9. Menantu Menumpang Lebih Galak

1209 Kata
Seperti kesepakatan di awal, Bumi akan pindah ke kediaman Pramana setelah Moza diizinkan pulang. Kini dia sedang membantu Lara untuk membereskan barang-barang milik Moza. "Bumi, Ibu berharap kamu tidak ambil hati dengan ucapan yang tak mengenakkan di keluarga kami nanti." Lara bisa memperkirakan Bumi akan menjadi bahan ledekan. Sejauh ini, di matanya Bumi pria baik dan bertanggung jawab, walau masih di usia cukup muda. Lara merasa beruntung Moza bersama pria seperti Bumi, bukan Kelana yang sekarang setiap bertemu sudah tidak sopan lagi padanya. Bumi tersenyum menatap Lara. "Tenang, Bu. Aku akan baik-baik saja." Lara cukup lega mendengarnya. Mungkin dia juga tak perlu terlalu mencemaskan Bumi. Menantunya itu, meskipun wajahnya terkesan kalem, tapi tidak mudah ditindas. Dia jadi mengingat mama dari Bumi yang juga berwajah polos, tapi kelakuan preman. Lara terus menjaga komunikasi dengan Starla. Dia menyenangi kepribadian besannya itu. Moza memperhatikan ibu dan suaminya dalam diam. Dia sebenarnya berat kembali ke rumah, tapi dokter sudah menyarankan agar dirinya rawat jalan untuk terapi kakinya. Masih ada sedikit harapan kakinya bisa sembuh, walau mungkin butuh waktu lama. Bumi tanpa aba-aba langsung menggendong Moza yang melamun dan mendudukkannya perlahan di kursi roda. Moza mencubit lengan sang suami, tapi sepertinya hanya membuat pria itu tergelitik karena lengannya begitu keras. Bumi tampaknya rajin berolah raga. Semenjak Bumi menjadi suaminya, sekali pun dia belum berhasil menjadikan pria itu pesuruh. Dia juga sering kalah berdebat. Tidak sesuai rencananya di awal yang akan menindas Bumi. "Kenapa cemberut?" Bumi tidak tahan dan mencubit pipi Moza. Wanita ini tiada hari tanpa cemberut. "Singkirkan tanganmu!" Kini Moza memukul lengan Bumi, sedangkan pria itu terkekeh karena telah berhasil membuat istrinya kesal. Lara yang melihatnya tersenyum geli, lalu berkata, "Ayo cepat berangkat, lanjut nanti mesra-mesraannya." "Ibu, jangan berkata hal yang menggelikan!" protes Moza. Lara tak mampu menahan kekehan. Akhir-akhir ini dia dan sang putri mulai dekat. Meski tidak banyak yang dapat dibicarakan, tapi mereka bisa berbincang santai itu jauh lebih baik dari sebelumnya. *** Di kediaman Pramana ramai dipenuhi keluarga besar Bram dan Vahira. Sesuai dugaan, ketika Lara, Moza, dan Bumi tiba, tatapan menghina tertuju pada mereka. Bumi yang melihat itu merasa jengkel. Inginnya membeli rumah atau unit apartemen sendiri, tapi tidak mungkin. Itu sama saja membongkar identitasnya. "Tante turut prihatin denganmu, Moza. Sudah cacat, ditambah suamimu hanya tukang bersih-bersih dan tinggal menumpang di rumah mertua," sindir adik dari Bram. "Tidak seperti Kelana yang manajer di perusahaan besar. Dia juga sudah menyediakan rumah sendiri untuknya dan Nancy. Nancy memang diberkati karena dia gadis baik-baik," lanjut adik Vahira. Mereka seakan lupa jika Kelana sebelumnya adalah calon suami Moza. "Ayo cepat pergi," ucap Moza pada Bumi dan ibunya. Jika dulu, dia akan berdebat dengan tante-tante itu, tapi sekarang dia merasa kalah. Dia hanya perempuan lumpuh yang memerlukan bantuan setiap saat. "Gadis baik-baik? Kakaknya kecelakaan parah, dia asyik bermesraan dengan calon suami kakaknya. Menurut saya kalian semua buta," hardik Bumi. Mulutnya memang tajam. Tentu yang di sana terkejut mendengarnya. Bukan Moza atau Lara yang membalas ucapan mereka, melainkan seorang menantu miskin. Wajah Nancy juga memerah, rasanya ingin mencaci maki, tapi dia harus mempertahankan sikap lembutnya di depan keluarga besar. "Bumi, kau berani kurang ajar!" Tommy mendekati Bumi dan sudah akan memukul. Namun, Bumi lebih dulu menahan tangan Tommy, kemudian dia memelintirnya. Terdengar jeritan dari pria itu. Setelahnya, Bumi mendorong Tommy hingga jatuh. "Bumi!" bentak Tommy yang dibantu berdiri oleh Evelyn—tunangannya. Bumi menatap sinis. Dia tidak bisa menutupi ketidaksenangan. Karena Tommy, Venus mungkin terlibat masalah hingga belum bisa pulang. Setelah tahu jika Tommy pria berengsek, sang kakak bisa saja memutuskan untuk pulang, tapi ini Venus tidak kembali berbulan-bulan. "Beraninya orang rendahan sepertimu mendorong tunangan saya hingga jatuh!" geram Evelyn. "Siapa suruh tunangan Anda lemah," balas Bumi tak acuh. Selanjutnya dia mendorong kursi roda Moza. Terlihat tidak ada lagi yang mencegahnya. Mereka merasa sedikit takut. Menantu yang menumpang di kediaman mertua malah lebih galak. Moza dan Lara kini saling lirik. Hal yang sama terdapat dalam pikiran mereka. Bumi pasti mantan preman kampung seperti mamanya. Kepala Moza menoleh ke belakang, tepatnya pada Bumi. "Baru datang sudah membuat keributan," tegur wanita itu. Bumi mengangkat bahunya. "Tidak lengkap rasanya jika tidak ikut meramaikan suasana." Moza menunduk menyembunyikan senyumnya. Dalam bayangan sebelumnya, dia akan semakin ditindas setelah kembali, tapi ternyata tidak begitu. Rasanya cukup baik dibela oleh seseorang. Kalau dipikir tujuannya untuk menjadikan Bumi sebagai pesuruh mungkin tidak akan berhasil. Para penindas di keluarganya saja dibuat kewalahan oleh tingkah suaminya itu. Kamar Moza yang sebelumnya berada di lantai dua, kini berpindah ke lantai dasar. Lara sudah memindahkan semua barangnya. "Kalian istirahatlah," ucap Lara membukakan kamar Moza. "Ibu juga istirahat. Kalau ada apa-apa panggil aku saja, Bu," balas Bumi. Lara tersenyum mengangguk. Menantunya ini, walau bukan dari keluarga kaya, terlihat dapat diandalkan. Setelah Lara keluar kamar, Moza menatap pada Bumi. "Kamu nanti tidur di lantai!" titah wanita itu karena di kamar ini tidak ada sofa. Bumi yang mendengar, mengangkat sudut alisnya. "Seenaknya." Dia menyentil kening sang istri. Kemudian dia duduk di ranjang yang ukurannya cukup besar. "Tentu saja aku tidur di sini," lanjut Bumi membaringkan tubuhnya. Moza menggerakkan kursi rodanya dan mengambil salah satu batal. Kemudian dia memukul Bumi dengan bantal. "Tidur di bawah sana!" Bumi berguling sambil terkekeh. Tidak lama, dia bangkit dan melangkah menuju Moza. "Mau apa?" Moza rasanya ingin kabur, tapi geraknya sungguh terbatas. Dia takut Bumi macam-macam padanya. Benar saja, pria itu menggendongnya dan mendudukkannya di ranjang. "Bumi, kamu jangan macam-macam!" seru Moza. Bumi menampilkan senyum geli. "Tidak mungkin aku macam-macam dengan harimau galak." "Sialan!" Moza kembali memukul Bumi dengan bantal. Bumi mengambil bantal satu lagi dan membalas Moza. Pukul-pukulan bantal terjadi hingga keduanya lelah sendiri. "Bumi, ambilkan alat gambarku!" pinta Moza setelah mereka tenang. Bumi beranjak dari ranjang dan segera mengambilkan. Moza mulai menggambar ide-ide baru desain perhiasan secara manual sebelum dilanjut menggunakan perangkat digital. Dia harus tetap bekerja agar mendapat penghasilan. Dia sudah sombong berkata akan menghidupi Bumi, jangan sampai pria itu menganggap dirinya omong kosong. Bumi yang melihat Moza bekerja dengan serius pun sedikit terpesona. Dia juga memperhatikan cincin di jari Moza. Hanya cincin pernikahan dengan harga murah. Dia berpikir setelah masalah selesai, ingin membelikan cincin berlian untuk istrinya itu. "Untuk apa melihatku! Berbalik!" seru Moza menyadari sejak tadi diperhatikan. Dia jadi merasa risi. Bumi menggeleng pelan, cantik-cantik, tapi setiap berbicara selalu ngegas. Dia pun memilih beranjak dari ranjang menuju ruang ganti yang memang tersedia di kamar itu. Bumi ingin menyusun pakaiannya dan menyembunyikan laptop serta barang-barang canggih lain miliknya. Tidak lama, Bumi mendengar suara pintu dibuka dan terdengar pula pembicaraan seseorang dengan Moza. Bumi mencoba melihat. Seperti dugaannya yang datang adalah Nancy, adik bermuka dua. "Aku harap Kakak bisa hadir di pernikahanku dan Kak Kelana besok. Kalau Kak Moza tidak menampakkan diri, Kakak akan dipandang sangat menyedihkan," ucap Nancy. Sebenarnya dia mengundang Moza hanya untuk membuat kakaknya sakit hati dengan pernikahan mewahnya dan tentu saja Kelana yang menjadi pasangannya. Setelah berkata demikian, Nancy pergi dari kamar tersebut, meninggalkan Moza yang memilih diam. "Tidak perlu datang," ucap Bumi dan kini dia mengambil duduk di hadapan Moza. Wanita itu memperhatikan Bumi, lalu berkata, "Aku akan datang dan membuktikan kalau aku baik-baik saja. Kita perlu berpenampilan menawan besok." Bumi menghela napas. Sebenarnya dia malas sekali datang, tapi harus mendampingi Moza. Salah satu tugasnya adalah menjaga sang istri dari orang-orang munafik dan tak tahu diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN