Siapa Takut!

1005 Kata
Bagian 8 "Hey Desi, kau tidak dengar apa yang kukatakan, hah?" bentaknya. Ia pikir aku akan takut, apa? Sayangnya tidak sama sekali. "Permen ini aku beli pakai duitku sendiri. Enak aja minta. Beli!" tegasku kepada lelaki yang tidak tahu diri itu. "Berani kamu ya Desi! Sadar enggak kamu lagi berada di mana sekarang? Ini rumahku. Gak takut kamu?" Mas Bima menggertakku. "Aku tau, aku berada di rumah kontrakannya Ibu Mimin, yang lagi ditempati oleh kalian," balasku tak mau kalah. "Sombong kamu ya! Kamu berani menghinaku mentang-mentang kamu sudah punya rumah sendiri?" "Loh Mas, siapa yang menghina? Kan, tadi Mas nanya aku sedang berada di mana? Ya kujawab dong, kan memang faktanya seperti itu! Ini memang rumah kontrakannya Bu Mimin. Salahku di mana, coba?" "Lama-lama aku makin muak lihat muka kau ini Desi. Berikan, atau?" Mas Bima kembali menggantung ucapannya. "Atau apa? Mas pikir aku takut? Hey Mas Bima, harusnya kau jangan menyalahkanku. Salahkan saja istrimu itu. Kantong belanjaanku diambil oleh dia tanpa izin. Sekarang aku mau nanya sama Mas, kalau ngambil punya orang tanpa izin, apa namanya? Maling alias mencuri, iya kan?" "Alah, hal sepele seperti itu saja dipermasalahkan. Berapa sih, harga barang belanjaanmu itu? Jangan sok kau jadi orang ya! Aku bisa membeli sepuluh kali lipat dari yang kau beli itu!" Mas Bima berucap dengan sombongnya. "Itu mulut bisa dikondisikan nggak, sih? Asal nguap aja kayak kaleng rombeng. Ngomong asal, nggak dipikirkan terlebih dahulu. Aku cuma mau mengambil hakku, itu aja. Aku nggak bakalan seperti ini kalau Sinta nggak nyuri kantong belanjaanku!" Lagi, aku mengulangi kalimat yang sama agar mereka sadar diri. "Mbak Desi, kan aku sudah minta maaf! Lagian aku tidak mencurinya. Salah Mbak sendiri yang meninggalkannya di motor!" sahut Sinta dari dapur. Ternyata ia hanya berani jika ada suaminya. Pengecut! "Mbak, Sinta sudah jelasin dari tadi, tapi kenapa malah dibesar-besarkan sih, Mbak?" Sinta malah balik menyalahkanku. "Iya ni, memang dasar songong kamu ya Desi!" Suaminya menimpali ucapan Sinta. "Aku bukannya mau membesar-besarkan masalah. Hanya ingin mengungkap kebenaran saja supaya kalian paham. Anak kecil saja tau kalau mengambil milik orang lain tanpa izin sama saja dengan mencuri. Masa kalian tidak bisa membedakannya, sih!" "Iya, tapi kan Mbak Desi hanya salah paham saja!" ucap Sinta lagi. "Aduh … capek ya ngomong sama kalian, nggak ada ujungnya. Kalian udah jadi orang tua dan kalian juga udah punya dua orang anak, tapi otak gak dipake! Mencuri dibilangin cuma ngambil. Cape deh!" Aku pun memutuskan untuk meninggalkan rumah pasangan suami-istri tak tahu malu itu. Baru berjalan beberapa langkah, Noval dan Yudi malah mengejarku. "Ante ... ante … inta pelmennya ante." Mereka berdua menangis meminta permen kepadaku. Sejenak, hatiku kasihan melihat anak-anak yang tidak berdosa itu. Orang tuanya yang salah. Mereka tidak ada hubungannya dengan ini. Akhirnya aku berniat memberikan permennya untuk Noval dan Yudi. Tapi seketika niatku kubatalkan, mendengar ocehan dari Mas Bima yang mulutnya mirip kaleng rombeng itu. "Permen murahan seperti itu banyak di jual di warung. Dasar pelit!" ucapnya sambil menatapku sinis. Permen yang sudah kukeluarkan dari kantong plastik tadi ku kembalikan lagi. Membuat Noval dan Yudi kembali menangis. "Noval, Yudi, kalian minta permennya sama Mama dan Papa saja ya! Mama dan papa