Sedih Nayra

1036 Kata
Nayra akhirnya memutuskan untuk menyerahkan dirinya bertemu dengan Pak Gun. Sesuai yang diarahkan Mbok Min, pukul 6 pagi dia sudah harus berada di depan rumah mewah tersebut. Kini, dia menunggu duda tampan itu ke luar dari sarangnya. Nayra berdiri sambil memegang sepedanya yang di bagian belakangnya penuh dengan botol-botol jamu. Nayra langsung mengalihkan pandangannya begitu dilihatnya tubuh tinggi datang mendekat. Sementara pak Guntur menatap wajahnya tajam. "Kamu nggak diajarkan sopan santun? Pergi dari rumah saya tanpa pamit? Makanya saya tahan gaji kamu. Biar kamu tahu tata krama," mulai Guntur. Nada bicaranya sangat tegas. Nayra diam saja. Dia tidak ingin membalas. Yang terpenting amplop yang masih berada di tangan kokoh Pak Gun bisa segera mendarat ke tangannya. "Saya bukannya tidak memperhatikan cara kamu bersikap selama di rumah saya. Sangat tidak pantas menurut saya. Tidak punya sopan santun. Tidak tahu terima kasih, juga basa basi." Nayra sekilas melirik wajah putih Pak Gun. Basa basi? Situ? "Ini kamu malah lancang ke rumah ibu saya. Menagih upah yang tak seberapa. Kamu pikir kamu itu siapa? Ha? Orang yang sangat penting?" Nayra hanya menunduk. "Sekarang saya tanya kamu. Kenapa kamu tidak mau berkata sepatah katapun dengan saya? Apa karena sikap saya saat kamu menagih dulu? Kan saya bayar juga akhirnya hutang pembantu saya." Nayra merasa Pak Gun tidak berniat membayar gajinya. Pak Gun hanya ingin mengungkapkan uneg-unegnya saja. Nayra tidak memiliki hasrat menjawab. Dia yang pasrah hanya menatap nanar amplop yang tidak kunjung Pak Gun serahkan. Nayra mengarahkan sepedanya ke jalanan. "Hei! Apa apaan kamu! Tunggu! Mau ke mana kamu! Pertanyaan saya belum kamu jawab." Nayra tetap berjalan menggiring sepedanya. "Hei! Hei! Tunggu." Pak Guntur lalu menahan bagian belakang sepeda Nayra. "Kamu berani-beraninya ya?" Tangan Pak Gun sangat kuat menahan sepeda Nayra. Lalu sambil menatap tajam wajah Nayra yang hanya diam membisu, Guntur akhirnya meletakkan amplop ke sela-sela botol jamu Nayra. Wajahnya sangat masam menahan amarah. Sementara Nayra sinis meliriknya. Tanpa berucap sepatah katapun dia pergi meninggalkan Pak Guntur yang masih diliputi kemarahan. Dia kayuh sepeda bututnya dengan santai. Bunyi botol beradu pun terdengar jelas di pagi yang masih sepi itu. Guntur masih melihatnya dari belakang. Dia heran dengan sikap gadis manis itu. Apa salahku? Kenapa dia bersikap seperti itu? tanyanya heran sambil terus menatap Nayra yang terus mengayuh sepedanya. Guntur penasaran, dikejarnya lagi sepeda Nayra. Dia berlari cukup kencang. "Tunggu! Hei!" Kini Guntur menahan sepeda Nayra untuk kedua kali. "Jawab pertanyaan saya. kenapa kamu bersikap acuh tidak acuh selama bekerja di rumah saya. Kamu...," "Karena Bapak pernah menabrak saya!" potong Nayra yang masih bertengger di atas sadel sepedanya, dengan satu kakinya yang menahan kayuh. Guntur terkesiap mendengar jawaban Nayra yang setengah berteriak. "Kapan saya nabrak kamu?" tanyanya. Nayra menatap Guntur yang wajahnya penuh tanya. Nayra bertambah kesal. Masih jelas di benaknya muka Guntur yang memarahinya dulu. Dan sekarang dia bahkan tidak mengakuinya. Nayra kembali mengayuh sepedanya kembali. Tapi Guntur dengan sigap menahan laju sepeda Nayra. "Hei! Jelaskan!" Hampir saja sepeda Nayra oleng. Cepat-cepat Guntur menahannya. "Kapan saya nabrak kamu?" tanya Guntur. Nayra benar-benar kesal. