Bagian 7
Mudah-mudahan dengan aku bersikap seperti itu pada Sinta, dia tidak lagi menggangguku. Aku tidak butuh orang seperti itu. Yang hanya manis di luar dan hanya memanfaatkan ku saja.
Pagi ini suamiku buru-buru Berangkat ke kantor karena ada urusan penting. Biasanya suamiku berangkat bareng dengan anak sulungku. Tapi karena tadi mas Bayu berangkat pagi-pagi sekali, jadi aku yang harus mengantar anak sulungku ke sekolah.
Anak bungsuku belum bangun, terpaksa harus aku bangunkan, karena aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Apalagi jarak dari rumah ke sekolah lumayan jauh.
"Nak, bangun yuk. Ayo kita antar Kakak Nindy ke sekolah dulu," ucapku sambil menepuk-nepuk pelan pipinya yang menggemaskan.
Satu menit, dua menit, belum juga bangun. Padahal biasanya mendengar derit pintu saja sudah langsung bangun.
Tumben ya, Haikal ku ini susah dibangunin.
Akhirnya aku membangunkannya dengan mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke pipinya. Baru dia terbangun. Sungguh menggemaskan sekali.
Kadang, adakalanya aku merasa capek dan jenuh dengan aktivitasku setiap hari. Tapi, saat melihat dan memeluk buah hatiku, seketika perasaan capek dan jenuh tadi berubah, Membuatku semangat kembali.
Setelah itu, kuambil gendongan kangguru. Memakaikan jaket terlebih dahulu, agar anakku tidak masuk angin, kemudian menggendongnya.
"Mama … ayo, Ma, buruan! Nanti Nindy telat loh Ma, ayo Ma!" desak si kakak yang dari tadi sudah menunggu di dekat motor.
Yah, Nindy sekarang duduk di kelas dua SD. Mungkin dia takut telat datang ke sekolah karena hari ini ada jadwal senam pagi. Jika terlambat sebentar saja, maka pagar akan dikunci. Tidak akan diperbolehkan masuk sampai selesai senam pagi. Terpaksa harus menunggu di luar. Nindy sangat suka senam, makanya gadis kecilku itu terus mendesak agar ia tidak telat.
"Iya, Mama kan bangunin Dedek Haikal dulu, Nak!" Aku kemudian mengambil kunci motor dan segera mengunci rumah.
Kupastikan kalau pintu sudah benar-benar terkunci. Takutnya nanti Sinta masuk ke rumahku saat aku sedang keluar.
***
Setelah mengantar Nindy ke sekolah, aku singgah di pasar tradisional yang memang searah dengan jalan pulang ke rumah.
Aku membeli sayur-sayuran, ikan, Ayam, telur, tahu, tempe dan juga bumbu dapur lainnya.
Aku memang sengaja membeli banyak, untuk disimpan di dalam kulkas. Biar tidak repot tiap hari harus belanja sayur. Jadi hemat waktu.
Setelah selesai belanja di pasar, aku singgah di sebuah minimarket. Membeli mie instan dan kebutuhan lainnya, tak lupa juga membeli jajanan dan cemilan untuk anakku.
Sesampainya di rumah, aku memarkiran motor di garasi. Eh, ternyata Sinta sudah nongol aja.
"Hai Mbak Desi, baru pulang belanja ya? Pantesan dari tadi kupanggil-panggil nggak ada jawaban, ternyata mbaknya nggak ada di rumah, toh," ucap Sinta berbasa-basi.
Ini orang sudah dicuekin masih saja cari muka. Sudah jelas-jelas kutunjukkan kalau aku tidak suka padanya, tapi tetap saja, pura-pura sok ramah. Ini orang atau makhluk jadi-jadian sih?
"habis dari pasar!" jawabku cuek.
"Wah, belanjaannya banyak bangat ya Mbak, sini aku bantuin!" Sinta segera mengambil beberapa kantong belanjaan dari motor meticku.
"Enggak usah, aku bisa sendiri," tolakku. Masih dengan nada cuek.
"Kasihan mbaknya kerepotan. Aku bantuin aja ya."
Karena Sinta memaksa, akhirnya aku membiarkannya.
Setelah semua kantong belanjaan ditaruh di dapur, aku langsung mengunci pintu. Setelah itu, kuperiksa kembali barang belanjaanku tadi, barang kali ada yang ketinggalan.
Kukeluarkan belanjaan tersebut dari dalam kantong, kuperiksa lagi. Sepertinya memang ada yang kurang.
Iya, benar. Satu kantong belanjaan yang kubeli di minimarket tadi tidak ada. Atau mungkin masih tertinggal di motor, ya?
Aku langsung memeriksanya di motorku, tapi tidak ada. Seingatku, setelah membayar belanjaan tersebut di kasir, aku langsung menenteng kantong plastik berwarna putih tersebut dan langsung menggantungnya di motor. Tapi kenapa tidak ada, ya? Aku jadi bingung, kok bisa hilang ya?
Aku kemudian duduk di kursi teras sambil memikirkan kemana gerangan hilangnya kantong belanjaanku tersebut. Namun, tiba-tiba aku melihat anak-anak Sinta memegang permen lollipop. Persis seperti permen yang ku beli di minimarket tadi.
Aku pun penasaran dan mendekat, "Noval dan Yudi lagi makan permen ya! Kayaknya enak tuh, beli di mana? Tante juga mau dong!" Aku merayu kedua anaknya Sinta untuk mendapatkan informasi. Biar aku tidak salah tuduh.
"Ante mau ya? Inta cama mamaku caja , tadi mama nemuin pelmennya di plastik yang diantung di motol Tante" jawab Noval dengan polosnya.
Tidak salah lagi, pasti Sinta yang menggondol kantong belanjaanku tadi. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bertindak.
Tanpa basa-basi, aku pun langsung masuk ke rumah Sinta.
Ternyata benar, aku mendapati Sinta lagi membongkar kantong belanjaanku. Tangan kirinya memegang wafer yang kubeli tadi. Kulihat bungkusnya sudah terbuka dan Sinta sedang menikmati wafer tersebut.
Sementara tangan kanannya asyik memeriksa isi di dalam kantong plastik putih tersebut.
"Oh, ternyata kamu yang menggondol kantong belanjaanku ini Sin, tadi kukira kucing, ternyata kamu!" ucapku setengah berteriak.
"He he he, iya Mbak Desi, maaf ya! Aku tadi nggak sengaja lihat belanjaan Mbak tertinggal di motor, kubawa masuk, dan mau kukembalikan sama Mbak. Serius loh Mbak!"
Mau dikembalikan katanya? Enggak salah?
"Mau dibalikin kok' malah mampir ke rumahmu dulu Sin, mana isinya sudah di acak-acak lagi. Itu yang lagi kamu makan, kamu ambil dari situ kan?"
"Hu u Mbak Narsih, tadi penasaran mau lihat isi di dalamnya. Eh, nggak sengaja malah lihat wafer. Aku lupa kalau ini punya Mbak, maaf ya Mbak!"
Astagfirullah … betapa beraninya tetanggaku yang satu m ini. Beraninya mengambil yang bukan haknya. Barang orang lain diambil dan dimakan seenaknya.
"Sekarang kembalikan semuanya kepadaku. Sisa wafer yang masih kamu pegang di tanganmu dan permen lollipop yang sudah diambil oleh anak-anakmu masukin kembali ke plastik. Ayo!"
Sebenarnya, aku ogah meminta kembali sisa wafer itu. Tapi kalau tidak diminta, keenakan dong si Sinta, sudah mengambil tanpa sepengetahuanku, malah dikasih wafer gratis lagi. Untung di dia, malah rugi di gue.
"Iya Mbak'!" Sinta merapikan kembali kantong plastiknya dan berteriak memanggil anak-anaknya.
"Noval, Yudi, sini kalian!" Sinta memanggil anak-anaknya dengan suara yang sangat keras, seperti orang yang sedang mengamuk.
Aku tahu, Sinta sebenarnya berniat mengambil kantong belanjaanku tersebut. Tapi karena ketahuan olehku, dia mencari-cari alasan.
Sinta kembali memanggil anak-anaknya dengan suara yang lebih keras lagi.
"Noval, Yudi, Sini kalian!"
"Ya Mama!" Anak-anaknya berlari menghampiri Sinta.
Sinta merampas permen lollipop tadi dari tangan anak-anaknya secara paksa dan mengakibatkan anak-anaknya menangis.
"Mama mau pelmennya Mama, pelmennya jangan diambil."
Noval dan Yudi masih saja menangis, karena meminta permen yang sudah diambil paksa oleh Sinta.
"Ini Mbak, silakan Mbak bawa pulang. Nanti kalau dilihat anak-anak, bisa-bisa mereka enggak akan berhenti nangisnya," ucap Sinta dengan raut wajah masam.
Sebenarnya aku kasihan melihat anak-anaknya Sinta menangis seperti itu, aalagi hanya gara-gara permen. Tapi kuabaikan, orang tuanya yang salah. Seharusnya Sinta tidak memberikan permen tersebut kepada anak-anaknya. Karena itu bukan miliknya. Mengambil milik orang lain tanpa permisi lebih dahulu sama saja dengan mencuri.
"Lain kali, jangan mengambil milik orang lain tanpa ijin ya Sin. Itu sama saja dengan mencuri!" Aku kemudian pergi meninggalkan Sinta dan anak-anaknya yang masih saja menangis.
Sinta terlihat mengepalkan tangannya, sepertinya sedang menahan emosi. Yah, masalah ini timbul gara-gara ulahnya sendiri.
Saat melewati ruang tamu, aku berpapasan dengan mas Bima suaminya Sinta.
"Hey Desi, kamu ini ganggu orang tidur saja ya. Gara-gara ulahmu, anak-anakku jadi nangis. Kamu ini bikin masalah saja!" teriak mas Bima padaku.
Ternyata dari tadi suaminya Sinta berada di kamar dan ternyata ia mendengarkan seluruh pembicaraan kami tadi. Tapi aku tidak takut sedikitpun. Masa iya? Sinta sudah kelewat batas aku diamkan saja? Tidak, aku tidak akan takut menghadapinya.
"Hey Desi, berikan permennya kepada anak-anakku! Jika tidak ...." Mas Bima menggantung ucapannya. Matanya menatapku tajam sambil melangkah mendekatiku.
Bersambung