Masalah Nayra

1207 Kata
Bukan main Mbok Min senang melihat wujud Nayra yang muncul dari arah samping rumah Pak Gun. "Ya ampun, Nay. Kok kamu bersihan sih? Sebulan di sini badan kamu berisi. Cantik lagi. Prikitiw...," goda Mbok Min sambil memeluk tubuh Nayra yang bersih lagi wangi. "Ini oleh-oleh dari kampung. Salam hangat dari Emakku lo. Katanya terima kasih banyak sudah bantuin aku. Dia juga udah sehat, Nay. Anak-anakku yo senaaang banget. Makasih, Nay...," Mbok Min berulang-ulang mengucapkan terima kasih ke Nayra. Wajahnya sangat binar. "Oh iya, besok tak kabari soal gaji kita ya? Sudah aku kasih tau ke pak Guntur soal gaji. Seperempat gajiku ditambah hutangmu. Sisanya buat kamu. Rinciannya juga aku serahin ke dia. Besok katanya cair gaji kita. Hehe...," "Sip..., yang penting Emak Mbok Min sehat. Mbok juga." Nayra senang. Karena merasa dapat membantu Mbok Min yang sedang dilanda kesusahan sebelumnya. Lelahnya seakan terbayar melihat penampakan Mbok Min yang sehat dan sumringah sekarang. "Ok, Mbok. Aku tinggal dulu ya? Selamat bersenang-senang," ucap Nayra yang sudah siap berjalan kaki menuju rumahnya yang berada di ujung komplek perumahan elit itu. Langkahnya terlihat sangat mantap. Bagaimana tidak mantap? Bayang-bayang wajah mengerikan Pak Gun sudah terhapus dari benaknya. Hal ini membuatnya sangat bahagia sekaligus lega. Tinggal menunggu hari esok, menikmati uang hasil kerjanya yang akan dikirim. *** Dan di rumahnya, Nayra kembali disambut hangat Ibu dan adiknya. Mereka berpelukan cukup lama. Karena baru kali ini Nayra menginap di rumah orang lain dalam jangka waktu yang cukup lama. Satu bulan. "Duh, Nay. Kok kamu enduuut? Hahaha...," goda Bu Ola sambil mencubit pipi Nay yang memang terlihat chubby sejak bekerja di rumah Pak Gun. "Wong aku kerjanya makan tidur sama beberes doang. Makanya melar begini, Ibuuuu. Ntar mulai besok ngayuh sepeda lagi, biar kurusan dan irengan lagi. Haha...," tanggap Nayra penuh senyum. Farid adiknya tampak tak jenuh-jenuh melihat wajah Nayra yang bersih. "Kak Nay cantik, Bu," pujinya kagum. Dia masih tidak menyangka. Wajah Nayra memerah dipuji-puji ibu dan adiknya siang hari itu. "Ada kabar gembira, Nay. Doain adikmu lolos program beasiswa S1 ke Perancis ya? Dia sudah lolos tahap pertama, ini lagi menunggu tahap kedua," ujar Bu Ola tiba-tiba. "Ya Ampuuun, Farrrriiiid. Kok nggak cerita ke aku," Nayra menghempaskan ranselnya. Lalu memburu tubuh tinggi adiknya. "Biar surprise, Kak," balas Farid. Bukan main senang Nayra. Dia peluk adiknya itu sekuat tenaganya. Hingga Farid mengangkat tubuh kecilnya dan memutarnya. "Aku senang..., kasih tau aku kamu perlu apa ya?" seru Nayra sambil memegang kedua pipi Farid. Farid mengangguk yakin. *** Nayra cemas. Sudah dua hari di mengecek rekeningnya di ATM yang berada tidak jauh dari rumahnya. Jumlah yang dia harapkan tidak tertera di rekeningnya. "Kok belum ditransfer ya, Nay? Punyaku udah kok. Jumlahnya sesuai yang aku tunjukkan ke Pak Gun. Seperempat gaji plus hutangmu. Malah ditransfer hampir tiga hari lalu loh. Malamnya udah penuh lagi rekeningku," ungkap Mbok Min dari ujung sana. Nayra lemas. Apa Pak Gun lupa melakukannya. "Yo wes, Nay. Ntar tak tanya Pak Gun kalo dia pulang dari kantornya malam nanti," lanjut Mbok Min. Dia juga ikut khawatir, soalnya ini juga tanggung jawab dirinya. Sudah letih Nayra membantu dia bekerja, akan tetapi upah yang semestinya dia terima belum kunjung dibayar. Malamnya, Nayra tidak begitu semangat mempersiapkan jamu yang akan dia jual esok paginya. "Ya..., tunggu kabar dari Mbok Min, Nay. Memang kalo masalah uang. Kadang orang suka lupa diri," desah ibunya pelan sambil mengusap-usap punggung Nayra penuh rasa sayang. "Yang sabar...," hiburnya kemudian. *** Sementara itu di rumah Guntur. Mbok Min celingak celinguk mengamati Pak Guntur di dapur. Tampak Pak Guntur sudah menyelesaikan makan malamnya. Mbok Min langsung melangkah cepat menahan langkah pak Guntur yang hendak ke kamarnya. "Ya?" Pak Guntur sedikit mendelik. Dia terlihat sedikit kaget melihat gelagat Mbok Min. "Anu, Pak. Hm..., Nayra teman saya nanya masalah upahnya. Kata dia, hm..., anu..., Bapak belum transfer upahnya selama bekerja di sini." Pak Guntur menghela napas berat. "Suruh dia menghadap saya terlebih dahulu, baru saya bayar gajinya," tegas Pak Gun. Wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. Mbok Min terperangah mendengar kata-kata Pak Guntur juga saat melihat ekspresi wajah Pak Guntur yang menahan amarah. Ribuan pertanyaan pun menghujam batinnya. Apa yang telah kamu perbuat, Nay? Bingungnya bertanya. *** Nayra nekad. Setelah berhasil mendapatkan informasi dari satpam perumahan komplek mengenai alamat rumah asli Bu Hanin, dia akhirnya memutuskan pergi ke rumah Bu Hanin yang berada di Pantai Indah Kapuk, yang pasti sangat jauh jaraknya. Dia melakukan hal ini tanpa sepengetahuan ibu dan adiknya. Nayra benar-benar akan menagih haknya. Dia merasa bahwa Bu Hanin lebih bertanggung jawab atas haknya. Bukan Pak Guntur. Disamping itu, dia sudah tidak sudi bertemu Pak Guntur. Entah berapa angkot yang harus dia naiki menuju rumah Bu Hanin. Karena jika ditempuh dengan taksi pasti ongkosnya sangatkah mahal. _______ Akhirnya Nayra tiba di depan gerbang tinggi rumah Bu Hanin. Rumah yang sangat megah yang dikelilingi pagar besi yang tinggi lagi kokoh. "Iya..., cari siapa?" suara laki-laki dari mesin penjawab terdengar lantang. "Cari Bu Hanin, Mas," jawab Nayra tak kalah lantang. "Kamu sudah punya janji?" tanya suara itu. "Nggak...," Hampir saja mesin penjawab itu ditutup, Nayra setengah berteriak berucap; "Saya mau nagih upah saya, Mas," "Nama kamu siapa? Kerja di mana?" "Nayra. Kerja di rumah Pak Guntur." Tidak ada jawaban setelahnya. Hanya bunyi kresek-kresek, lalu hening. Setengah jam kemudian, Nayra memutuskan duduk dulu di atas trotoar tepi jalan depan rumah megah itu. Nayra sangat kecewa. Ditatapnya pucuk rumah itu. Dia pergi. Nayra akhirnya menyerah. Dia tidak ingin mempersoalkan upahnya lagi. Keluarga Pak Gun benar-benar menyebabkan hancur hatinya. Tiba-tiba kejadian-kejadian yang dia alami yang berhubungan dengan Guntur hinggap di benaknya. Ucapan kasar, hinaan dan cacian kembali terngiang-ngiang di telinganya. Wajah bengis Guntur yang terarah ke arahnya pun seakan menampar wajahnya. _______ Di waktu yang sama, Bukan main Pak Guntur terkejut ketika menerima telepon dari ibunya. "Dia datang. Yah, karena nggak punya janji sama ibu, Ya tak ibu biarin nunggu di depan pagar. Kok nagih begitu. Berani-beraninya. Emang berapa sih gajinya. Pembantu soknya minta ampun. Emangnya kamu lupa kasih atau gimana, Gun? Tuh anak nekad loh. Heran ibu. Nggak usah kamu terima orang-orang begitu kerja di rumah." Guntur tidak sanggup menanggapi kata-kata ibunya. Dia langsung memanggil Mbok Min. "Kamu belum suruh dia ke rumah temui saya? Ini dia nekad ke rumah ibu saya, nagih upahnya dia. Saya kan bilang ke kamu, jika dia mau upahnya saya bayar, temui saya!" "Saya sudah ke rumahnya siang tadi, Pak. Nayranya nggak ada. Saya pesan ke tetangganya. Ibunya kerja di cucian. Adiknya sekolah. rumahnya kosong." Guntur gusar. Ditatapnya Mbok Min penuh rasa sesal. _______ "Nay..., Nay. Kamu itu ya bikin masalah. Aku ke rumah kamu tadi siang. Aku telpon-telpon kamu nadanya mati terus." "Hapeku ketinggalan pas pergi tadi, Mbok. Lupa bawa," "Kamu tuh kok nekad. Ya sudah. Besok pagi kamu temui Pak Gun kalo masih mau duitnya." Sepertinya Mbok Min juga menyesalkan sikap Nayra yang nekad ke rumah Bu Hanin di daerah PIK. Tidak menyangka sama sekali. Dia mengira Nayra akan tetap sabar menunggu kabar upahnya yang belum dibayar Pak Gun. Nayra yang terduduk di kasur kapuknya, hanya mampu menghela napas. Apa salahku? Aku sudah bekerja sebaik mungkin? Kenapa upahku tidak langsung dia bayar? Kenapa dia menunda membayarnya? Dia memang benci aku... Nayra menelan ludahnya. Tenggorokannya sangat tercekat. Antara kering dan tidak. Nayra menarik selimut tipisnya, dan membiarkan tubuh lelahnya istirahat di malam itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN