sewa rumah. Mungkin itulah alasannya kenapa tidak ada yang betah tinggal di rumah tersebut.
Awal-awal kedatangan Sinta kesini menjadi tetangga baruku, aku sangat senang. Sinta sering main ke rumahku. Aku jadi punya teman. Tapi ternyata, justru tetanggaku itulah yang membawa racun untuk keluargaku. Dia membawa api, menjadikan hidupku yang awalnya tenang dan damai, malah berubah menjadi sebaliknya.
***
Ponsel yang kutaruh di atas meja terus berdering, aku yang baru bangun dari tidur pun berusaha untuk meraihnya.
Terlalu memikirkan ulah tetanggaku, membuat tenaga dan pikiranku terkuras. Tak terasa, aku tertidur di samping si bungsu.
Ternyata sudah ada puluhan notifikasi. Ada chat dari Mas Bayu yang mengatakan kalau ia tidak bisa pulang cepat. Ada juga chat dari grup Wa yang beranggotakan ibu-ibu kompleks.
Kuscroll sampai kebawah, kulihat pesan dari grup wa, yang isinya membuat mataku terbelalak. Aku yang tadi masih mengantuk, seketika rasa kantuk tersebut hilang melihat chat di grup WA tersebut.
Sinta mengirimkan foto pipinya bekas tamparanku tadi ke grup WA. Di bawah foto itu ditulis caption "ternyata orang yang kuanggap baik selama ini hanya berpura-pura. Aslinya dia sangat kejam dan jahat. Dia sampai hati menamparku, menjambak rambutku dan mendorong tubuhku hingga aku tersungkur ke lantai. Hanya gara-gara sepotong ayam goreng. Mbak Desi jahat! Tunggu saja balasan dari Allah!"
Astaghfirullah, Sinta berani merekayasa kejadian yang sebenarnya. Dia pasti sengaja mengirim pesan seperti itu ke grub WA agar ibu-ibu komplek turut membenciku.
Rasanya aku tidak sanggup lagi membaca chat di grup tersebut. Ternyata diriku menjadi bahan gunjingan, ada yang membalas dengan sumpah serapah yang ditujukan kepadaku, ada yang mengatakan aku sok suci, dan masih banyak lagi.
Bersambung