kalian kan masih sehat dan kuat, masih bisa untuk bekerja. Jadi, minta permennya sama mereka saja ya, Nak! Jangan minta sama Tante, ini punya Kakak Nindy!" Aku sengaja menyindir Sinta dan suaminya. "Hey Desi, kasih gak permennya? Atau aku akan berbuat kasar padamu!" ancam Mas Bima. "Jangan kalian pikir aku takut pada kalian." Mas Bima mendekat, ia langsung merampas kantong belanjaanku. "Sini berikan, kamu diajak ngomong baik-baik gak bisa!" Mas Bima berusaha merampas kantong belanjaanku. Aku yang sedang emosi tingkat tinggi, sekuat tenaga mempertahankannya. Terjadilah adegan tarik-menarik diantara kami. Aku tidak akan memberikannya, walaupun hanya sebuah permen. Enak saja! Aku yang benar malah aku yang disalahkan. Baiklah, sepertinya aku memang harus mempraktekkan apa yang pernah kupelajari saat masih sekolah dulu. Sekaranglah saatnya. Seketika, Mas Bima langsung mengerang kesakitan. Melepaskan tangannya dari kantong belanjaanku. "Aduh … sakit! Kurang ajar kau Desi!" Mas Bima mengerang kesakitan, menahan rasa sakit sambil memegangi alat vitalnya. Sinta berlari menghampiri suaminya, terlihat jelas kepanikan di wajahnya. Mungkin mereka tidak mengira, jika aku bisa berbuat seperti itu. Aku tahu, Mas Bima terlalu kuat untuk kuhadapi sendiri. Bisa-bisa aku yang bakalan mampus kalau tidak bertindak duluan. Aku sengaja menendang alat vitalnya karena kutahu kelemahannya hanya ada disitu. Percuma diajak bicara baik-baik. Yang ada, mutunya selalu nyerocos tidak ada hentinya. Mas Bima kemudian bangkit sambil mengucapkan kata-kata yang tidak pantas untuk di dengar. Rupanya ia masih tidak terima dengan perlakuanku. Ia mengangkat tangannya, hendak menamparku. "Tampar saja aku, Mas, ayo tampar! Aku tinggal melaporkanmu ke polisi dengan tuduhan tindak kriminal. Tampar yang kuat Mas, biar meninggalkan bekas, agar bisa dijadikan barang bukti!" Aku memberanikan diri mengeluarkan kata-kata ancaman, padahal aku sendiri merasa kalau nyawaku seperti di ujung tanduk. Mas Bima akhirnya mengurungkan niatnya. "Ingat ya Desi, aku akan balas perlakuanmu." Tak kuhiraukan lagi Mas Bima yang terus mengucap sumpah serapah. Cepat-cepat kutinggalkan rumah mereka. Lebih baik aku pergi saja. Sebenarnya aku sudah kehabisan akal untuk menghadapi mereka. Jika kuhadapi mereka dengan adu kekuatan, maka sudah dapat dipastikan kalau aku bakalan kalah. Kalau hanya melawan Sinta, aku masih sanggup. Tapi kalau berhadapan dengan suaminya, aku enggak yakin. Pasalnya ia lebih kuat dariku. Aku harus bisa menggunakan akal sehatku untuk menghadapi orang-orang tidak waras seperti mereka. Masih ada satu hal yang masih menjadi pertanyaan di dalam benakku. Kenapa ya, si Sinta itu tidak pernah membalasku. Aku sudah mengatakan dia pencuri, bermuka masam padanya, sudah jelas-jelas kutunjukkan kalau aku tidak suka padanya. Tapi tetap saja sikapnya biasa-biasa saja. Sinta selalu bersikap manis di depanku. Ia membela dirinya sekedarnya saja. Dia terlihat emosi, tapi tidak berani membalasku. Saat kami bertemu kembali pasti ia akan menyapaku lebih dulu dengan keramahtamahannya. Apa mungkin Sinta bermain cantik di belakangku? Apa mungkin ia hanya pura-pura bersikap seperti itu, atau memang punya tujuan lain? Mungkinkah ada udang di balik batu? Ah ... masa bodo, aku tidak peduli.Yang jelas, hari ini aku merasa sangat lega. Dendamku terhadap suaminya Sinta terbalaskan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN