“Ayo ikut keluar.” Syabil beranjak dari posisinya yang sedang berbaring di atas karpet. Berita yang dibawa Inara, sontak meluluhlantakkan semangatnya sedari pagi tadi. Ia sudah membayangkan hal yang sangat manis. Namun, semuanya harus sirna karena tamu bulanan Inara. “Kemana?” Inara masih diam di tempat saat Syabil kembali memasang jaket parasutnya. Mereka baru saja tiba dari kampus. Inara saja masih merasa sangat lelah karena harus menunggu Syabil yang rapat. “Cari obat.” Inara menarik tangan Syabil. “Aku nggak sakit. Emang kalau mau dan lagi dapat itu, perut kram kayak gini. Cewek udah biasa ngerasainnya, Bil.” “Bukan buat kamu, Na.” “Terus?” Inara mengerutkan kening. “Eh, kamu sakit?” Inara memeriksa dahi suaminya. Tidak demam, suhu yang terdeteksi punggung tangannya masih norma