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebal dengan sikap Guntur yang seakan lupa apa yang dia perbuat dulu. "Bapak nggak cuma menabrak saya! Tapi juga caci maki saya...," tegas Nayra sambil menunjuk-nunjukkan mukanya. Nayra merasakan hawa panas keluar dari ubun-ubunnya. Guntur kehabisan akal. Berusaha mengingat-ngingat. "Hei! Kapan?" tanya Guntur. Dia merasa sama sekali tidak pernah melakukannya. Nayra mengamati wajah Guntur yang sepertinya memang tidak menyadari apa yang telah dia perbuat. "Dua bulan lalu...," jawab Nayra. Bulir-bulir kristal mulai menggenang di dua pelupuk matanya. Tapi Nayra berusaha menahannya. Guntur menghela panjang. Lalu dibiarkannya Nayra mengayuh sepedanya menjauh. Kini dia merasa aneh. Dia merasa tidak melakukan hal yang dituduhkan Nayra. Ditatapnya Nayra yang mengayuh sepedanya dengan santai hingga lenyap dari pandangannya. Barulah dia kembali ke rumahnya. *** Guntur memegang kepalanya saat duduk di depan meja kerjanya. Sikap Nayra barusan cukup menyita pikirannya. Dia tidak habis pikir, sikap gadis yang satu ini sangat aneh menurutnya. Dia berusaha mengingat-ingat sikapnya yang menurutnya tidak ada yang salah. Tapi kenapa gadis itu seakan tidak menyukainya? Apa salah dirinya? Menabrak sepedanya? Dua bulan lalu? Apa iya? Guntur benar-benar bingung. Dia sampai-sampai memutuskan tidak pergi ke kantor hari itu. Wajah Nayra yang seperti menyimpan amarah bercampur sedih terus menerus bergentayangan di pikirannya. Guntur lalu mengecek rekaman CCTV yang menyorot di bagian depan rumahnya lewat komputernya. Diceknya kejadian yang terekam di CCTV sekitar dua bulan lalu. Hampir dua jam dia melakukannya memastikan perkataan Nayra. Dia berharap Nayra hanya mengada-ada saja. Tapi..., Guntur terperanjat. Ternyata Nayra benar. Dia memang pernah menabrak sepeda Nayra. Bibir Guntur gemetar ketika melihat Nayra terjungkal dari sepedanya. Gadis itu memang cepat bangkit dari jatuhnya menatap nanar wajah sang pengemudi. "Dan aku memakinya...," desah Guntur penuh sesal. Dia ingat sekarang. Lalu dilihatnya botol-botol jamu Nayra yang pecah berantakan di atas jalanan depan rumahnya. Guntur menutup mulutnya ketika dilihatnya Nayra yang terseok-seok berjalan tengah kebingungan karena memang awal pagi itu komplek perumahan sangat sepi. Nayra tampak terduduk selonjoran, beristirahat sejenak di depan pekarangan rumahnya sambil memijat-mijat dua kakinya. Setelahnya, Nayra berusaha membersihkan pecahan-pecahan kaca botol-botolnya. Dan membuangnya di dalam kotak dagangan jamu-jamunya. Kemudian Nayra pergi dengan menggiring sepedanya. Jalannya terlihat pincang. Tidak sampai di situ saja, sejam kemudian Nayra kembali lagi ke depan rumahnya. Nayra mengawasi rumah mewah itu sejenak. Lalu Nayra tampak bercakap-cakap dengan Pak Edi, satpam komplek. Keduanya terlihat membersihkan jalanan berdua hingga bersih dari sampah dan ampas jamu. Guntur terhenyak. Dia sungguh meremehkan gadis sederhana itu. Dia tertunduk mengingat kerja Nayra yang cekatan merawat rumahnya. Begitu rapi dan wangi. Juga merawat kamarnya, saat dirinya sudah tidak mampu membersihkannya lagi. Tidak sedikitpun ada dendam di wajah gadis polos itu. Hanya raut wajah tidak suka saja terhadap dirinya. "Nayra...," desah Guntur. Akhirnya dia sebut juga nama gadis itu yang selama bekerja di rumahnya, dia panggil dengan sebutan hei hei saja. Guntur ingat. Kejadian itu berbarengan dengan dirinya yang terlibat pertengkaran dengan mantan istrinya yang tidak bersedia mempertemukannya dengan Ayu, anak mereka. Guntur kalap pagi itu, karena harus mengejar Ayu yang sudah berada di Bandara. Ayu hendak dibawa ibunya ke Johor, Malaysia. Dan Guntur ingin sekali mendekap anaknya lebih lama. Dan Guntur tidak berhasil mengejarnya. Ayu sudah pergi. Guntur memejamkan matanya. Membayangkan dirinya mencaci maki Nayra. Namun dia lupa apa yang dia katakan saat itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN