Bagian 6
Di ujung sana, terlihat ibu-ibu komplek sedang mengantri untuk membeli nasi uduk Bu Yuyun.
Nasi uduknya Bu Yuyun memang terkenal di daerah ini, karena rasanya yang enak, porsinya banyak dan juga harganya yang terjangkau. Jadi tidak heran, jika nasi uduk Bu Yuyun menjadi menu sarapan favorit di sekitar tempat ini.
"Bu Yuyun, nasi uduknya tiga, dibungkus ya!" ucapku pada Bu Yuyun. Beliau menganggukkan kepalanya sambil tersenyum padaku.
"Eh, Bu Desi, mau beli nasi uduk juga ya?" sapa Bu RT yang juga sedang menunggu pesanannya.
"Iya Bu. Oh ya, sudah lama Bu?" Aku balik menyapanya.
"Lumayan, Des, karena banyak yang pesan jadi nunggunya juga agak lama."
"Eh, rupanya ada Bu Sinta juga! ucap Bu RT.
Aku membalikkan badan, ternyata benar ada Sinta di belakangku. Jujur saja, aku muak sekali melihat wajahnya. Tapi aku berusaha bersikap biasa saja karena ada Bu RT.
"Mbak Desi, tadi enggak denger ya, Sinta tadi manggil Mbak Desi, loh! Sinta mau nitip, tapi Mbaknya sama sekali enggak noleh!" ucap Sinta yang baru saja bergabung dengan kami.
"Enggak denger!" ucapku cuek.
"Eh, Bu Desi, Bu Sinta, dengar-dengar kemarin kalian ada ribut-ribut gitu ya!" Bu RT berusaha untuk mencari tahu apa yang terjadi kemarin.
"Sinta enggak tau apa-apa, Bu, soalnya Sinta kemarin itu pulang kampung, orang tua Sinta sakit!" sahut Sinta tanpa merasa bersalah sedikitpun. Padahal dia lah dalang dibalik semua ini.
Sebenarnya aku malas membahas hal ini, yang pastinya akan menimbulkan bahan gosip di antara ibu-ibu komplek lainnya nanti.
Duh, berita itu cepat sekali sih tersebar!
"Oh, itu. Enggak apa-apa kok' Bu, cuma hal sepele!" jawabku agar Bu RT tidak melanjutkan pembicaraannya lagi, takut merembet kemana-mana. Bisa-bisa seluruh ibu-ibu komplek bakalan heboh kalau ku ceritakan yang sebenarnya.
"Ini pesanannya, Bu, tiga bungkus." Bu Yuyun menyerahkan kantong plastik warna putih yang berisi pesananku.
Alhamdulillah pesananku ternyata sudah selesai, aku harus buru-buru pergi. Tidak ada gunanya berlama-lama disini. Apalagi suami dan anak-anak menungguku di rumah.
Kuserahkan uang seratus ribu, lalu mengambil kembaliannya. Setelah itu segera meninggalkan tempat yang masih dipenuhi oleh ibu-ibu komplek. Padahal pesanan mereka sudah selesai dari tadi. Aku sendiri bingung, apa saja yang mereka bicarakan. Pagi-pagi sudah ngumpul, seperti tidak ada kerjaan lain saja!
Baru berjalan beberapa langkah, ternyata Sinta datang menyusul dan ia langsung menghadang jalanku.
"Mbak Desi, maaf ni Mbak. Sinta kan pesan nasi uduk empat bungkus, tapi uang Sinta ketinggalan di rumah. Sinta lupa bawa, mungkin karena tadi buru-buru."
"Terus, apa hubungannya denganku?" tanyaku cuek.
Pasti ini modus lagi, tapi aku enggak akan tertipu lagi. Selama ini aku terlalu baik padanya. Tetapi sekarang tidak lagi.
"Gini Mbak, Sinta mau pinjem uangnya Mbak dulu ya buat bayar nasi uduknya. Nanti Sampai di rumah langsung aku ganti Mbak!"
"Nggak ada!" ketusku.
"Masa, sih Mbak, enggak ada?"
"Ada, sih. Tapi uangnya mau aku pake buat beli beli bubur ayam."
Padahal aku masih punya uang di dompet. Tapi aku ogah meminjamkannya pada Sinta. Biar dia tahu rasa.
"Harga bubur ayam 'kan cuma sepuluh ribu Mbak, tadi uang Mbak seratus ribu. Berarti uangnya masih cukup buat bayar nasi uduknya Sinta!" ucapnya sedikit memaksa.
Ya ampun, maksa bangat sih jadi orang! Aku harus pintar-pintar menghadapi tetangga yang satu ini. Berarti dari tadi dia memperhatikanku. Sampai-sampai dia tau kalau aku tadi bayar pake uang seratus ribu.
"Enggak harus kusebutin sedetail mungkin 'kan ya, apa yang harus kubeli dan berapa sisa uangku! Yang jelas, uangnya mau aku pakai. Lagian jarak dari rumahmu ke sini cuma lima ratus meter. Pulang sebentar buat ngambil uangnya kan bisa!" ucapku tak mau kalah.
Sinta terlihat kesal mendengar jawabanku, mungkin tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Ia pikir bisa menipuku, tidak akan bisa, Markonah!
Aku memang baik, kalau dibaikin. Tapi aku akan jauh lebih jahat, jika orang lain menggangguku. Seperti kata pepatah, semut pun akan menggigit kalau diinjak. Begitu juga denganku, jika ada yang mengusik kehidupanku, maka aku tidak akan tinggal diam.
Aku langsung meninggalkan Sinta, sengaja bersikap seperti itu agar ia tahu bahwa aku tidak suka padanya.
Sambil berjalan, sesekali kulihat ke belakang, ternyata Sinta sudah berjalan di belakangku dengan menenteng kantong plastik yang sama persis denganku. Mungkin itu nasi uduk.Tapi darimana Sinta dapat uang untuk membayar nasi uduk tersebut? Bukannya dompetnya ketinggalan di rumah, katanya tidak membawa uang sama sekali?
Aku tahu dari dulu, Bu Yuyun tidak pernah memberi pelanggan nasi uduknya berhutang. Tapi 'kok Sinta malah dikasih, ya?
Jangan-jangan, Sinta hanya berpura-pura ketinggalan dompet agar aku kasihan dan mau membayar nasi uduknya. Ketahuan sekarang. Baiklah Sinta, rupanya kamu ingin bermain-main denganku.
Aku terus saja berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang hingga akhirnya tiba di depan rumah.
Tiba-tiba tanpa sengaja mataku menangkap sosok suaminya Sinta yang sedang duduk di teras rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahku. Dia tak memakai baju dan hanya memakai Hawai di atas lutut. Sungguh tidak sopan.
Lelaki itu sedang merokok, dia memandangku sinis sambil menghisap rokoknya dengan mulut dan mengeluarkan asapnya melalui hidung. Memuakkan sekali. Aku pun cepat-cepat masuk ke dalam rumah, tidak ingin lagi berurusan dengannya.
***
Mas Bayu dan Nindy sudah berangkat. Saatnya aku beraksi untuk mengerjakan segudang pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum si bungsu bangun.
Saat menyusun piring, aku kebingungan. Kanapa alat-alat masak yang biasanya kususun rapi disini tinggal sedikit ya?
Akhirnya aku sadar. Ternyata setengah dari isi rak piring stainless milik ku ini sudah tidak ada. Mungkin sudah berpindah ke rumah tetangga sebelah. Selama ini Sinta selalu membawa makanan dari rumahku menggunakan wadah milikku.
Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus segera bertindak.
Aku langsung mendatangi rumah Sinta. Begitu pintu dibuka, tanpa basa-basi aku langsung saja menerobos masuk walaupun tanpa izin dari sang pemilik rumah.
Sinta yang sepertinya heran melihat tingkah lakuku yang tidak seperti biasanya, memberanikan diri untuk bertanya, "Ada apa Mbak Desi? Tumben main kesini?"
"Aku enggak mau main. Masih terlalu pagi kalau hanya sekedar untuk bermain," jawabku sambil terus berjalan menuju dapurnya Sinta.
"Terus? Mbak mau cari apa di rumahku?" tanyanya yang masih diliputi kebingungan.
Aku tak menjawab. Ku edarkan pandangan ke sekeliling dapurnya Sinta untuk mencari peralatanku.
"Oh … ternyata semua peralatan dapurku lari kesini!" ucapku, sengaja meninggikan nada bicaraku.
Aku langsung mengambil piring, mangkuk, sendok, gelas, serta peralatan milikku yang lain di rak piring milik Sinta.
"Lain kali kalau minjam barang orang jangan lupa di kembalikan!" ucapku, kemudian pergi meninggalkan rumah Sinta.
Sekarang aku tidak peduli lagi. Mau Sinta marah pun itu bukan urusanku. Malah lebih baik. Dengan begitu Sinta pasti tidak datang lagi ke rumahku.
Saat menyusun kembali peralatan dapur yang ku ambil dari rumah Sinta, samar-samar kudengar suara laki-laki yang sedang marah.
"Alah, sombong sekali dia jadi orang! Barang-barang seperti itu saja diambil lagi. Sudah buruk dan jelek begitu. Jika aku jadi dia, aku tidak akan memintanya lagi. Dasar pelit!"
Aku tau, itu suara suaminya Sinta. Mungkin Sinta mengadu sama suami tercintanya itu. Tapi aku tidak peduli. Wajar-wajar saja aku mengambilnya kembali. Dibeli pake duitku sendiri, kok.
Bersambung