6. Sah!

1354 Kata
Moza terlihat canggung di hadapkan dengan ibu dari Bumi. Wanita yang tadi seperti preman, kini tersenyum ramah kepadanya. "Nak Moza," panggil Starla sembari menggenggam telapak tangan Moza, tapi gadis itu langsung menariknya, membuat Starla sedikit kecewa. Moza sebenarnya terkejut, dalam dirinya seakan ada sinyal yang mengatakan jangan percaya dengan orang lain sehingga ia menarik tangannya. Dia pernah percaya dengan Kelana dan keluarga pria itu, tapi berujung pengkhianatan. Melihat ekspresi Starla, Moza merasa tidak enak. Takutnya ibu dari Bumi itu berpikir dirinya sama seperti Vahira. "Tante, maaf. Aku tidak—" "Mama mengerti." Starla bisa melihat bahwa Moza tidak bermaksud menyinggungnya. Gadis itu tampak mengalami begitu banyak luka bukan hanya fisik, tapi juga psikisnya. "Sebagai calon menantu, Moza wajib memanggil mama, bukan tante. Kalau ada para pengganggu seperti tadi, bilang pada Mama, biar Mama bereskan." Starla menunjukkan tinjunya penuh tekad. Kemudian dia kembali tersenyum lebar. Moza berpikir mama mertuanya pasti mantan preman. "Baik, Ma," jawab Moza terdengar canggung. Bumi mengangkat sudut alisnya. Ternyata sikap gadis itu kepada sang mama tidak buruk. Starla juga berkenalan dengan Lara. Kemudian dia memberikan buah tangan kepada calon besannya itu. Starla pikir Moza dan Lara tidak buruk. Dia berharap pernikahan Bumi dan Moza akan bertahan. Ketika sudah saling percaya, Moza juga dapat menceritakan apa yang terjadi saat Venus pergi ke kediaman Pramana. "Starla, aku harap kamu tidak kecewa dengan itu." Lara memberi tahu bahwa akad nikah akan dilangsungkan di rumah sakit. Starla tersenyum. Lara tetap mempertimbangkan perasaannya. Ibu Moza ini cukup baik, sayang terjerumus menjadi istri kedua keluarga Pramana. Starla ingin menjalin komunikasi yang baik dengan Lara. Sebagai besan mereka memang harus dekat, semakin dekat, dia bisa lebih leluasa bertanya apa pun. "Tentu tidak masalah, Kak Lara. Aku juga meminta maaf. Kami hanya bisa memberikan mahar seadanya. Bumi baru bekerja kembali. Tabungannya tidak banyak. Dia juga ikut membiayai adik-adiknya." "Bumi berapa bersaudara?" "Tujuh bersaudara." "Tujuh!?" Lara terkejut, Starla bertubuh kecil, tidak disangka dia begitu kuat. Namun, kalau dilihat dari keributan tadi memang wanita itu cukup kuat. "Benar. Lalu tentang nafkah karena Bumi hanya—" "Sudah tidak perlu bahas masalah uang lagi. Kami masih sangat mampu." Lara menghentikan ucapan Starla yang kini terlihat bersalah karena putranya tidak mampu. Dalam hati, Starla memang merasa bersalah, tapi karena telah berbohong. Putranya sangat mampu. Di perusahaan Bumi termasuk jajaran pemegang saham tertinggi. Selain itu, dari kecil karena Bumi adalah kesayangan, para kakek memberikan cukup banyak hadiah seperti vila, pesawat pribadi, kapal pesiar, dan properti lain atas nama sang putra. Maaf, Kak Lara. Bumi itu sebenarnya sudah kaya dari bayi, batin Starla. Lara sendiri, walau pernah dikecewakan oleh Kelana dan keluarga pria itu, dia kembali berusaha percaya kepada Bumi dan Starla. Berharap Moza dan dirinya tidak akan dikecewakan lagi. Di sisi lain, terlihat Moza dan Bumi saling berbisik. "Bumi, kamu jangan sampai berkhianat karena aku yang akan menghidupimu," ucap Moza. "Nona Moza, Anda tidak perlu repot, saya masih mampu menghidupi diri sendiri dan Anda," balas Bumi. "Dasar pesuruh sombong," hardik Moza. Bumi terlihat tidak senang. Ternyata hanya di depan sang mama, Moza bermulut baik, di depannya tetap mulut berbisa. Setelah berbincang cukup lama, Bumi dan Starla undur diri. "Mama jangan terlalu percaya dengan sikap sopan Moza, di depanku dia tetap kasar," ucap Bumi ketika mereka memasuki supermarket. Keduanya ingin membeli beberapa keperluan. Starla terkekeh. "Setidaknya Moza jauh lebih baik daripada Nancy, adiknya itu." Kalau hal ini Bumi setuju. Wajah Nancy yang lembut hanya topeng. Lihatlah bagaimana dia tadi menghina Moza. Sementara itu, di supermarket yang sama, tampak seorang wanita cantik, berparas blasteran, tinggi bak model sedang berdiri di jajaran merek s**u untuk ibu hamil. Dia pun mengambil salah satunya. "Kalau tidak salah, Mama minum merek ini saat hamil Ariel," gumamnya memperhatikan kotak s**u tersebut. Dia berubah sendu dan matanya berkaca-kaca. "Ma, Venus kangen." Wanita itu mengambil dua kotak dan memasukkannya ke dalam keranjang belanjaan, lalu bergegas ke kasir sembari berusaha menahan air matanya. Dia tak mau orang lain menganggapnya aneh, menangis tiba-tiba. Di sisi lain, Starla berhenti melangkah dan melihat sekeliling. "Kenapa, Ma?" tanya Bumi. "Mungkin karena terlalu rindu, Mama mendengar suara Venus memanggil Mama." Mata Starla seketika berair. "Venus, tega sekali kamu, Nak, membuat Mama rindu berat. Bagaimana keadaanmu sekarang?" Dia menoleh kepada sang putra. "Kakakmu tidak akan kelaparan, kan?" "Aku yakin Kak Venus tidak kelaparan. Kak Venus itu kaya." Walau Bumi berkata demikian, tapi dia juga cemas, kakaknya seakan menghilang. Bumi sudah mencoba melacak mulai nomor ponsel sampai meretas akun media sosial, tapi tak ada hasil. Venus juga sama sekali tidak memakai kartu pemberian papa mereka. Sang kakak merancang aksi kaburnya dengan sempurna. "Benar, Venus pasti baik-baik saja." Starla kembali optimis. Dia yakin tidak lama lagi mereka akan berkumpul kembali. *** "Sah!" Kata sah telah diucapkan saksi akad nikah kali ini. Akad nikah dilaksanakan secara sederhana di kamar rawat Moza. Moza tampak kecewa karena ketika dihubungi, sang ayah berkata tidak datang dan meminta penghulu sebagai wali hakim untuk mewakilkannya. Pria itu sibuk mempersiapkan pernikahan Nancy dan Kelana. Padahal Moza sudah bisa menebaknya, tapi tetap saja dia menaruh harapan. Selain sang ibu, tidak ada keluarganya yang datang. Namun, Moza cukup senang ketika Vega sahabatnya datang. Bumi melirik pada Moza ketika mereka menandatangani akta dan buku nikah serta dokumen lainnya. Moza sepertinya tidak memperhatikan nama panjangnya. Di sana tentu bukan tertulis Bumi Raharja, tapi Bumi Arsya Kavindra. Dia lega karena tidak perlu membuat alasan untuk itu. Bumi sendiri selain kehadiran sang mama, dia juga mengundang Sultan yang sampai sekarang terlihat masih terkejut dengan apa yang terjadi kepadanya. Kemarin Bumi memberitahukan dan mengundangnya. Siapa sangka Sultan bersedia datang dan turut menjadi saksi bersama dokter yang menangani Moza. Selain mereka, juga ada para perawat yang hadir. "Bumi, aku harus kembali," pamit Sultan. "Terima kasih sudah datang," balas Bumi. "Sama-sama. Bumi, aku berharap kau tidak menjadi menantu terhina. Jangan mau ditindas. Kalau butuh apa-apa hubungi aku." Sultan menepuk pundak Bumi. Dia pernah beberapa kali membaca cerita tentang menantu pria terhina oleh keluarga mertua. Dia berharap Bumi tidak akan seperti itu. "Kau terlalu cemas. Aku bukan orang yang mudah ditindas." "Wajahmu tidak meyakinkan." Sultan tidak percaya. Bumi layaknya pemuda baik yang mudah dibohongi. "Doa terbaik juga untuk pernikahanmu. Semoga langgeng dan berbahagia." "Terima kasih." Bumi tersenyum. Meski baru kenal, dia merasa Sultan pria baik. Sultan tidak lupa berpamitan dengan Starla. Kemudian dia mengangguk pada Moza, Lara, dan Vega di sana sebelum akhirnya pergi dari kamar rawat. "Moza, teman Bumi itu sepertinya aku pernah melihat sebelumnya," ungkap Vega sembari berpikir. Moza mengernyit. Pria itu tinggal di kos-kosan kecil sama seperti Bumi, sedangkan Vega adalah seorang putri keluarga konglomerat. Memang mereka pernah bertemu di mana? "Aku belum pernah lihat," balas Moza. "Oke, mungkin tidak penting," sahut Vega kembali. "Moza, suamimu ternyata sangat tampan. Kelana kalah jauh dengannya." Moza melirik sinis. "Jangan menyebut nama pria berengsek itu. Mengenai Bumi, untuk apa ketampanan, jika pekerjaannya tidak dapat mengangkatku dari penghinaan." Lagi dan lagi ada bahan untuk menghinanya di tengah keluarga besar. Selain anak dari pelakor, orang cacat, sekarang menjadi istri seorang office boy. Vega menghela napas. Memang benar apa yang dikatakan Moza. Namun, wajah seperti Bumi, sungguh tidak cocok menjadi office boy. *** Sultan berjalan menuju tempat parkir motor, ponselnya tiba-tiba berdering dan setelah mengetahui siapa yang menghubungi, wajah pria itu terlihat serius. Dia pun mengangkatnya. "Apa kau jadi pergi ke pernikahan Moza? Bagaimana acaranya? Apa dia mengenalimu?" tanya pria di seberang panggilan. "Pernikahannya lancar. Moza dan Vega tidak mengenaliku, tapi aku berharap kau hentikan balas dendammu pada Moza. Dia sudah sangat kasihan." "Kau berani mengatur bosmu! Tidak ada seorang pun yang boleh mengaturku!" seru pria itu. "Aku tahu, Bos. Aku tidak mengaturmu, hanya menasihatimu sebagai teman," balas Sultan. Meski hubungannya dengan pria itu atasan dan bawahan, tapi hubungan pertemanan sudah berlangsung lama. "Bagaimana dengan suaminya?" "Jangan sekali-kali mengganggunya. Dia hanya pria biasa yang terjebak dalam keluarga Pramana!" tegas Sultan. Dia merasa Bumi juga cukup kasihan. "Ck, siapa yang mengatakan akan mengganggunya?" Belum sempat pria itu melanjutkan obrolan dengan Sultan, dia sudah mendengar suara amukan singa di kamar sebelahnya. "Nanti aku hubungi lagi." Pria itu langsung menutup panggilannya. Sultan menghela napas panjang, yang namanya dendam memang tak ada habisnya. Namun, dengan kondisi Moza sekarang, dia harap bosnya itu tidak memperpanjang dendamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN