surat dan ibu

1105 Kata
Aku dan Cena sudah pulang ke rumah, Dokter sudah menyarankannya untuk pulang ke rumah kemarin pagi, namun kondisinya sempat memburuk sehingga Cena harus menginap semalam lagi di rumah sakit sebelum akhirnya benar-benar sudah boleh pulang. Keadaan rumah masih sepi, namun eyang putri sudah berkabar bahwa akan datang hari ini, entah apa tanggapannya jika melihat perubahan besar dalam tubuh Cena, sebab sejak kecil Cena memang tidak pernah gemuk. “Eyang kapan datang?” Tanya Cena. “Hari ini.” Jawab ku sembari memindahkan barang-barang Cena di bantu oleh Mba Asih di belakang ku, Cena nampak diam selama beberapa saat menatap ku dan Mba Asih bergantian, tatapannya kosong, ia pasti sedang kebingungan bagaimana cara menghadapi keluarga kami nanti, apa lagi tante-tante yang julid dari keluarga papa akan datang, pasti mereka akan mengomentari perubahan tubuh Cena. “Gak usah di pikirin, bilang aja lo lagi stress.” Ucap ku sembari berusaha menenangkan Cena, walau aku tahu cara itu pasti tidak akan berhasil, Cena pasti akan tetap overthinking. “Lo istirahat dulu ya, gua juga mau istirahat,capek banget soalnya.” Ucapku, belum sampai beberapa langkah tiba-tiba ponsel di saku ku berdering, ada nama Mas Al di sana, tentu saja aku buru-buru menjawabnya, takut-takut ada sesuatu yang penting. “Cel…” Ucap Mas Al dengan suara yang terdengar begitu pelan namun terkesan begitu serius, ia bahkan tak mengucap salam, padahal ia tidak pernah begitu. “Iya? Kenapa? Kok kayak serius banget? ada apa tuh?” Tanya ku pelan, berusaha menenangkan diri sendiri. Mas Al terdengar menghela napas beberapa saat sebelum bicara “Ibu, ibu baca surat yang kamu bikin.” Jawab nya. “Hmm? Maksud nya? Surat apa?” Tanya ku bingung sembari berusaha mengingat surat apa yang calon suami ku sedang bahas saat ini. “Surat perjanjian pernikahan yang tempo hari kamu bikin. Ibu baca surat nya.” Jantung ku hampir saja copot ketika mendengarnya, pikiran ku melayang jauh ke hari di mana aku dengan bersemangat nya menulis isi dari surat itu, datang ke kantor pagi-pagi hanya untuk mengirimkan surat itu kepada Mas Al. bagaimana mungkin ibu nya bisa tahu tentang surat itu ? sementara aku saja bahkan sudah hampir lupa dengan surat yang aku berikan kepada Mas Al. “Kok bisa?! Terus gimana mas? Kok gak di buang aja? Loh gimana nih?” Tanya ku. Aku yakin mas al bisa mendengar suara ku yang terdengar begitu panik “Ibu diam aja, tapi kayaknya marah, soalnya saya ngomong gak di jawab.” Jawab nya, ia terkesan begitu tenang namun aku tahu ia juga sama panik nya dengan ku sekarang. “Ayah kamu tau?” Tanya ku, lagi. aku masih betul-betul panik, bagaimana mungkin tante widya bisa menemukan surat itu? apa yang ada di dalam pikirannya ketika membaca surat itu? pasti ia sudah berpikiran macam-macam tentang ku, gadis otoriter dari keluarga berantakan, yang sebentar lagi akan jadi istri dari anak nya. Rasanya aku ingin menghilang saja, takut-takut tante widya meminta ibu membatalkan pernikahan ini. “Entah.” Jawaban Mas Al memang tidak pernah memuaskan, rasanya aku ingin marah saja jika ia terus menjawab singkat dan seakan-akan sama stuck nya dengan ku, setidaknya kalau memang tidak tahu, buatlah jawaban yang bisa membuat ku sedikit tenang. “loh terus gimana?” “Saya Cuma mau ngabarin aja, kalau semisal ibu minta ketemu, kamu ketemu ya, jawab seadanya, ibu gak suka kalau ada yang bohong.” Sambung nya. “Ini bakal baik-baik aja kan?” Tanya ku memastikan. “Ya. Semoga.” Setelahnya, sambungan telepon kami terputus, aku masuk ke dalam kamar untuk menenangkan diri ku sendiri, rasanya kepala ku sudah hampir pecah karena masalah seakan silih berganti menguji keluarga ku, surat itu memang salah ku, sepenuh nya salah ku, tapi kenapa Mas Al tidak berinisiatif untuk membuangnya saja, padahal tempi hari ia mengaku cemburu dengan Aldo, andai saja ia membuang surat nya, pasti tante widya tidak akan membaca surat itu. sial, mau di taruh di mana wajah ku nanti? AUTHOR POV Widya mengetuk pintu kamar putra nya sebanyak tiga kali, wanita paruh baya itu begitu tenang dengan sebuah surat dengan amplop cokelat di tangannya yang kebetulan ia temukan di sekitar ruang keluarga, surat yang awalnya ia kira dokumen kerja milik anak nya, namun ternyata bukan. Tidak lama kemudian, Al membuka pintu kamar nya, mempersilahkan ibu nya untuk masuk. “Iya bu.” Ucap Al. Widya menghela napas berkali-kali sebelum mengembalikan surat perjanjian Al dan Celine kepada Al. “Ibu lihat ini di ruang tamu.” Ucap Widya. “Maaf bu…” Desis Al penuh dengan rasa bersalah, di lihatnya mata widya yang penuh kekecewaan, Al turun dari kursi nya, duduk di depan lutut widya sembari menenggelamkan wajahnya di tangan wanita tua itu. Al sadar seharusnya ia sudah membuang surat itu, seharusnya ia lebih teliti lagi, seharusnya ia tidak menyakiti hati ibu nya dengan cara seperti ini. “Ibu yang minta maaf Mas, ibu yang salah, ibu yang terlalu memaksa kamu sampai-sampai kalian berdua berani membuat surat perjanjian seperti itu, ibu cuma mau lihat kamu bahagia dengan perempuan pilihan ibu, tapi maaf ibu sudah berpikir pendek, ibu tidak memikirkan bagaimana kamu sama Celine, sekarang kalau kamu belum siap menikah, batalkan saja nak, lebih baik batal menikah dari pada gagal dalam pernikahan, jangan paksakan diri kamu hanya untuk permintaan ibu. Tidak usah takut kalau semisal keluarga kita akan jadi bahan omongan orang-orang, tidak usah merasa bersalah, lagi pula lebih baik seperti itu daripada terlalu memaksakan kamu.” Ucap Widya dengan senyum tulus di wajah nya, bukannya marah ia malah merasa bersalah kepada putra nya itu, sejak kecil Al tidak pernah menolak satu pun permintaannya, entah suka atau tidak, Al selalu berusaha menuruti semua keinginan ibu nya. “Bu… ibu tidak usah minta maaf, surat itu sudah lama, waktu Al belum suka sama Celine. Sekarang sudah berubah, Al suka sama Celine, pernikahannya tidak usah di batalkan, Maaf karena sudah bikin ibu kepikiran, pasti ibu kaget baca isi surat ini, tapi percaya bu, Al sudah suka sama Celine, isi dari surat ini sekarang sudah tidak ada apa-apanya lagi.” Ucap Al sembari mengelus punggung tangan ibu nya. “Terus Celine bagaimana?” Tanya Widya yang sukses membuat Al jadi bungkam sendiri, pertanyaan yang juga sampai sekarang terus terngiang-ngiang di kepalanya, ia memang sudah punya rasa terhadap Celine,lantas bagaimana dengan gadis itu? apa Celine juga sudah punya rasa kepadanya? Tapi sikap Celine sudah berubah total dari awal-awal mereka bertemu, sikap Celine jauh lebih manis dari yang sebelum-sebelumnya. “Celine juga sama bu.” Balas Al, terdengar jelas dari suaranya bahwa ia sedang ragu dengan apa yang ia katakan. “Begitu?” Tanya Widya. Al mengangguk. “Kalau begitu, ibu serahkan semuanya sama kamu. Jangan paksakan diri kamu ya nak, tidak semua permintaan ibu harus kamu dengar dan turuti, kamu juga punya pilihan kamu sendiri.” “Iya bu, doakan saya dan Celine semoga kami bahagia dengan pernikahan kami.” Balas Al.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN