semuanya hanya tentang Cena?

1260 Kata
                “Neng…” Mia mengetuk pintu kamar milik Celine, gadis itu bahkan tidak keluar dari kamarnya sejak semalam pulang bersama Al. awalnya Mia pikir Celine sedang kelelahan, namun sudah enam belas jam, dan Celine belum menunjukan batang hidungnya juga. Mia tahu bahwa anak nya itu suka sekali tidur, namun tidak se-lama itu juga, Celine tidak pernah tidur lebih dari dua belas jam lamanya.                 “Neng, ayo buka pintu. temenin ibu datang ke acaranya tante Intan.” Ucap Mia. Detik selanjutnya, Celine muncul dari balik pintu, dengan wajah bengkak khas orang bangun tidur, kotoran mata nya bahkan benar-benar terlihat di sekitaran mata.                 “Temenin ibu ke acaranya tante Intan ya? Kondangan hari ini banyak banget, tante Intan juga ada family time hari ini. Harusnya kita berempat ke sana, tapi papa sama Cena gak bisa. Jadi kamu aja sama ibu yang datang ya? Ayo mandi, kalau udah, ibu tunggu di bawah.” Ucap Mia. Mia memang selalu saja meminta Celine untuk menemaninya ke acara-acara tertentu, ya jika Celine mau. Namun entah kenapa kali ini Celine langsung mengangguk, tanpa protes dulu, biasanya Celine akan protes jika di minta Mia untuk ikut ke acara-acara seperti itu. Setelah mandi, Celine langsung bersiap-siap. Mengingat kejadian semalam, rasanya Celine ingin amnesia seketika, ia tentu saja malu, apa yang harus ia lakukan jika bertemu dengan Al lagi? Celine bahkan samapi enggan melihat ponsel nya takut-takut pria itu menghubungi nya, lagi. Sepanjang acara, Celine tidak bisa fokus dengan apa yang di bicarakan oleh keluarganya. Pertemuan keluarga ini membuat Celine, jadi malas sendiri, sebab yang mereka bicarakan terkesan monoton dan itu-itu saja, jika bukan jababatan, ya jodoh. Pertanyaan tentang Kapan nikah, atau jika sudah menikah pertanyaan itu akan berkembang jadi kapan punya anak? Atau paling parah jika sudah punya anak akan di tanya lagi kapan nambah anak? Tipikal manusia-manusia yang tidak pernah puas akan apa yang di dapatkan. “Celine, kamu cantik banget ya, makin hari makin cantik. Eh tante kenalin ya sama anak tante? Kamu kenal sama Kevin kan? Yang satu kampus sama kamu. Kakak tingkat kamu. Eh Kevin juga jomblo kok, mau ya? Astaga, tante bakal hajatan tujuh hari tujuh malam, kalau kamu mau sama Kevin.” Ucap salah satu dari ibu-ibu tersebut, Celine meresponnya dengan senyum tipis, bingung harus menjawab bagaimana lagi, sejak tadi yang di tawarkan kepadanya hanyalah laki-laki, mereka pikir mungkin Celine tidak mampu mencari pasangannya sendiri. CELINE POV                 Aku menghempaskan tubuh ku di sofa ruang keluarga, rasanya selalu menyebalkan tiap menemani ibu kumpul dengan keluarga atau teman-temannya, sejak tadi mereka tidak berhenti mengoceh, berusaha menjodohkan ku dengan Kevin, Kevin si cupu yang bahkan menenggak se gelas alkohol saja sudah mabuk. Mana mungkin aku mau dengannya, lagi pula aku belum ada niat untuk menikah dalam jangka waktu yang dekat. Aku menyandarkan tubuh ku di kursi, rasanya sangat lelah, padahal hanya menemani ibu.                 “Cena kemana bu? Ada kerjaan ta dia hari sabtu gini?” Tanya ku, saat menyadari Cena tidak terlihat sejak tadi, padahal biasanya di hari libur seperti ini, ia akan sibuk berkebun di taman belakang, terlebih ketika hari sudah sore.                 “Hmm, tadi ngasih tau ibu, kalau dia ada urusan di luar.” Jawab ibu.                 “Lah? Naik apa? sama temennya apa gimana? Tuh mobilnya masih di luar.” Balas ku.                 “Sama Al tadi, ibu senang deh, setidaknya Cena sudah mau berbaur dengan orang lain.” Sambung ibu.                 “Lah dia tuh sebenarnya udah berbaur bu sama orang lain, kan dia Dokter, di depan kita aja dia diem-diem.” Jawab ku.                 “Ya maksud ibu, di depan kita. Dulu Cena mana pernah mau keluar sama orang lain? Sekalipun temannya sendiri. Sekarang setidaknya, Cena udah berani, ibu seneng.” Balas Ibu. Aku hanya mengangguk. Sejak dulu, ibu memang selalu bangga dengan apapun yang di lakukan oleh Cena, entah itu hal kecil sampai hal-hal yang besar. Yang paling membekas di ingatanku adalah, ketika aku mendapat juara umum di kelas ku, dan Cena mendapat juara delapan di kelas nya. Cena di beri hadiah ponsel nokia keluaran terbaru saat itu, sementara aku hanya di beri uang yang bahkan jumlah nya tidak sama dengan harga ponsel Cena. Ya sebenarnya tidak apa-apa juga sih aku juga tidak mengharap apa-apa, tapi perlakuan ibu terhadap kami berdua saat itu memang terlalu timpang sebelah, alhasil papa yang baru pulang dari perjalanan dinas nya, langsung tahu, dan membawa ku untuk pergi dan membeli ponsel yang lebih bagus daripada Cena. Saat itu, papa dan ibu bertengkar hebat, papa membelaku, dan ibu membela Cena, alasannya ibu sederhana, hanya karena Cena sudah naik peringkat, sementara aku sudah sering mendapat hadiah-hadiah mahal. Tapi papa tentu tidak terima, sejak saat itu, Ibu sudah mulai berubah, apapun yang ia berikan kepada Cena, pasti di berikan juga kepada ku, sebagai tanda bahwa ia tidak pilih kasih.                 “Neng, si Kevin gantengan mana sama Mas mu?” Tanya Ibu secara tiba-tiba. Aku yang sudah hampir lupa akan hal itu kini tiba-tiba teringat lagi, aku langsung mendengus kesal, bisa-bisa nya ibu malah membahas itu lagi.                 “Ibu nanya nya gak apple to apple. Ya gantengan Mas Al lah kemana-mana. Tapi kalau soal duit, Kevin juara satu.” Jawab ku asal. Aku tidak tahu seberapa kaya Kevin dan Mas Al tapi dari penampilannya, Kevin lebih kaya. Jam tangan rolex termahal, mobil sport yang hanya ada sepuluh di dunia, di garasi mobil nya hanya ada BMW, Ferrari, Porsche, Lamborgini, dan entahlah apa lagi aku tidak ingat.                 “Bukannya Kevin dulu pernah naksir sama kamu ya? Dia dulu kayaknya sering banget cari perhatian sama kamu? Eh apa ibu salah? Kevin yang itu kan yang selalu teman-teman kamu gosipin tiap kesini?”                 “Iya yang itu, tapi kan aku sama dia gak akrab, dia nya aja yang mau, belum kenalan aja udah caper. Capek ah, males, skip.” Balas ku. Andai ibu tahu se culun apa si Kevin Kevin itu, aku yakin, ibu juga pasti akan ilfeel.                 “Tapi ibu suka loh sama Kevin, anaknya sopan gitu, waktu ketemu sama ibu aja di GI, dia langsung cium tangan, padahal ibu aja gak lihat dia sebelum nya. Baik banget anaknya. Didikan mama nya itu pasti.” Balas ibu.                 “Terus kenaap kalau Kevin sopan bu? Ibu mah suka banget kagum sama hal-hal sederhana kayak gitu, sopan tuh bukan kelebihan bu, tapi kewajiban. Aku gak mau ya di jodoh-jodohin sama Kevin, kemarin udah sama Mas Al, sekarang sama Kevin. Aku mulu, Cena nya gak pernah.” Jawab ku kesal.                 “Cena kan masih harus pendidikan lagi neng, dia masih mau berkarir, dia masih harus kejar pendidikannya supaya dia bisa jadi spesialis, dia juga mau punya karir yang bagus, lagian setelah menikah nanti, ibu gak tau gimana keputusan suami kalian, apa masih boleh kerja atau ngga, setidaknya kamu udah ngerasain berkarir itu gimana, dan Cena belum. ibu juga sebenarnya pengen kalian berdua segera dapat pasangan masing-masing, tapi yang sekarang lebih memungkinkan itu kamu, bukan Cena.” Jawab ibu.                 “Apa bedanya sama Cena? Cena sekarang juga lagi menikmati profesi nya. Aku apalagi? Dengan cara ibu nikahin aku duluan sebenarnya udah bikin karir aku terganggu. Ibu selalu gitu, selalu nomor satuin Cena, karir aja, ibu lebih mentingin karir Cena dari pada aku. jahat gak sih? jahat banget bu. Selalu aja aku yang jadi korban kalau kayak gini, Cena selalu di zona amannya aja, Cena mana pernah ngerasain yang kayak gini? Selalu ada ibu di belakang nya. Heran aku sama ibu, anak ibu Cuma Cena doang kah?!” Balas ku dengan nada sedikit keras. Sedetik setelahnya aku menyesal, namun sedetik kemudian aku lega, setidaknya aku meluapkan beban ku tepat di depan ibu, agar dia mengerti apa yang aku rasakan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN