Episode 11 : Mantan dan Cemburu

2446 Kata
“Seseorang dapat membenci kita, hanya karena kesalahpahaman atau bahkan kesalahan orang lain, tanpa membuat kita bermasalah dengan mereka.” Episode 11 : Mantan dan Cemburu ***** Windy melangkah tergesa keluar dari rumah di tengah pelepasan pagi yang dikuasai mendung. Gadis itu tampak sibuk dengan ponsel yang dipegang menggunakan ke dua tangan, kemudian mengecek isi tote bag hitam yang menghiasi pundak kanan, sebelum kembali fokus menatap layar ponselnya.  Hari ini, Windy tampil kasual dalam balutan blus putih dipadukan dengan jin hitam panjang, sementara rambutnya tersimpul tinggi sekaligus rapi. Gayanya kelewat sederhana meski gadis cantik itu sadar, calon suaminya bukan orang biasa. Windy sama sekali tidak mengubah penampilannya dan masih menjadi Windy yang biasa, Windy yang menyukai sekaligus berpenampilan sederhana. “Ndy, kamu mau ke mana?” sapa seseorang ketika Windy baru saja mengunci gerbang rumah. Setelah refleks menoleh kemudian berbalik, gadis berkulit putih bersih itu segera menghiasi wajah dengan senyum lembut. “Mau ke luar sebentar, Na. Kamu sendiri mau ke mana?” balasnya sembari membenarkan tote bag hitam yang sempat merosot dari pundak kanannya.  Nana tampak mencongak beberapa saat. Dahinya menjadi berkerut sesaat sebelum seulas senyum menghiasi wajahnya. “Mau ketemu kamu.” Tangan kanannya membenarkan selempang tas berwarna putih selaras dengan sandang yang dikenakan, gaun di atas lutut tak berlengan berdada rendah membentuk huruf V.  “Oh, memangnya ada apa? Tapi sekarang aku sedang cukup buru-buru, sih.” Windy menyikapi Nana sesantai mungkin, meski seperti apa yang baru saja ia sampaikan, dirinya memang sedang buru-buru dan memang sudah harus secepatnya pergi. Nana meringis dalam senyumnya. Gadis yang selalu menggerai rambut bergaya blow out kecokelatan itu kembali menjadikan selempang tas yang menghiasi pundak kanan sebagai bagian dari kesibukan ke dua tangannya. “Kamu dan Kevin, jadi menikah, kan? Kalau iya, niatnya aku mau bantu-bantu biar kamu enggak repot banget.”  Balasan Nana membuat dahi Windy berkerut samar. Windy mengernyit, ia menatap Nana tidak mengerti. Bukan karena Nana membuat ingatannya kembali terempas pada hubungannya dengan Kevin yang sudah ia simpan dalam masa lalu, melainkan maksud gadis itu menyelipkan kata ‘jadi’ dalam pertanyaannya.  “Kamu dan Kevin, jadi menikah, kan?” Windy mengulang pertanyaan Nana, dalam benaknya. “Apa maksud Nana?” batinnya bertanya-tanya dan menjadi berpikiran buruk terhadap lawan bicaranya. “Ndy?”  Panggilan lirih bernada dingin Sandy dari balik pohon palem depan, mengusik pemikiran Windy. Parahnya, Nana sampai terkesiap bahkan terlonjak tatkala melihat pria itu.  “Eh, sori, ya, Na. Aku harus pergi.” Windy tergesa setengah berlari menuju keberadaan Sandy.  Sesuai kesepakatan, hari ini Sandy menggunakan motor untuk transportasi mereka. Namun, yang membuat Windy merasa tidak nyaman, wajah Sandy justru tertekuk seperti menahan kesal. Bahkan ketika pria muda itu membantunya memakai helm, wajah Sandy masih tidak mengalami perubahan berarti.  “Tu-tunggu, kamu marah karena hari ini aku minta kamu pakai motor?” sergah Windy sesaat Sandy nyaris berlalu dan bersiap di atas motor.  “Cepat naik. Kita ngobrolnya nanti saja,” balas Sandy dengan suara tak kalah lirih dari Windy, tanpa sedikit pun mengubah rautnya. Bahkan ia langsung menyalakan mesin motor.  “Apa gara-gara ada Nana?” pikir Windy. Sekalipun masih menyimpan tanya, Windy bergegas mengambil posisi dengan kedua tangan berpegangan pada ke dua pundak Sandy sebelum akhirnya mendekap pinggang pria itu. Tak lupa, ia melemparkan seulas senyum kepada Nana yang masih tampak syok di depan gerbang rumahnya. Wajah Nana sampai pucat bahkan agak berkeringat. **** Motor Sandy tiba-tiba mogok. Padahal, ke duanya tengah menelusuri jalan setapak yang terjal. Sandy menuntun motor, sementara Windy ikut mendorong. Seperti sebelumnya, Sandy tetap bungkam. Sedangkan suasana hari yang awalnya sangat panas mendadak diguyur hujan. Sandy langsung menepikan motor, kemudian membawa Windy untuk berteduh melalui gandengan erat. Mereka menepi di teras salah satu rumah. Hujan pertama di musim kemarau. Hati Windy bergumam demikian seiring kesal yang semakin menguasainya akibat sikap Sandy.  “Kalau caramu begini, aku merasa kita sangat berjarak!” keluh Windy yang sedari awal mendorong motor cemberut menyikapi sikap dingin Sandy yang masih menggandeng sebelah tangannya.  Ke dua mata Sandy terempas dan menatap dalam, ke dua mata Windy penuh getar. Ada kecewa yang terpancar dari raut sekaligus gelagat gadis itu. Sandy yang awalnya tengah membenahi penampilannya secara asal akibat terpaan hujan yang membuat sebagian tubuhnya basah, menjadi menahan resah. Terlebih ketika Windy sampai menepisnya dan lebih memilih untuk memperhatikan jatuhnya guyuran hujan dari atap rumah tempat mereka berteduh.  “Aku sedang marah.” Nada dingin Sandy berhasil mengusik Windy. Gadis itu kembali mengernyit untuk ke sekian kalinya, selama hari ini. “Bahkan sangat marah.” Windy belum berani berkomentar. Ia baru menduga-duga penyebab kemarahan Sandy. Sandy mendesah, kemudian menghadap Windy yang berdiri persis di sebelahnya, membuat Windy balas menatap.  “Karena Nana? Dia sepupuku, meski dia juga pernah menjadi pacarmu di masa lalu. Lagi pula aku tidak pernah mempermasalahkan masa lalumu, karena semua orang termasuk aku juga memiliki masa lalu!” tegas Windy cepat. Sandy menghela napas, tapi kali ini jauh lebih kasar bahkan berujung pada desahan, sedangkan tangan kanan sampai mengacak asal susunan kepalanya.  Sandy tampak frustrasi, membuat Windy semakin tidak mengerti, tapi Windy memilih bungkam seperti apa yang Sandy lakukan.  Bersama Sandy, Windy menunggu hujan reda, kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Untung saja di depan pertigaan yang baru mereka lewati ada bengkel. Sekalipun ternyata penyebab mogoknya motor Sandy tak lain karena kehabisan bensin.  Windy tersentak ketika hidungnya menghantam punggung Sandy. Entah apa yang terjadi, Sandy tiba-tiba mengerem, sementara kini mereka berada di jalanan sepi dan jauh dari pemukiman. Di kanan-kiri mereka hanya terlihat lahan kosong yang dipenuhi rumput liar.  “M-maaf, Ndy,” kata Sandy setelah berbalik dan memastikan keadaan wajah Windy yang sampai diusapnya penuh kehati-hatian. Windy mendengkus. “Sebenarnya kamu ini kenapa, sih? Gayamu kayak cewek lagi datang bulan. Kalau ada masalah, ya ngomong!” ucapnya emosi. Sandy tergagap, membuang wajah untuk beberapa saat, tanpa mengubah ke dua tangannya yang masih menopang ke dua sisi wajah Windy. Wajahnya tampak murung, seolah sedang menyimpan keresahan mendalam.  “Apakah Sandy mengalami sindrom pra-pernikahan?” pikir Windy. “Ketahuilah, Ndy, kamu itu terlalu polos. Sangat sulit bagiku melepasmu melangkah sendiri. Bahkan mungkin kamu lupa, seseorang dapat membenci kita, hanya karena kesalahpahaman atau bahkan kesalahan orang lain, tanpa membuat kita bermasalah dengan mereka.” Sandy berusaha memberikan penjelasan yang masuk akal. Windy terdiam beberapa saat. “Meski terasa menyakitkan bahkan tidak adil, aku percaya kebaikan selalu menuai bahagia. Kita enggak perlu meyakinkan kebenaran pada mereka yang membenci. Karena sampai kapan pun, kita akan selalu salah bagi mereka yang membenci dan akan benar bahkan sempurna, bagi mereka yang mencintai kita.” Tatapan mata Sandy menjadi semakin dalam, tapi menyimpan keresahan di antara helaan napas pelan yang pria itu lakukan. “Jika aku memintamu menjauhi Nana, apakah kamu mau melakukannya? Ini bukan perkara masa lalu hubunganku dengannya. Karena sekalipun kamu mau berkomunikasi dengan semua mantanku, aku oke oke saja.”  “Beri aku alasan yang masuk akal, kenapa aku harus melakukannya bahkan pada sepupuku sendiri.” Windy kian menatap Sandy penuh kepastian. Mengenai Nana yang sebenarnya sudah membuat Windy berpikir buruk atas pertanyaan yang gadis itu berikan menyangkut pernikahan Windy dengan Kevin. “Sekalipun dia selalu bersikap manis kepadamu, tapi di belakangmu dia sangat menyeramkan. Kamu pikir, aku tidak memiliki alasan di setiap tindakan termasuk ketika aku mengencani setiap wanita di masa lalu?” balas Sandy. Windy tampak menerka dalam diamnya, menyimak saksama penjelasan lawan bicaranya. “Kamu pikir, siapa dalang dari tersebarnya buku harianmu di masa lalu? Yakin, Manda bisa seteliti itu?” tambah Sandy. “Ma-mak-sud kamu?” Windy tergagap dan mengerjap tak percaya. “Itulah alasanku memacari Nana.” Sandy menepis tatapan Windy untuk beberapa saat. Benarkan Nana yang masih kemenakan Windy, justru musuh dalam selimut? Namun, kenapa Nana tega dan sampai lebih memilih Manda? Pikir Windy. “Aku enggak mungkin menjerumuskanmu kepada hal yang salah, Ndy. Apalagi kita akan menikah. Apa pun, pasti kulakukan demi menyingkirkan orang-orang yang hanya pura-pura baik di hadapanmu, bahkan meski itu saudaramu sendiri!” tegas Sandy dengan nada suara yang terbilang jauh lebih tenang. Windy masih menunduk, masih merasa sangat tidak nyaman dan hanya memandangi ke dua kaki Sandy yang kali ini mengenakan sneakers putih. Ketika Sandy sampai merengkuh tubuhnya, Windy yang pasrah merasa dunianya mendadak berputar melambat. Namun, Windy menemukan rasa nyaman atas apa yang Sandy lakukan. Dan meski Windy hanya diam tanpa membalas rengkuhan Sandy, jauh di lubuk hatinya ia terus bertanya-tanya, apa yang membuatnya merasa sangat nyaman hanya berada dalam pelukan Sandy? *** “Seenak apa, sih, makanan prasmanan di sini, sampai-sampai kamu ngotot milih tempat ini?” tanya Sandy sesaat mereka sampai di sebuah rumah yang boleh dibilang berada di salah satu pedesaan pelosok kota. “Ini pelosok banget, lho, Ndy. Untung masih di Jakarta.” Windy segera melepas helmnya setelah turun dari motor. “Pokoknya enak. Aku pernah makan beberapa kali saat masih ngurus syuting, dan enaknya enggak pernah berubah!” Sandy merenung untuk beberapa saat. Ia mengikuti jejak Windy yang sudah terlihat siap memasuki pelataran rumah sederhana berhias spanduk “Minang Javanese Food” di hadapan mereka. Windy tersenyum simpul ketika tidak sengaja mendapati Sandy mengernyit memperhatikan spanduk di depan rumah yang mereka kunjungi. Yang jelas, hubungan mereka langsung membaik setelah obrolan serius di antara mereka ketika berteduh, di mana Sandy juga sampai memeluk Windy, hingga Windy merasa jauh lebih tenang. “Yang punya itu kabarnya orang Jawa dan Padang. Si ibunya asli Cilacap, sementara si suami berdarah Minang. Bayangkan, masakan orang Jawa yang tidak diragukan kelezatannya dipadukan dengan racikan Padang dan sudah sangat terkenal hingga di kancah dunia?” bisik Windy antusias.  Sandy yang masih mengernyit menjadi tersenyum geli. “Sejak kapan kamu jadi pemakan sekaligus pengamat makanan sedetail ini?” Windy tersipu. “Belum lama, sih. Paling dua tahun terakhir. Itu pun gara-gara untuk keperluan riset proyek.” “Enakan mana sama masakan Mama?” Pertanyaan lanjutan Sandy membuat Windy nyengir. Seseorang membuka pintu setelah ketukan ke tiga yang Windy lakukan. Seketika itu, suasana justru menjadi senyap seiring Windy yang melirik Sandy. Didapatinya, calon suaminya itu menggeragap dan menepis tatapan wanita pembuka pintu di hadapan mereka.  “Siapa, Tan? Eh, Mbak Windy.... Ayo, Mbak, silakan masuk!” Seorang wanita paruh baya berparas manis mendekat, melewati wanita yang masih tertegun bahkan mematung menatap Sandy.  Tania Angela Putri, wanita yang membuat Sandy mati kutu. Karena tak beda dengan Nana, Tania juga bagian dari masa lalu Sandy. Dulu, saat masih SMA, mereka sempat satu sekolah. Tania merupakan kakak kelas sekaligus sahabat Manda dan Nana. Sementara kini, Tania telah menjadi menantu dalam keluarga kunjungan mereka.  Sepanjang kebersamaan, Sandy terus gelisah terlebih Tania juga nyaris tak berkedip memperhatikannya. Meski ketika lirikan wanita itu berhenti pada Windy, semuanya berubah menjadi sangat menyeramkan. Sungguh ekpresi yang serupa ketika Windy memastikan ekspresi Nana melihatnya bersama Sandy. “Jadi, apa saja yang akan Mbak Windy pilih?” tanya Kesih selaku pemilik katering sekaligus mertua Tania.  Windy yang baru saja menyeka sekitar bibir menggunakan tisu dari meja saji sesaat mencicipi rujak serut beraroma mangga kuweni, segera tersenyum, kemudian melirik Sandy yang selalu terjaga di sampingnya.  “Ehm, bagaimana kalau, mmm…?” Ke dua mata Windy mengamati hidangan di meja saji. Ada buntil, pecel khas beraroma kecombrang lengkap dengan lontong, juga bakwan dan mendoan. Kemudian di sebelahnya ada rujak, manisan kedondong dan mangga, sayur daun pepaya udang, juga tumis bunga pepaya teri. Sementara di sebelahnya dan menyita tempat paling banyak, tak lain rendang dengan beberapa sajian yang kerap disajikan di rumah makan masakan padang.  “Ambil saja semuanya kalau kamu memang suka,” bisik Sandy. Ke dua tangannya ia kantongi di sisi saku celana, sementara rona serius masih menyelimuti sosoknya yang cenderung bungkam.  Windy melirik Sandy. “Dananya buat keperluan lain, Sand.”  Sandy berdecak sembari menggeleng kilat. “Ambil semuanya saja. Mengenai dana aku masih ada. Jangan sampai tamu kita kelaparan, Ndy.” “Ya sudah. Serius, aku ambil semuanya?” Windy menatap dalam ke dua manik mata Sandy. Sandy segera mengangguk. “Iya. Begitu saja. Tapi ngomong-ngomong, aku keluar sebentar, yah, sumpek banget.” Ke duanya berbincang lirih, tak beda dengan berbisik, membuat Tania dan Kesih cukup memperhatikan. Windy tidak mengerti kenapa Sandy mengatakan sumpek, padahal di luar sana sedang turun hujan. Namun, yang membuat Windy tidak nyaman, tak berselang lama setelah kepergian Sandy, Tania juga bergegas masuk ke dalam tanpa basa-basi. Windy tercenung. “Bolehkah aku menegaskan bila kini Sandy milikku sementara mereka hanya ada di masa lalu? Mereka hanya mantan, sedangkan aku wanita yang akan Sandy! Kenapa aku jadi kacau bahkan takut begini?” batin Windy waswas bahkan cemburu. Hidup bersama laki-laki tampan super mapan yang memiliki banyak mantan, rasanya akan membuat Windy sering tidak tenang layaknya sekarang. “Jadi, Mbak Windy hanya pesan ini? Rujak parut dan sayur daun pepaya termasuk buntilnya, enggak jadi?” Kesih menjadi bingung, sebab Windy justru melamun dengan wajah murung. Itu mengapa, ia sampai melayangkan guncangan pelan di salah satu pundak Windy yang jelas terlihat terkejut akibat ulahnya.  “Oh, iya, Bu. Maaf, tadi Ibu tanya apa?” sergah Windy di antara senyum canggung yang dipasang. “Tania enggak sampai nyamperin Sandy, kan? Mereka enggak sampai CLBK?” batin Windy. Pikirannya sungguh langsung kacau, memikirkan kemungkinan buruk calon suaminya dengan mantanantan pria itu. Seulas senyum menghiasi wajah Kesih. Dengan sabar, ia menjelaskan perkara yang sedang mereka hadapi. Wanita berparas ayu itu menjelaskan perihal detail pesanan melalui daftar yang baru ia buat sesuai keterangan dari Windy.  ***** Beberapa menit kemudian, Windy keluar dan mendapati kebersamaan Sandy dengan Tania di teras rumah Kesih. Sudut teras depan, tepatnya. “Sand.” Ia melangkah dan mendekati kebersamaan dengan d**a yang terasa sesak. Cemburu, berikut ketakutannya akhirnya terbukti. Rasanya Windy ingin mengamuk meraung-raung detik itu juga layaknya ketika Kevin mendadak mencampakkannya tanpa alasan yang jelas. Beruntung, Windy masih ingat orang tuanya, hingga ia masih bisa menyikapi keadaan dengan waras. Ketika memastikan situasi lebih rinci, ke dua tangan Sandy tersimpan rapi di saku celana bagian samping. Sementara Tania, kedua mata wanita itu sudah berkaca-kaca dan hidung bangirnya terlihat merah.  “Udah?” tanya Sandy sesaat berbalik. Kedua matanya yang goyah, ia fokuskan pada wajah Windy lengkap dengan seulas senyum. Senyuman yang justru terasa masam bahkan menyakitkan bagi Windy karena terlalu dipaksakan. Windy mengangguk canggung dan tidak bisa menutupi kekacauan yang menimpa hati berikut otaknya. “Berat. Tapi kamu sudah tahu sejak awal bila kejadian sekarang juga akan terjadi, Ndy!” batin Windy pasrah dan tak mau lagi berlama-lama di sana. Namun, rasa tak sabar Windy untuk pergi dari sana, membuat Windy tak kuasa mengontrol kecemburuannya. “Mau sampai kapan di sini? Masih betah?” rutuk Windy sambil melirik sinis calon suaminnya. Sandy yang awalnya sudah melangkah meninggalkan Tania langsung kebingungan. Sedangkan Windy yang sempat meliriknya tajam berlalu lebih dulu menuju keberadaan motor mereka. “Apakah Windy cemburu?” pikir Sandy bergegas menyusul Windy. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN