7. Berharap Kamu Terkena Karma

1388 Kata
"Moza, Mama pulang dulu ya," izin Starla mendekati Moza. "Sebenarnya Mama masih mau menemani kamu, tapi mau bagaimana lagi, di rumah kalau tidak ada Mama pasti berantakan," lanjutnya mengusap rambut Moza. Wanita itu tidak menghindar. Baru beberapa hari mengenal Starla, dia sudah mulai terbiasa. Moza mengambil dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang biru dan merah kepada Starla. "Ma, ini." "Simpan untuk kamu saja, Moza." Starla tidak enak pada Moza karena sudah berbohong menjadi orang yang kurang mampu. Belum lagi menantunya itu masih butuh biaya untuk pengobatan. Moza menjawab, "Tidak apa-apa, Ma. Aku masih banyak." Starla menerima ketulusan menantunya itu dengan senyum. "Sayang, kalau butuh apa-apa, jangan sungkan pada Bumi. Sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri, Mama ingin kalian bisa saling menyayangi." Starla kemudian menoleh pada sang putra. "Bumi, sekarang Moza tanggung jawabmu, kamu jaga dia dengan baik. Mama harap pernikahanmu bahagia." Bumi mengangguk dan melirik Moza. Mereka berdua saling pandang dengan sengit. "Kalian harus akur," lanjut Starla. "Tentu, Ma," jawab keduanya. Dalam hati mereka akan akur jika di depan Starla saja. Starla juga berpamitan dengan Lara. Mereka juga sudah bertukar nomor ponsel. Tentu Starla membawa ponsel keluaran lama yang sudah usang. Lara ingin memberi uang, tetapi Starla dengan tegas menolak. Dia merasa tidak enak menerima lebih banyak uang. "Sepertinya Mama berhasil mengambil hati Moza. Bahkan, Mama terlihat lebih dekat daripada dengan ibunya sendiri," kata Bumi setelah keluar dari kamar rawat Moza. "Benar, Mama juga merasa ada jarak antara Moza dan ibunya." Keduanya terlihat canggung dan Lara sering kali ragu berbicara dengan Moza. "Bumi, tadi Mama sempat mendengar percakapan Lara dan suaminya di telepon. Sepertinya ayah Moza tidak akan membiayai lagi perawatan Moza." Mungkin ini karena masalah ballroom hotel. "Iya, Ma. Aku juga rencana membiayai perawatannya, tapi masih harus berdiskusi oleh pihak rumah sakit agar tidak membocorkannya." Bumi memang sudah merencanakannya. Starla tersenyum, kalau begitu dia bisa tenang. Mereka berjalan sedikit menjauhi rumah sakit dan di sana sudah terparkir mobil mercedes benz milik Starla. Sopir segera keluar dari mobil tersebut ketika melihat Starla dan Bumi mendekat. Dia membuka pintu penumpang belakang mobil. "Bumi, kalau ada apa-apa langsung hubungi Mama, oke?" "Baik, Ma." Starla mengusap kepala putranya, kemudian masuk ke dalam mobil. Namun, terkejut melihat ada pria lain di dalam mobilnya. "Anda siapa?" tanya wanita itu. Pria itu mendelik. "Suamimu." Starla terkikik geli ketika berhasil membuat suaminya kesal. Bumi di luar mobil juga melihat sang papa. Kedua pria yang berparas mirip saling mengulurkan tangan. Telapak tangan mereka kini saling menggenggam. "Bumi, nanti Papa akan membuat pesta pernikahan yang berkesan untukmu dan istrimu. Selamat atas pernikahannya, Nak. Jaga istrimu dengan baik. Jangan menyakitinya. Papa sangat percaya padamu, meski pernikahan kali ini tanpa cinta, tapi kau akan bertanggung jawab atasnya." "Baik, Pa. Aku tidak akan mengecewakan Papa dan Mama," balas Bumi dengan tekad. Meski tidak yakin akan akur dengan Moza, dia akan bertanggung jawab. Aries mengangguk, menekankan pentingnya menghubungi jika ada masalah. Mobil orang tua Bumi bergerak perlahan meninggalkan Bumi yang tetap memandanginya menjauh. "Bagaimana menurutmu tentang Moza?" tanya Aries pada sang istri. "Dia menantu yang baik. Papa tenang saja." Starla menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. "Sayangnya, selain Moza dan ibunya, semua bermasalah." "Syukurlah kalau Moza baik. Untuk keluarganya, Bumi pasti bisa mengatasi." *** Bumi kembali ke rumah sakit dan segera berbicara pada dokter Moza serta staf administrasi. Dokter dari Moza terkejut bahwa Bumi mampu membayar semuanya. Dari awal, sang dokter sudah merasa bahwa Bumi memang bukan office boy biasa dilihat dari penampilannya. "Saya ingin Moza mendapatkan perawatan terbaik, tapi tentang siapa yang membayar, harus dirahasiakan," ucap Bumi kepada dokter dan staf terkait. Mereka menyetujui permintaan tersebut dan berjanji akan mengatakan bahwa seorang dermawan yang membayar biaya perawatan Moza. Setelahnya Bumi kembali ke kamar rawat. "Bumi, kamu jaga Moza. Ibu ada perlu ke luar," pamit Lara. "Baik, Bu," balas Bumi. Moza curiga tentang masalah pembayaran rumah sakitnya, jadi dia mentransfer uang dari tabungannya kepada sang ibu. Moza menghela napas ketika melihat saldo tabungannya semakin menipis. Bumi melirik apa yang Moza lakukan. Dia sudah melihat nominal di tabungan wanita itu. Ternyata tidak banyak. Berani-beraninya Moza berkata sombong mau menghidupinya. "Apa lihat-lihat!" Moza menyadari Bumi memperhatikannya dan segera menyembunyikan ponselnya. "Hanya penasaran, istri yang mau menghidupi suami, punya uang berapa." "Kamu meledekku! Dasar—" "Tenanglah, kita baru saja menikah, tapi kamu akan berbicara kasar pada suamimu." "Kita hanya suami istri di atas kertas! Jangan berharap lebih! Tugasmu adalah menjadi pesuruhku!" "Siapa yang setuju menjadi pesuruh, aku hanya setuju menjadi suamimu dan menjagamu." Bumi berpindah duduk di sofa yang tersedia. "Bumi!" bentak Moza kesal. "Ada apa? Kamu perlu sesuatu?" tanya Bumi santai. Rasanya Moza ingin mencakar wajah pria itu. Wanita memilih diam, tapi bibirnya terus menggerutu. Tidak lama, tangannya bergerak menekan tombol untuk memanggil perawat. "Butuh apa?" tanya Bumi. "Ke toilet!" balas Moza. "Kenapa tidak minta bantu suamimu?" Bumi menawarkan diri. "Enyah!" Bumi tersenyum geli membuat Moza semakin kesal. Perawat datang dan membantu wanita itu. Tadi perawat juga ingin berkata lebih baik meminta bantuan Bumi karena pria itu sudah sah menjadi suami Moza, tapi akhirnya urung karena melihat raut wajah garang wanita itu. Bumi merasa terlalu merepotkan jika Moza harus naik kursi roda dulu untuk kembali. "Biar saya saja nanti, Suster," ucap Bumi kepada perawat yang menunggu di luar toilet. Perawat tersebut mengiyakan dan segera pergi. Setelah selesai, Moza mencoba memanggil perawat lagi, tapi yang datang adalah Bumi. "Aku tidak mau dibantu olehmu," kata Moza. "Lebih cepat lebih baik," balas Bumi sambil menggendong Moza. "Turunkan!" "Mau aku jatuhkan?" Moza akhirnya memilih diam. Dari tubuh suaminya itu tercium wangi yang maskulin, tapi menyegarkan, membuatnya nyaman di gendongan yang hanya sekian detik. Bumi meletakkan Moza dengan lembut di ranjang dan menyelimutinya. Saat Moza melihat ponselnya, dia menemukan bahwa ibunya telah mengembalikan uang yang dia kirimkan. Ketika Lara kembali masuk ke kamar rawat sang putri, dia dalam kondisi bingung. "Ibu, kenapa mengembalikan uangku? Bagaimana dengan pembayaran?" tanya Moza. Lara menatap putrinya. "Perawatanmu sudah dibayarkan, bahkan perawatan nanti akan ditingkatkan dan kita tidak perlu membayar lagi ke depannya." Moza mengernyit. "Kenapa bisa begitu?" "Mereka berkata ada seorang dermawan yang membayarkan. Mungkinkah itu Vega, coba kamu hubungi dia." Lara menerka sahabat putrinya yang memang dari keluarga konglomerat. Moza dengan cepat menghubungi sahabatnya itu dan ternyata Vega berkata bukan dia. Vega memang sempat menawarkan ingin membantu pembayaran, tapi Moza saat itu menolak. Moza dan Lara dibuat bingung antara percaya tidak percaya dengan Vega karena selain gadis itu, tidak ada lagi yang memungkinkan membayar. Sementara Bumi di sana tersenyum tipis melihat istri dan ibu mertuanya kebingungan. *** Hari-hari setelahnya dilalui Bumi seperti sebelumnya. Perbedaannya adalah dia rutin mengunjungi rumah sakit setiap harinya dan kadang menginap, tentu demi merawat istri yang sering marah-marah tak jelas. Apalagi semakin Bumi bersikap santai dan mengabaikan ucapannya, Moza akan semakin kesal. "Pulang sana!" usir Moza. "Baiklah, sampai bertemu besok." Hari ini Bumi memang tidak berniat menginap. Tadi di perusahaan, dia telah berhasil meretas dan menyadap ponsel Tommy yang tertinggal, saat dia membersihkan ruang kerja pria itu. Dia ingin memeriksanya. Wajah Moza mengungkapkan ketidakpuasan karena mendapati Bumi tidak memaksa untuk tinggal. Biasanya pria itu akan menginap jika Lara tidak menungguinya. Bumi melirik Moza sekilas, lalu keluar dari kamar rawat. Moza semakin tidak senang. Dia mengambil undangan pernikahan Nancy dan Kelana di nakas samping ranjangnya, lalu melemparkan ke arah pintu. Kondisinya sedang tidak baik sekarang karena siang tadi Nancy dan Kelana pamer kemesraan, lalu memberikan undangan pernikahan mereka padanya, kini Bumi justru mengabaikannya. Tidak lama, makanan untuk Moza datang. Perawat pun segera keluar setelah menaruh makanan di hadapan Moza. Moza hanya mengaduk-aduk makanannya tidak berselera. Namun, tak lama seorang pria masuk ke kamar rawatnya. "Kenapa kamu kembali?" tanya Moza melihat itu adalah Bumi. "Aku takut kamu merindukanku," jawab Bumi dengan lelucon, melirik sekilas undangan pernikahan di lantai, dia tahu itu undangan Nancy dan Kelana. Dia tadinya memang akan pulang, tapi mengingat Moza dalam suasana hati yang buruk sekarang, sebagai suami yang baik hati, dia pun mengalah untuk mendapatkan amukan macan kali ini. "Jangan mimpi!" seru Moza terlihat kesal, tapi hatinya merasa lebih nyaman. "Ayo makan bersama." Bumi tadi telah membeli nasi bungkus. Mereka pun akhirnya makan bersama dengan cukup tenang. Setelah Moza tertidur, Bumi mengeluarkan ponsel canggihnya dan mulai melihat-lihat isi dari ponsel Tommy. Ternyata nomor Venus sudah di blokir. Ekspresi Bumi berubah ketika mendapati pesan dari Venus untuk Tommy. Venus: Karena pria berengsek sepertimu, aku mengalami kesialan ini. Venus: Tommy, aku berharap kamu terkena karma!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN