Episode 10 : Pertemuan Keluarga

2767 Kata
“Karena sempurna bukan hanya dari satu hal. Melainkan dari beberapa komponen yang dipadukan menjadi kesatuan. Sedangkan seseorang baru bisa sempurna jika bersatu dengan orang yang dicintai.” Episode 10 : Pertemuan Keluarga ****  Sesuai niatnya, selepas makan malam, Windy sungguh menyempatkan waktu untuk berbicara empat mata dengan Sandy. Terlalu banyak hal yang harus ia ketahui sekaligus tanyakan kepada pria itu. Sekitar dua menit lalu, Arden baru saja berlalu dari ruang keluarga kebersamaan pria itu menghabiskan waktu dengan Sandy. Namun kini, Windy tak mendapati Sandy ada di sana. Ruang tamu begitu sepi, kosong tanpa penghuni. “Sandy pergi ke mana? Papah bilang, Sandy ada di sini?” pikir Windy. Terpikir olehnya, Sandy sengaja pergi tempat yang lebih privasi. Seperti kamar mandi atau ruangan lain yang lebih sepi sekaligus tertutup. “Enggak mungkin juga dia pergi tanpa pamit,” pikir Windy sembari terus melangkah menuju ruang tamu selaku ruang pertama setelah pintu masuk di rumahnya. Persis seperti dugaan Windy. Sandy ada di sana. Pria itu memunggungi keberadaannta, berdiri sambil melangkah pelan, sedangkan tangan kanan menempelkan ponsel ke telinga kanan. “Semua barang telah tiba di pelabuhan, berarti semuanya aman. Tinggal besok saja. Pastikan rapat berjalan dengan lancar. … beberapa klien dari luar kota sudah ada di Jakarta? Bagus kalau begitu ….” “Dia sangat sibuk.” Keseriusan Sandy yang berbicara dengan suara lirih, mengurungkan niat Windy. Yang ada, Windy menjadi kebingungan tak lama setelah Sandy yang nyaris ia tinggalkan, justru balik badan. “Ndy …?” panggil Sandy lirih yang buru-buru berkata, “sebentar.” Ia sengaja agak menjauhkan ponselnya dari telinga dan memang ingin fokus kepada calon istrinya. Windy buru-buru menggeleng sambil menatap sungkan wajah calon suaminya. Wajah tampan itu tampak menampung banyak rasa lelah. “Enggak apa-apa. Aku pikir kamu sudah pulang. Lanjutkan saja.”  Tanpa pamit atau sekadar menunggu persetujuan Sandy, Windy buru-buru berlalu dari sana, sedangkan Sandy melepasnya dengan tatapan hampa. “Anak itu … masih saja merasa sungkan bahkan malu kepadaku,” gumam Sandy yang kemudian kembali fokus dengan perbincangan di ponselnya. Ia melakukannya sambil melangkah pelan layaknya ketika Windy belum datang menghampirinya. **** Sambil menunggu kedatangan Sandy, Windy yang terjaga di sofa keluarga seorang diri, sengaja mencari tahu mengenai pekerjaan sekaligus perusahaan Sandy, di laman internet. Suverior Tekstil, seperti dugaan Windy, perusahaan tersebut merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di negara mereka yang pemasarannya sudah mencangkup kancah luar negeri.  Windy yang semakin penasaran sekaligus antusias sendiri juga membenarkan, barang-barang dari perusahaan Sandy terkenal dengan kualitas sekaligus harga yang “wah”. Dalam struktur jabatan yang sampai dijabarkan, nama Sandy Agusta Rahman, tertera dan menjabat sebagai seorang CEO di sana. Meski tidak sampai disertai foto, Windy yakin, sosok Sandy Agusta Rahman tersebut Sandy calon suaminya. “Ternyata, Sandy memang bukan orang biasa ….” Sambil menggigit kuat bibir bawahnya, tatapan Windy kosong menatap asal ke depan.  Terpikir oleh Windy untuk mencari nama Manda di sana. “Ah, iya … siapa tahu, ada info tentang Manda juga!” Windy menjadi bersemangat. Menatap saksama layar ponsel yang sampai ia kendalikan menggunakan ke dua tangan. **** Keesokan harinya, keantusiasan Fania dan Ardan dalam menyiapkan segala sesuatunya demi menyambut kedatangan orang tua Sandy, cukup membuat Windy terbebani. Rumah mereka yang biasanya sudah rapi menjadi semakin rapi.  Selain sampai memesan beberapa bunga hias nan segar dan berhasil menghasilkan suasana asri sangat kental, sejak malam kepulangan Sandy, Fania juga sudah sibuk menyiapkan keperluan jamuan. Wanita paruh baya yang memiliki hobi masak dengan hasil tak diragukan itu telah memasak banyak jamuan, termasuk rendang, masakan andalannya.  Rendang buatan Fania menggunakan racikan khusus hingga hasilnya jauh lebih empuk sekaligus gurih dengan aroma rempah yang begitu kental. Sampai-sampai, Ardan dibuat sibuk menetralisir aroma rendang yang menguasai seantero rumah, menggunakan lilin aroma terapi. Selain itu, sup iga sapi yang pernah dipuji Sandy juga kembali disediakan khusus oleh Fania.  Windy meyakini, bahwa selain sudah menganggap Sandy sebagai bagian dari keluarga mereka lantaran sebentar lagi akan menikahinya, Fania juga merasa tersentuh sekaligus dihargai. Pujian untuk masakannya tidak pernah didapatkan dari Kevin yang jelas jauh lebih lama bersamanya.  Namun yang menjadi permasalahan kini, Windy tidak yakin bila orang tua Sandy juga akan menyambut baik pertemuan sekaligus acara lamaran.  Bagaimana jika ke dua orang tua Windy justru hanya dipandang sebelah mata? Tentu penyambutan besar-besaran yang mereka lakukan akan berujung luka! “Ndy, kamu enggak ke salon?”  Pertanyaan Fania mengalihkan fokus Windy. Gadis itu terkesiap dan kembali ke alam sadar. Didapatinya Fania yang berjalan tergesa memasuki kamar di hadapan mereka.  Windy menggeleng pelan. “Enggak, Ma. Gini saja sudah cukup.”  “Ini hari spesial untukmu. Kamu enggak mau tampil lebih spesial?” Fania menatap heran Windy. Windy tersenyum lembut, tapi menyadari bila senyum yang ia berikan justru sangat masam. Apa yang terjadi kini juga pernah ia alami ketika Kevin melamarnya. Di mana kenyataan kini juga membuatnya kembali terluka. “Ayolah, Ndy!” Fania berusaha menyemangati. Windy hanya mesem kemudian berlalu memasuki kamar. Sungguh balasan yang tidak berarti. “Apa yang Kevin lakukan tak hanya melukai Windy sangat dalam. Karena apa yang Kevin lakukan juga sampai membuat Windy trauma!” pikir Fania. **** Tepat pukul dua belas siang, Windy keluar dari kamar. Dalam balutan gaun putih selutut, gadis yang lebih sering menggerai rambut itu terlihat sangat anggun sekaligus manis. Kali ini, rambutnya diikat, menunjukkan dengan jelas tekstur lace dan bentuk kerah round neck gaun yang dikenakannya. Mungkin kali ini Windy memang tampil biasa-biasa saja, termasuk dengan rias yang cenderung natural. Ia hanya melengkapi penampilannya dengan kalung putih dan anting berwarna senada. Meski demikian, padu padan yang Windy lakukan membuat tampilannya sangat memukau. Itu juga yang membuat Sandy tak percaya, nyaris tidak mengedipkan mata, ketika melihat penampilan calon istrinya.   Dyana yang menyadari keadaan Sandy segera menyikut lengan pria muda itu. Sandy terkesiap karenanya, kemudian mendapati keakraban antara ke dua orang tuanya dengan orang tua Windy. Suatu kenyataan yang juga membuat Windy tidak percaya.  “Wah, bunganya cantik-cantik banget, Fa. Kamu suka bunga juga, ya?” Dyana dan Fania berjalan seirama. Sesekali, ke dua wanita paruh baya itu bertukar tawa di sela obrolan, bahkan saling merangkul.  “Iya. Jakarta memang sangat panas. Sangat berbeda dengan Bandung. Herannya, kok Sandy sampai betah ya, lama-lama di Jakarta? Ah, lupa. Kan di sini ada Windy!” ucap Syam. Pemandangan sama juga terjadi pada Syam, papa Sandy, yang tampak tidak kalah akrab dengan Ardan. Ke duanya sibuk mengobrol renyah di ruang santai dekat taman yang disertai kolam ikan berukuran kecil.  Windy terkesiap melihat itu semua. Ia sedang tidak bermimpi karena terlalu takut, acara pertemuan akan hancur atas dasar penilaiannya terhadap keluarga Sandy, kan?  “Sekarang giliran kita!” Sandy menggandeng salah satu tangan Windy di tengah untaian senyum yang menghiasi wajah tampannya.  Windy terlonjak dan refleks mengebaskan gandengan Sandy secara kasar.  “Ya ampun, kamu kenapa, Ndy?” “Kamu bikin aku kaget.” Windy sibuk mengatur napas dengan cukup membungkuk sementara kedua tangan menahan d**a.  “Dari tadi kamu melamun?” tanya Sandy masih menatap heran calon istrinya. Windy tidak menjawab dan hanya menggeleng pelan. Ia memilih melangkah ke luar dan duduk di bangku depan pintu, menghadap taman halaman depan rumah.  Sandy menyusul, mencoba mengimbangi Windy. “Mau kuambilin minum?” tawarnya sesaat setelah duduk di sebelah Windy.  Windy menggeleng namun masih terlihat lesu, sementara ke dua tangannya berangsur turun dari d**a.  “Hari ini kamu cantik banget.” Sandy sengaja memuji Windy. Windy kembali terkesiap. Pujian yang Sandy berikan selalu membuat jantungnya berdebar cukup kacau.  “Jadi, bagaimana? Rencana persiapan pernikahan? Aku enggak mau kalau kamu hanya menginginkan pernikahan yang biasa-biasa saja. Aku mau pernikahan luar biasa agar semua mata tertuju kepadamu meski jelas, kamu hanya boleh menatapku.” Sandy menatap serius Windy meski gayanya terbilang jauh lebih santai dari sebelum-sebelumnya. Meski masih merasa gugup, Windy mencoba menguasai diri dan sebisa mungkin menyeimbangi Sandy. “Bentar, aku sudah mendatanya di catatan hape.” Setelah terlihat sibuk memilah-milih aplikasi di ponsel, Windy mengangsurkannya kepada Sandy. Sandy menerima dan menatap saksama layar ponsel Windy. “Besok kita harus urus keperluan katering, tapi perginya pakai motor soalnya jalannya masuk ke gang, tempatnya cukup di perkampungan dan memang enggak bisa dilewati mobil,” jelas Windy. Sandy mengernyit. “Kalau kamu mau pakai katering lain, aku banyak kenalan. Kamu tinggal milih.” “Enggak, Sand. Lagian, selain udah telanjur janjian sama pemiliknya, katering ini juga sudah tepercaya.” Kali ini bibir Sandy manyun. “Nanti aku yang urus. Kita tetap bayar dan ambil barangnya, tapi kita sambil pilih ketering lain saja. Yang dekat, enak juga banyak, kan?” Windy langsung menggeleng, menegaskan ketidamsetujuannya. “Itu namanya boros! Mubazir!” Sadar dengan pilihan Windy yang tidak bisa diganggu gugat, Sandy pasrah, menelan salivanya sambil mengangguk dan kembali fokus pada layar ponsel Windy. “Terus, … ini enggak ada yang mau ditambah lagi?”  Dahi Windy berkerut samar. “Kayaknya enggak perlu, deh.” “Tapi aku rasa ada beberapa bagian yang harus diubah, Ndy.” “Yang mana?” Dahi Windy berkerut tipis. “Padahal aku sudah hitung semuanya dan itu sudah dilebihin.”  Sandy kembali menelan salivanya pelan. “Tamu undangan bakalan jauh lebih banyak dari data di sini. Jumlah pesanan undangan harus ditambah. Katering juga. Dan kalau melihat lokasi resepsi, sepertinya harus diganti. Jadi—” Windy langsung menahan ucapan Sandy. “Sand.” “Mmm?” Sandy menoleh dan menatap Windy. Calon istrinya itu terlihat cukup panik. “Kita enggak bisa asal ubah. Lagian, memang keburu, sementara waktu tinggal sebentar? Ini dunia nyata, bukan khayalan yang bisa dengan mudah nyihir keadaan.” Windy mendengkus sementara bibir mungilnya mengerucut. “Bandung Bandowoso saja tidak bisa menyanggupi permintaan Roro Jonggrang sekalipun dia sudah dibantu banyak jin! Ingat itu!”  “Yang penting kamu enggak melakukan tipu muslihat Roro Jonggrang, pasti bisa,” balas Sandy penuh keseriusan. “Ndy, percayalah, aku bisa melakukan semuanya buat kamu. Kamu jangan takut ini-itu. Semuanya pasti aku urus.” Tatapan ke dua matanya tak lepas dari Windy. “S-Sand ….” “Kamu pikir, aku kerja capek-capek buat apa, kalau bukan buat kamu?” tangkis Sandy lantaran Windy masih saja meragukannya. Ada desir hangat yang menyelimuti hati Windy. Gadis itu tampak kikuk dan lagi-lagi hanya bisa menunduk. “Lagi pula, kenapa juga kamu menyamakanku dengan Bandung Bandowoso, bukan Rahwana?” eluhnya sesaat kemudian demi mencairkan suasana kebersamaan mereka. “Rahwana?” Ke dua mata Windy menuntut kepastian terhadap ke dua mata Sandy. Dan ketika pria muda itu memberinya anggukan, ia pun melanjutkan. “Enggak salah?” “Kamu tahu sisi lain dari seorang Rahwana yang sudah dicap sebagai penjahat?” lanjut Sandy kembali santai. “Tentu!” saut Windy cepat. “Apa?” Sandy menatap penasaran lawan bicaranya. “Ini seperti mimpi. Mengobrol denganmu dengan jarak sedekat ini,” batinnya. “Pencinta sejati yang memiliki kesetiaan tinggi. Dia hanya mencintai seorang wanita yaitu Dewi Setyawati. Bahkan ketika Rahwana mengetahui Dewi Setyawati yang meninggal menitis kepada Dewi Sinta, Rahwana rela melawan Rama dengan segudang cara hanya untuk bisa kembali dengan wanita yang dicintai yaitu Dewi Setyawati. Kamu pikir aku enggak tahu?” jelas Windy cepat. “Lalu, sadarkah kamu kalau nasibku enggak beda dengan Rahwana?” Sandy sengaja menyombongkan diri. Windy mengerjap tak percaya menatap wajah calin suaminya yang sampai membuang wajah darinya. “A-a, atas dasar apa? Jelas-jelas kamu memacari semua wanita! Bahkan kambing saja kalau berias langsung kamu embat!” Sandy dibuay syok atas penuturan Windy. Ia menatap tak percaya Windy. “Jadi, sekarang kamu sedang menyamakan dirimu dengan kambing? Ya ampun, ada kambing secantik ini yang hampir merenggut seluruh kewarasanku?” Dan ia sengaja menggoda Windy. Windy menggeragap. “Aku rasa kamu memang sudah enggak memiliki kewarasan!” Sandy menahan tawa dan mengulum bibirnya. “Sekarang aku seakan seperti terlahir kembali. Kebersamaan seperti ini benar-benar membuatku merasa sedang bersama Windy yang dulu.” “Mengenai masa lalu, aku harap kamu akan jauh lebih dewasa ketika memutuskan untuk kembali mengenangnya.” Windy langsung serius. Di antara sisa senyum yang berangsur menepi, Sandy menoleh, menatap saksama wajah Windy yang masih menunduk. Duka dan luka jelas belum sepenuhnya meninggalkan wajah cantik yang selalu tampil tenang di antara binar mata sendu itu. Mata sendu yang selalu memancarkan keteduhan hingga mampu menimbulkan efek tenang bagi setiap yang memandang, terlebih untuknya.  Windy menoleh dan langsung canggung tatkala mendapati Sandy tengah menatapnya sangat dalam. Itu mengapa ia kembali buru-buru menunduk. “Sand, aku mau menikah denganmu tanpa embel-embel latar belakang termasuk materi yang kamu miliki. Pernikahan ini sebaiknya dilakukan dengan biaya kita sendiri, tanpa melibatkan orang lain termasuk orang tua.”  “Tenang saja, Ndy. Aku ada cukup tabungan. Kalaupun masih kurang, tentu akan menjadi pinjaman pribadi. Kamu bisa pegang ucapanku.”  Dalam diamnya, Windy menghela napas pelan sementara wajahnya bergetar samar. Kemudian gadis itu menoleh, hendak kembali melayangkan keberatannya, tak setuju dengan cara pikir Sandy. “Aku benar-benar ingin membuat semua mata tertuju kepadamu, terutama Kevin. Aku ingin membuat pria itu menyesal sekalipun tanpa kesalahannya, tentu … tentu aku tidak akan memiliki kesempatan untuk bersamamu lagi.” Ke dua mata Windy bergetar dan terendam cairan hangat. Ketika nama Kevin disebut, rasanya ada benda tajam yang menyayat hatinya, sedangkan matanya yang awalnya baik-baik saja, mendadak terasa sangat panas. “Sudahlah Sand, enggak usah membahas dia lagi. Aku sudah berjanji kepada diriku untuk tidak mempermasalahkannya. Aku sedang belajar berdamai dengan hatiku sesuai janjiku kepada Mama.” Wajah Windy kian tertekuk. Ada kesal, bahkan mungkin luka mendalam yang sulit untuk dijelaskan.  “Iya, maaf. Tenang dan bahagialah. Semuanya akan baik-baik saja. Biar aku yang urus!” tegas Sandy dengan nada suara yang masih santai. Setelah sama-sama bungkam, salah satu tangan Sandy meraih ke dua tangan Windy dan disimpannya dalam genggaman erat.  Windy hanya pasrah menerimanya sembari sibuk mengatur napas demi meredam kekacauan di d**a. Ulah Sandy tak hanya membuatnya gugup, melainkan tegang. [“Karena sempurna bukan hanya dari satu hal. Melainkan dari beberapa komponen yang dipadukan menjadi kesatuan. Sedangkan seseorang baru bisa sempurna jika bersatu dengan orang yang dicintai.”] Windy mendadak teringat kata-kata Tito saat kebersamaan kemarin. “Ini … apakah aku dan Sandy juga begitu? Bahkan hubungan kami teramat dikejar waktu,” pikir Windy. Sesaat kemudian, dua buah truk yang menepi di depan gerbang rumah, membuat Sandy beranjak meninggalkan Windy.  Windy memperhatikan Sandy bercakap-cakap dengan salah satu sopir truk, kemudian bergegas mendorong gerbang. Hal tersebut membuat Windy bangkit menghampiri Sandy.  “Ada apa, Sand? Kamu mau ngapain?” Kerutan di dahi Windy kian bertambah. Ia sungguh tak mengerti dengan maksud Sandy yang bahkan seolah akan membuka tuntas gerbang rumah orang tua Windy. “Ini, kiriman baki udah datang.” Sandy menjelaskan sekenanya. “Hah, baki?” Sampai ada dua truk? Enggak salah? Windy tercengang. Ia yang menepi di samping Sandy setelah pria muda itu berhasil membuka tuntas gerbang, melihat dengan matanya sendiri, bahwa baki yang Sandy maksud memang sangat banyak dalam ukuran besar.  “Harus mulai nyicil biar cepat beres, Ndy. Mungkin mulai lusa akan ada yang datang buat urus bakinya. Mama Fania selalu di rumah, kan?” Windy mengangguk canggung dengan bibir yang masih terkunci karena bingung. Bila baki sebanyak itu, mana mungkin pernikahan akan berlangsung sederhana? Bahkan kini tiga buah mobil pribadi juga menepi, membawa seperangkat keperluan sandang dengan jumlah masing-masing barang lebih dari tiga, dan diyakini Windy akan menjadi isi baki. Kenyataan ini membuat Windy kehilangan ekspresi.  Tuhan memang maha membolak-balikkan rasa. Setelah dibuang dan disia-siakan dengan alasan tidak masuk akal oleh Kevin, Windy justru terdampar dalam suguhan kebahagiaan luar biasa dari Sandy yang telah menjadi mempelai pengganti Kevin.  “Sayang, ajak Sandy makan!” seru Fania dari dalam. Tak beda dengan Windy, hal yang sama juga menimpanya ketika melihat beberapa kurir pembawa baki dan sandang. Semua itu dibawa dengan sangat hati-hati dipandu oleh Windy, sementara di depan sana, Sandy tampak memberi komando. “Ini ada apa, kok banyak banget? Ini baki untuk pernikahan kalian?”  Windy mendesah pasrah sambil menatap Fania. “Sandy, Mah!” Dengan ke dua mata yang menjadi berkaca-kaca, Fania hanya mampu memberi putri semata wayangnya senyuman tulus. Dalam hati kecilnya ia berujar, bahwa semua yang Windy dapatkan dari Sandy sekeluarga memang sangat pantas. Tas, high heels selaras dengan warna setiap tas, keperluan sandang kamar mandi lengkap dan lebih dari dua setel, keperluan kamar sekaligus sandang tidur, beberapa sandang mewah, aneka makanan termasuk beberapa cokelat dan manisan. Ah tidak, ternyata masih banyak. Fania benar-benar masih tidak percaya. Bahkan mungkin ia harus segera mengosongkan beberapa ruangan di rumahnya untuk menampung semua itu.  “Selamat, Ndy! Kamu pantas mendapatkan semua ini!” batin Fania yang bergegas menyeka air matanya. Karena meski itu air mata bahagia, di hari bahagia putri sematawayangnya dan otomatis menjadi kebahagiaan mereka sekeluarga, Fania merasa harus tampil prima sekaligus sempurna. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN