Cafe Date

1065 Kata
                “Saya sudah nanya ke teman-teman, tapi katanya Cena tidak punya pacar, ada sih adik tingkat saya yang minta tolong di dekatkan sama Cena tapi sudah lama, saya bahkan sampai lupa bilang ke Cena kalau ada yang mau sama dia. Kenapa? Cena juga mau di jodohin kah sama ibu kamu?” Tanya Mas Al. Aku menggeleng sembari menyeruput kopi ku. “Nggak, bukan di jodohin, masalah nya jauh lebih besar dari pada sekedar di jodohin, mungkin kalau di jodohin aja aku gak perlu sampai repot – repot minta tolong ke kamu buat cari tahu informasinya.” Balas ku.                 “Informasi apa?” Tanya Mas Al.                 “Cena hamil.” Ucap ku pelan, Mas Al diam sesaat kemudian menatap ku dengan tatapan bingung.                 “Aku serius.” Sambung ku. Raut wajah pria di hadapan ku masih sama, ia masih nampak bingung dengan apa yang aku katakan kepadanya, ia menyeruput teh hangat yang di campur dengan lemon yang ada di hadapannya, sesekali menatap ku dari celah gelas saat ia minum.                 “Kenapa bisa hamil?” Tanya nya polos. Aku mendesah pelan, lalu menyandarkan tubuh ku di kursi. Pertanyaannya juga sama dengan pertanyaan ku ketika pertama kali tahu bahwa Cena sedang mengandung.                 “Karena gituan, gak tau deh, makanya aku nanya ke mas, siapa pacar Cena? Aku mau minta orang nya tanggung jawab, enak aja bikin orang hamil tapi gak mau tanggung jawab.” Ucap ku dengan penuh rasa emosi.                 “Cena kayaknya tidak pernah dekat dengan siapa-siapa selama ini, sejauh yang saya lihat ya. Tapi tidak tahu, siapa tau dia punya pacar tapi tidak di umbar, bagaimana sama orang tua kamu? Apa tanggapan mereka?” Tanya Mas Al. Aku mengangkat bahu “Ibu sampai ngamuk banget tadi, papa juga nangis. Aku kalau jadi mereka pasti bakal mukulin Cena juga sih sangking marah nya, gak tau ibu sama papa mau gimana, Cena juga tiap di tanya kayak orang bloon, di tanya siapa jawab nya gak tau, masa iya gak tau pasti pas ngelakuin itu sadar.” Ucap ku, mengingat hal tersebut aku jadi semakin emosi.                 “Bicara pelan-pelan. Jangan kasar, pasti mental nya sedang tidak stabil sekarang.” Ucap Mas Al. Aku mengangguk “Iya, udah aku baik-baikin kok, tapi ngelunjak, harusnya kalau udah tau hamil ya cepet bilang biar di datengin tuh cowok, jangan cuma diem aja di kamar, nangis, duhh gregetan, pengen tahu cowok mana yang hamilin dia, bergaul di mana sih, kok main gak pakai pengaman.” Desis ku. Mas Al menatap ku dengan tatapan kaget. “Kamu sudah pernah?” Tanya nya.                 “Dih nggak lah, tapi manusia modern mana yang main tanpa pengaman kalau gak mau kecelakaan kayak gitu? Bego ah capek.” Balas ku.                 Mas Al mengangguk, lalu kami berdua terdiam cukup lama. Suasana kafe di sore itu terbilang cukup sepi, memang karena hari kerja dan juga sudah sore, cukup nyaman bagi kami berdua yang sedang mencari ketenangan di sela-sela kesibukan kami, mata ku tiba-tiba terpaku pada style Mas Al hari ini, sejak kapan ia mengganti kemeja nya dengan kaos hitam polos dan celana jeans? Di mana setelan kerja yang setiap hari ia pakai?                 “Kok tumben kamu kaosan sama pake jeans, biasanya gak gitu.” Ucap ku. Mas Al tersenyum “Cuma mau coba-coba aja, saya lihat mantan-mantan kamu style nya begini, bagus kan? Saya takut kamu tidak nyaman kalau saya style nya kaku terus.” Balas Mas Al. Aku sontak tertawa mendengar ucapannya “Apaan sih Mas Hahah!, gak usah gitu kali. Jadi diri kamu sendiri aja, kamu pakai kemeja, celana biasa, pakai jas dokter juga udah look so sexy, kalau kamu pakai baju gitu malah ngundang perhatian perempuan lain, liat deh, lengan kamu, perut kamu, d**a kamu, di liatin terus sama orang-orang.” Balas ku sembari melirik perempuan-perempuan yang sejak tadi terus memperhatikan Mas Al. mas Al turut melirik kepada mereka lalu di detik selanjutnya ia memakai jaket nya yang sempat ia lepas tadi.                 “Kenapa?” tanya ku.                 “Risih.” Balas Mal Al, aku terkekeh geli, manusia berbadan kekar itu ternyata punya sisi risih nya juga.                 “Kok risih? Tadi mas pd aja tuh.” Balas ku.                 “Padahal saya niat nya Cuma mau nunjukin ke kamu, tapi orang lain juga malah sibuk ngeliatin. Sudahlah.” Balas nya, ia kembali menyeruput minumannya, pandangannya terlihat beralih ke arah pemandangan kota yang nampak semakin macet, mobil motor dan kendaraan lainnya terlihat seperti semut yang tengah merayap, hanya bergerak sedikit padahal sudah menghabiskan waktu hampir setengah jam di tempat yang sama. Sementara aku, mata ku memang sama mengarah ke sana, namun pikiran ku justru melayang, bagaimana keadaan di rumah saat ini, apa yang akan terjadi ke depannya jika Cena tetap mempertahankan kandungannya, bagaimana kondisi kesehatan orang tua kami setelahnya, pikiran ku terus bercampur aduk, terlebih aku mengingat bahwa aku sebentar lagi akan menikah dengan Mas Al, sudah pasti aku tidak akan berada di rumah ku lagi, dan bagaimana mungkin aku membiarkan ibu dan papa tinggal dalam satu atap yang sama dengan cucu nya yang tidak ia inginkan.                 “Tidak usah terlalu di pikirkan, semua pasti ada jalan keluarnya.” Ucap Mas Al yang seakan tahu apa isi dari pikiran ku. Aku mengangguk “Aku Cuma mikirin ibu sama papa, mereka udah tua, pikirannya gak boleh sampai terganggu, aku malah takut papa penyakitnya kambuh lagi, ibu juga gitu.” Balas ku. Pikiran ku melayang ke delapan tahun yang lalu, aku lupa kapan tepat nya, namun saat itu adalah saat di mana keluarga ku tengah mengalami krisis kesehatan yang teramat parah, dalam satu bulan papa masuk rumah sakit sebanyak tiga kali, ibu mengalami demam berdarah lalu di sambung dengan operasi pengangkatan rahim nya, setelah ibu sembuh papa kembali jatuh sakit, jantung nya yang semakin memburuk setelah mendengar kabar bahwa Om Hanif, adik nya papa meninggal. aku sudah hampir gila sebab dokter yang menangani papa kala itu berkata umur papa ku tinggal sebentar lagi. namun aku harus berterimakasih kepada Allah yang selalu mengabulkan doa ku, dengan izinnya, papa ku bisa kembali sehat seperti semula, bahkan bisa kembali bekerja, ibu juga begitu. Setelah tahun itu berlalu, aku jadi semakin berhati-hati untuk mengatakan sesuatu kepada mereka, takut-takut membuat mereka kembali jatuh sakit.                 “Kamu juga harus jaga kesehatan Cena dan bayi nya, jangan sampai terbawa stress bayi nya bisa kenapa-kenapa, tapi kesehatan kamu juga harus di jaga. Utamain kesehatan kamu.” Ucap Mas Al, aku sudah terlalu lelah hingga hanya merespon ucapannya dengan sebuah anggukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN