Episode 12 : Josh

2168 Kata
“Kegagalan di masa lalu yang kembali diungkit memang akan terasa jauh lebih menyakitkan bahkan menorehkan luka baru.” Episode 12 : Josh **** Ada yang bilang, jika kita terbiasa terluka, kita akan jauh lebih kuat. Windy juga berharap demikian sekalipun kenyataan yang ada justru tidak sejalan. Sebab Windy justru tenggelam dalam keterpurukan dan ketakutan terhadap kehilangan. Mungkin, itu karena semuanya terjadi dan menimpa kehidupan Windy. Bukan cerita terlebih drama yang selalu Windy racik sedemikian rupa, dengan akhir yang tentu sesuai rencana. Dan jika saja di kehidupan nyata Windy tetap bisa menjadi penentu skenario kehidupannya, tentu Windy tidak akan merana. Dicampakkan oleh Kevin ketika hari pernikahan mereka sudah ada di depan mata, menerima Sandy sebagai mempelai pengganti, juga ketakutan Windy atas kesempurnaan yang menyertai seorang Sandy. Sandy yang memiliki segalanya, baik fisik maupun materi. Tanpa terkecuali deretan mantan sekaligus wanita yang sampai rela mengantre, mengemis cinta Sandy. Semua itu sungguh membuat Windy gamang. Windy terduduk di lantai depan bibir tempat tidurnya. Ia mendekap erat ke dua lututnya dengan ketakutan yang tak bisa ia halau. Windy teramat takut, Sandy yang memiliki segalanya justru lebih kejam dari Kevin yang mendadak membuangnya, tak mau lagi berurusan dengan Windy.  Di tengah suasana kamar yang remang dan hanya mengandalkan dua buah lampu meja yang masing-masing menghiasi nakas tempat tidur, Windy yang perlahan kehilangan kesadarannya, meremas kuat rambutnya yang tergerai. Ia beranjak dan mencoba menaiki ranjang tidur, sebelum akhirnya tubuhnya tergolek dan tarjatuh di tengah-tengah tempat tidur. **** Windy terbangun atas sorot mentari yang menyelinap dari jendela kaca dan hanya tertutup gorden tipis. Ia berangsur bangkit dari ringkukan sementara kedua matanya sibuk mengernyit menghalau silau. Saking ingin memastikan kepergian Sandy, malam kemarin setelah mengunjungi butik dan menjalani sederet persiapan, ia sampai lupa menutup tuntas gorden tebalnya. Efek pemikirannya yang terlalu bergerak liar dipenuhi kemungkinan buruk memang membuatnya semakin terpuruk.  Segera Windy beranjak untuk meraih ponsel yang terkapar pada nakas sebelah ranjang. Dan ternyata, ia tidak hanya melupakan selimut untuk tidur. Sebab baru ia sadari, lantai ka marnya kembali menjadi lautan tisu sementara kedua matanya sembam. Pasti semalam tadi, ia kembali menangis tanpa henti.  Keterpurukan semakin menjerat Windy, sebab meski sudah hampir jam sepuluh pagi, calon suaminya tidak memberinya kabar.  Biasanya, Sandy akan mengiriminya pesan untuk sekadar menanyakan kabar, apakah Windy sudah bangun, mandi, juga sarapan? Tidak lebih dari itu selain menanyakan aktivitas, sebab Windy paham bila Sandy bukan tipikal romantis seperti karakter idaman yang sering ia ciptakan di setiap ceritanya. Boleh dibilang, Sandy itu sebelas dua belas dengan Kevin. Meski tentu, Sandy tidak sekaku Kevin dan masih memiliki sedikit sifat romantis bahkan humoris layaknya bila sedang menghadapi Tito.  Windy mencongak dan terlihat semakin menyedihkan. “Jangan-jangan Sandy sudah bertemu Manda dan dia juga berubah arah seperti Kevin? Atau malah melakukan tindakan nekat di luar pemikiranku? Aku kembali dicampakkan?” Kali ini wajahnya menjadi menunduk murung seiring ke dua matanya yang menatap sedih obrolan pesan w******p-nya dengan Sandy.  Satu tetes air mata mengalir dari salah satu ujung mata Windy. Ia menghela napas sekenanya, sementara bibir mungil dan kini kering pucat, tak hentinya bergetar. Ke dua matanya menjadi terfokus pada cincin berlian yang tersemat di jari manis kanan. Kemudian jemari kiri yang bergetar berangsur meraih dan mencoba melepas cincin dari sematannya. Cukup sulit, sebab ukuran yang Sandy berikan tergolong pas. Sedangkan dulu, cincin pengikat pemberian Kevin yang memang berdiameter jauh lebih lebar bisa ia lepas sesuka hati.  “Jika aku enggak jadi menikah, mungkin semuanya justru akan jauh lebih mudah. Hanya akan menorehkan kenangan luka yang cenderung diwarnai malu. Bukankah itu jauh lebih bisa diatasi ketimbang ditinggalkan di pelaminan atau bahkan berujung dengan perceraian setelah menahan sakit berkepanjangan?” Windy menyapu tuntas air matanya menggunakan ke dua tangan. Kemudian ia menekuk ke dua lutut dan menyandar pada sandaran ranjang dengan meringkuk, sementara ke dua matanya kembali fokus pada layar ponsel yang masih menampakkan obrolan pesan w******p-nya dengan Sandy.  [Sand,] Windy baru menulis itu ketika telepon masuk dari Dyana membuatnya terjaga. Ia segera menggeser tombol jawab, sesaat berdeham demi memastikan suaranya bisa didengar dengan cukup baik.  Dyana meminta Windy untuk datang ke sebuah mal, tepatnya wahana bermain di sekitar Tanah Abang. Katanya, Diana sedang ada urusan di Jakarta. Namun yang membuat Windy tidak mengerti, kenapa Dyana justru memintanya datang ke wahana bermain?  **** Setelah satu jam lebih berlalu dari Dyana menelepon, Windy mulai menginjakkan kakinya di tempat yang dimaksud. Tempat itu dipenuhi anak-anak. Ke dua mata Windy yang kali ini menggunakan soft lens hitam, sibuk mencari-cari. Akhirnya, Windy menemukan keberadaan Dyana di salah satu pemandian bola. Terpikir olehnya, apa yang sedang dilakukan calon mamah mertuanya di wahana yang dikhususkan untuk anak-anak? “Josh, hati-hati, nanti kamu jatuh lagi!” sergah Dyana tampak cemas.  Dyana mencomot tangan seorang bocah laki-laki yang kiranya berumur empat tahun. Bocah bertubuh segar yang memiliki kulit putih bersih itu tidak mau diam dan membuat Dyana kewalahan. “Anak kecil yang sama Tante Dyana itu siapa?” Langkah Windy memelan seiring pengamatannya. Namun, Windy tak mau menyia-nyiakan waktu, tak enak rasanya jika ia harus membuat Dyana semakin menunggu. “Maaf, Tante, saya baru bisa datang.” Windy bertutur sopan seiring ia yang merasa sangat tegang. Menghadapi Dyana sungguh membuat Windy merasa harus tampil sesempurna mungkin. Mendengar itu, Dyana segera balik badan untuk memastikan. “Ah, kamu sudah datang, Ndy. Syukurlah. Josh, ini Tante Windy. Kamu sama Tante Windy dulu, soalnya Oma ada rapat penting.” Penuturan Dyana langsung membuat Windy tercengang sekaligus syok. “Oma? Anak ini cucu Tante Dyana? Bukankah kata Sandy, orang tua angkatnya tidak memiliki keturunan, itu sebabnya mereka mengadopsi Sandy?” batinnya. Windy bingung sebingung-bingungnya. Itu juga yang membuatnya kerap menelan salivanya, tanpa berani bertanya. Bocah menggemaskan itu langsung diam, kemudian menjerat Windy dengan tatapan menyelidik. “Jadi, Tante ini, yang bakalan nikah sama Papa Sandy? Dan Tante ini juga yang bakalan jadi mama baruku?” Hati Windy mencelis. Windy tidak salah dengar, kan? Anak yang dipanggil Dyana ; Josh ini tidak salah ucap memanggil Sandy dengan “papa”? “Nah, betul. Makanya kamu jangan rewel, ya. Kamu main sama Tante Windy dulu!” sahut Dyana sembari mengelus rambut hitam tebal si bocah yang dipanggilnya Josh.  “Bukan Tante, tapi Mama, Oma. Mama Windy!” ucap Josh mengoreksi ucapan sang Oma. Windy tersenyum getir seiring rona panas yang menyerang sekujur tubuhnya. Seharusnya ia senang karena Josh si bocah yang memanggil Dyana “Oma”, dan “Papa” kepada Sandy, turut memanggilnya “Mama”. Bukankah itu bagian dari sambutan hangat? Namun, kenapa hati Windy justru menangis? “Halo, Mama Windy, namaku Josh. Aku anaknya Papa Sandy. Kata Oma, sekarang Papa Sandy sedang sibuk kerja, jadi aku nggak boleh nakal.” Ke dua manik mata Josh, menatap Windy penuh ketulusan.  Tak ada dosa yang terpancar dari bocah di hadapannya yang jelas mengharapkan perhatiannya. Hati Windy sampai berdesir hangat karenanya. Sungguh, Windy langsung jatuh cinta pada Josh.   Windy berangsur jongkok. Bibirnya yang gemetaran menorehkan seulas senyuman, sementara tangan kanannya yang mengalami hal serupa, segera melayangkan elusan di pucuk kepala Josh. Elusan yang tampak ragu, meski jauh di lubuk hatinya, Windy teramat menginginkan Josh.  “Ya sudah, Ndy. Tante titip Josh ke kamu, soalnya Tante harus meeting di beberapa tempat. Nanti kalau udah beres, Tante langsung jemput Josh, kok.” Windy mendongak demi menatap sekaligus membalas Dyana. Anggukan canggung ia berikan bersama seulas senyum sebagai balasan. Senyuman yang tentu hanya terlihat masam di antara tanya yang membuatnya tidak bisa berkata-kata.  Senyum lepas merekah di wajah Dyana. Kali ini fokusnya teralih dari Windy menuju Josh. “Ingat, ya, Josh. Jangan nakal. Nanti kalau Oma sudah beres kerja, Oma langsung jemput kamu.” Tangan kanannya mengelus kepala Josh yang sampai menengadah demi menatapnya.  “Tapi aku mau ketemu Papa Sandy. Aku kangen banget sama Papa, Oma!” rengek Josh sambil menatap sedih Dyana. Jadi, Josh ini anak Sandy dengan siapa? Dan apakah masih ada bahkan banyak fakta tentang Sandy yang belum Windy ketahui? Windy harap tidak banyak kemungkinan buruk yang harus ia hadapi dalam hubungannya dengan Sandy. Windy sudah telanjur lelah menghadapi kemelut pernikahan.  *** Josh yang digandeng Windy dan kerap loncat tidak mau diam, seolah menunjukkan, bocah itu merasa nyaman dan senang. Ke duanya telah berkeliling taman hiburan, mencoba beberapa wahana permainan, lalu makan. Masih tersisa satu contong es krim cokelat di tangan kanan Josh dan tengah dinikmati.  “Ma, abis ini kita mau ke mana?” Windy terdiam dan merenung. Mereka harus ke mana? Mana mungkin Windy membawa Josh pulang ke rumah sementara Windy saja belum mengetahui pasti status bocah itu dalam hidup Sandy. Bagaimana jika ke dua orang tua Windy berpikir macam-macam bahkan jauh dari kenyataan?  “Hai, Ndy?” Sapaan itu mengusik renungan Windy. Bahkan Josh sampai ikut memperhatikan sesosok pria yang menyapa Windy dan membuat langkah mereka berhenti. Pria berkulit kuning langsat yang seketika menjerat Windy dengan senyum hangat.  “Hai, Nik. Apa kabar?” Windy tampak canggung sembari menatap pria berlesung pipit di hadapannya.  “Kabarku baik. Bagaimana denganmu, lama nggak ketemu tau-tau udah mau nikah aja sama Kevin? Sori, ya, nggak bisa banyak bantu, soalnya jadwal kerjaku padat banget.” Windy menahan sesak untuk beberapa saat dalam dadanya. Ya, kegagalan di masa lalu yang kembali diungkit memang akan terasa jauh lebih menyakitkan bahkan menorehkan luka baru. Windy paham itu. Namun, kenapa Niko seolah tidak mengetahui hubungan Windy dan Kevin yang sudah berakhir? Bukankah Niko dan Kevin bersahabat? Niko masih tersenyum ramah. Pria dalam balutan kaus lengan pendek warna hitam tersebut berangsur menjadikan Josh sebagai fokus perhatian. Bocah menggemaskan itu tengah menikmati es krim sementara ke dua matanya yang tajam menatapnya penuh menyelidik.  “Eh, ini siapa? Lucu banget.” Tangan kanan Niko mengelus-elus kepala Josh.  “Memangnya aku ini badut, Om bilang lucu! Lagian kalau aku lucu, kenapa Om nggak ketawa?” balas Josh sesaat mendengkus bahkan membuang wajah dari Niko.  Windy terkejut dengan balasan ketus Josh. Kenyataan yang membuatnya teringat kepada Sandy. Ke duanya memiliki sifat sama ketika menghadapi sosok yang tidak disukai.  “O, o. Ndy, dia siapa? Bukankah kamu anak tunggal?” Niko merasa serba salah lantaran tanggapan Josh sungguh di luar dugaannya. Josh mendongak, menunggu balas Windy dengan bibir mengerucut.  Seulas senyum menghiasi wajah Windy. “Namanya Josh. Dia ….” Ia berangsur menunduk, mendapati mata indah Josh, menatapnya sangat teduh. “Anakku!” lanjutnya tanpa ragu. Lanjutan Windy membuat keceriaan terpancar dari wajah Josh. Bocah itu langsung kegirangan dan melahap sisa es krimnya dengan sangat cepat. Lain halnya dengan Niko yang justru menjadi sangat terkejut.  “Ndy, yang benar saja, masa dia anakmu?” Seulas senyum kembali menghiasi wajah Windy. Gadis itu menoleh dan menatap Josh. “Maaf, Nik. Kami ada urusan yang enggak bisa kami tunda. Sampai jumpa.” Windy berlalu dan kembali melanjutkan perjalanannya dengan Josh. **** “Ma-ma nitip Josh ke Windy?” Dahi Sandy berkerut. Ia yang awalnya masih meringkuk dalam balutan selimut, seketika bangkit.  Bila melihat wajahnya yang pucat bahkan bibir tebal berisinya sampai kering, sepertinya keadaannya sedang tidak baik-baik saja. “Bukankah cepat atau lambat Windy juga akan tahu?” balas Dyana dari seberang terdengar enteng.  Sandy berdecak kesal. “Ehm! Sebentar, Ma.” Ia segera meninggalkan kamar dan menelusuri ruang apartemen yang terbilang minim penerangan. Hanya beberapa lampu kecil saja yang menyala menghiasi beberapa sudut. Langkahnya terhenti di depan sebuah kulkas dan ia segera mengeluarkan sebotol air mineral dari sana. “Apa yang harus aku katakan ke Windy? Padahal aku udah nyiapin waktu khususuntuk mengenalkan Josh kepadanya, Ma,” eluhnya setelah menenggak air mineral dan membuat tenggorokannya terasa lebih baik, tak sekering sekaligus sakit sebelumnya.  “Kenapa harus dipermasalahkan, sih? Bukankah bagaimanapun, Josh memang bagian dari hidupmu?” keluh Dyana dari seberang. Sandy mendengkus, tampak pasrah, kemudian kembali menyimpan botol air mineral berisi setengah lebih, ke dalam kulkas. “Terus, tadi reaksi Windy ke Josh gimana?” Dyana tak lantas langsung menjawab, menandakan wanita itu sedang berpikir atau setidaknya mengingat kejadian yang sedang Dyana tanyakan “Tadi sih nggak banyak perubahan. Windy ya diem gitu aja. Josh juga kelihatan nyaman-nyaman aja ke Windy.” Wajah Sandy semakin suram. “Aku benar-benar nggak ngerti dengan cara pikir Mama. Kalau cara Mama begini, Mama sama saja nyakitin Windy, Ma. Padahal Mama udah janji ke aku ….” **** Lima belas menit kemudian, Sandy keluar dari apartemen dengan tampilan yang cukup rapi. Kaus santai lengan pendek warna putih yang menjodohi celana panjang warna hitam telah ia tinggalkan. Gayanya kini kembali mengenakan kemeja lengan panjang warna biru muda berikut celana bahan warna biru tua tanpa disertai jas maupun dasi.  Wajah pucat dengan mata yang terus menyipit melekat di tampilan Sandy. Namun yang menjadi masalah kini, di depan pintu apartemen sebelah telah ia dapati kebersamaan Windy yang menggandeng Josh, tengah berhadapan dengan seorang pria.  Pria yang berdiri tepat di ambang bibir pintu sebelah apartemen Sandy, bermata biru, dan seolah baru keluar dari apartemen tersebut nyaris tidak berkedip menatap Windy. Apa yang dilakukan Windy dengan pria itu? Kenapa ke duanya terikat dalam tatapan intens seperti itu? “Pria itu Kevin. Namun, kenapa Kevin menatap Windy seintens itu?” batin Sandy yang seketika terbakar api cemburu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN