8. Tidak Akan Memecat Bumi

1141 Kata
"Kamu kenapa?" tanya Moza pagi ini, ketika melihat Bumi beberapa kali melamun. Bumi melirik istrinya. "Tumben sekali perhatian." "Siapa yang perhatian?!" kesal Moza. Mereka memang tidak cocok jika berbincang santai. Bumi tersenyum sekilas. "Aku punya masalah." Dia terpikir tentang sang kakak yang mungkin terlibat masalah. "Kamu sepertinya ingin meminta bantuanku." "Mana bisa kamu membantu." Bumi menyentil kening Moza, membuat istrinya itu menatap garang. "Kamu mau menghinaku karena aku ca—" Bumi segera menutup bibir istrinya itu dengan jarinya. "Bukan itu maksudku." Lagi pula dia dan Moza belum saling percaya, dia tidak berniat membahas Venus saat ini. Tangan Moza bergerak menjauhkan jari sang suami dari bibirnya. Ekspresi wanita itu masih terlihat kesal. "Kamu harusnya senang besok sudah diperbolehkan pulang ke rumah," ucap Bumi mengalihkan pembicaraan. "Rumah itu bagai neraka," lirih Moza. Bumi memperhatikan lekat istrinya itu. Dia dan Moza benar-benar berkebalikan. Rumah bagi Bumi bisa diibaratkan surga. Di sana terdapat anggota keluarga yang begitu menyayanginya, tempat yang penuh cinta dan canda tawa, sedangkan Moza menganggap rumah neraka. "Tenang saja, sekarang ada aku, kamu akan lebih betah di rumah." Telapak tangan Bumi menepuk kepala Moza. "Singkirkan tangan kotormu!" seru wanita itu. Sepertinya Bumi sudah mulai terbiasa dengan ucapan kasar Moza karena dia tidak terlalu merasa kesal. "Baiklah." Telapak tangan pria itu justru berpindah mencubit pipi Moza. Setelahnya terdengar amukan sang istri bagai harimau mengaum. Namun, Bumi hanya menanggapinya dengan kekehan. Bumi harus kembali ke kos-kosan lebih dulu sebelum dia ke perusahaan. Jarak dari rumah sakit ke kos-kosannya juga tidak jauh. Saat tiba di depan kos-kosan dengan menggunakan ojek, Bumi melihat Sultan tengah berbincang dengan sosok pria yang berpenampilan seperti seorang bos. Bumi merasa sedikit aneh ketika pria itu mengamatinya dari atas sampai bawah. Dia tidak mengenal pria itu. Dia mengangguk untuk menjaga kesopanan dan segera masuk ke dalam kos-kosan, setelah berpamitan pula dengan Sultan yang juga melihatnya. Sementara di sana ada Sultan yang tatapannya terlihat sedikit khawatir. "Aku tidak ingin kau melakukan apa pun padanya." Pria yang merupakan atasan Sultan itu tersenyum remeh. "Memang kenapa? Dia juga hanya orang rendahan." "Rigel, kau benar-benar berubah. Dulu, kau tidak pernah memandang rendah orang lain." Sultan tidak memanggil bos, dia berbicara sebagai teman. Nama pria itu Rigel. Mereka berteman sejak kuliah. "Dulu, akulah yang dipandang rendah, tapi sekarang aku yang memandang rendah," balas Rigel mengepalkan telapak tangannya. Sultan menggeleng perlahan. Dia tidak suka dengan perubahan sikap Rigel. Terkadang, dia mencoba memberikan nasihat, tapi tidak ada hasil. "Apa kau tidak bisa berhenti? Lihatlah yang terjadi pada Moza karena tindakan orang suruhanmu. Ini sudah sangat kelewatan." "Lantas kenapa? Kau ingin membongkarnya pada Moza dan suaminya itu?" Rigel tahu Sultan tak mungkin melakukannya. Pria itu berhutang budi padanya. Tidak akan mengkhianatinya. Sultan memilih diam. Kalau bukan karena Rigel, dia tidak akan hidup seperti sekarang. Dulu, Sultan anak dari keluarga kaya. Nama aslinya adalah Aditya. Meskipun ibunya telah lama meninggal, dia hidup bahagia bersama ayah dan adik laki-lakinya. Namun, musibah menimpa keluarganya. Sang ayah ditipu oleh sepupu sendiri sehingga terlilit utang hingga hotel bintang empat milik mereka terpaksa dijual, dan ayahnya mengalami stroke hingga meninggal. Tidak lama setelahnya, Sultan dan sang adik mengalami kecelakaan, hingga adiknya meninggal. Sultan sendiri wajahnya mengalami kerusakan. Rigel membantu Sultan keluar dari situasi sulit tersebut. Pria itu juga membeli kembali hotel keluarga Sultan. Bahkan, Rigel membiayai Sultan untuk menjalani operasi wajahnya yang rusak. Identitas yang dulu bernama Aditya berubah menjadi Sultan. Hotel tempat dia bekerja sekarang adalah hotel milik keluarganya yang dikelola oleh perusahaan Buwana Group milik Rigel. Tiba-tiba ponsel Rigel berdering dan nama 'singa betina' terpampang di layar. Pria itu sangat enggan mengangkatnya. "Tidak baik mengabaikan panggilan dari istri," kata Sultan sambil tersenyum geli. Dia tahu betul siapa 'singa betina' itu. Istri rahasia Rigel. Sultan sendiri yang menjadi saksi pernikahan mereka. Rigel menarik napas dalam-dalam sebelum mengangkat teleponnya. Benar seperti dugaannya, sang istri mengamuk. Dia segera menjauhkan ponsel dari telinganya. "Kamu ada di mana?! Sudah setengah jam, padahal aku hanya minta dibelikan soto ayam di depan komplek!" "Iya, tunggu sebentar. Tadi ada urusan yang mendesak." Rigel segera menutup panggilan tersebut. Dia menghela napas. Sejak menikah dengan 'singa betina', dia merasa seperti pesuruh. "Sekarang lebih baik kamu pergi," ucap Sultan masih dengan senyum geli. "Kau terlihat seperti mengejekku." "Aku mana berani, Bos." Sultan mengatupkan bibirnya. Rigel pun akhirnya pergi. Sultan yang masih melihat mobil Rigel menjauh dikejutkan dengan tepukan di pundaknya. Setelah berbalik, dirinya semakin terkejut ketika mendapati Bumi. "Sejak kapan kau di sini?" tanya Sultan sedikit khawatir, mungkin saja Bumi mendengar mereka menyebutkan nama Moza. "Barusan. Tadi itu bosmu? Pemilik hotel tempatmu bekerja?" Bumi hanya mendengar Sultan menyebut pria itu bos. "Benar." Sultan sedikit merasa lega, sepertinya Bumi tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Sebenarnya, Bumi ingin berbicara lebih banyak karena cukup penasaran dengan bos Sultan yang menatapnya aneh, tapi dia sudah sedikit telat sekarang. Dia pun segera berpamitan. *** Bumi mengantar minuman ke ruangan kerja Bram, ayah mertua yang tidak mengakuinya. Selain Bram, di sana sudah ada Nancy dan Kelana. Ketiganya menatap sinis ke arahnya, tetapi Bumi tetap tenang dalam menanggapi. "Silakan." Bumi meletakkan cangkir kopi untuk Bram dan Kelana, serta cangkir teh untuk Nancy. Kelana ingin menyiram Bumi dengan kopi panas, tapi Bumi sudah lebih dulu menyadarinya, dia segera menghindar dan cairan kopi pun mengotori lantai. "Kau!" Kelana menunjuk Bumi dengan marah. "Anda benar-benar tidak punya pekerjaan lain, ya?" Bumi tersenyum remeh. "Bumi!" tegur Bram. "Cepat bersihkan kekacauan ini!" Pria itu menunjuk ke lantai yang kotor. "Calon menantu Anda yang salah, Pak Bram. Terlihat jelas bahwa ini disengaja. Jadi, silakan perintahkan dia untuk membersihkan," sahut Bumi. "Bumi, jangan terlalu lancang! Kamu hanya office boy di sini!" seru Nancy yang kini tidak lagi memasang wajah lembut. "Selain menjadi office boy, saya juga adalah menantu Pak Bram. Jadi, status saya lebih tinggi daripada calon menantu." Bumi mencoba mengingatkan. Mata ketiganya terbelalak mendengar itu. "Satu lagi, saya bukan orang bodoh yang akan membereskan kekacauan orang yang ingin melukai saya," lanjut Bumi dan segera pamit keluar ruangan. "Bumi, kembali kamu!" geram Bram. Namun, Bumi sudah berada di luar. Dia mendengar itu, tapi bersikap tak acuh. Dia juga tidak peduli jika nanti dipecat. Karena besok dia sudah tinggal di kediaman Pramana dan bisa memantau keluarga itu. Sementara di ruangan Bram, semua masih terlihat marah. "Pa, lebih baik pecat saja dia," ucap Kelana kepada Bram. "Jangan!" Nancy tidak setuju dan ayahnya pun mengangguk. Kelana dibuat bingung, kenapa mereka tidak mau memecat Bumi. "Kamu pasti belum tahu kalau Bumi awalnya diterima kerja menjadi staf akuntansi di sini. Menurut riwayatnya dia sebenarnya punya kualifikasi yang cukup baik. Kalau dia keluar dari sini dan dapat pekerjaan bagus, bisa terbayang bagaimana sombongnya dia." Nancy hanya ingin suami Moza tetap menjadi pekerja yang dapat dia dan keluarga besar hina. Bram juga memikirkan hal yang sama. Kelana yang baru mengetahui hal itu akhirnya setuju. Dengan Bumi tetap bekerja sebagai office boy, status Kelana kelak sebagai menantu dengan pekerjaan manajer akan semakin disanjung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN