5. Keributan di Kamar Rawat Moza

1382 Kata
Pagi ini, Bumi dan Starla pergi ke Bogor terlebih dahulu sebelum menuju Bandung. Mereka singgah ke rumah orang tua Starla yang berada di desa. Mama dari Bumi itu memang berasal dari desa. Namun, desa tempat Starla tinggal kini sudah tampak lebih maju dan rumah kedua orang tuanya telah ditingkat bahkan warung di sana pun diperluas. Setiap Starla datang, pasti selalu ada kehebohan dari beberapa tetangga. Mereka ingin berbesanan dengan Starla, perempuan beruntung dari desa mereka. Apalagi kini wanita itu membawa Bumi. Starla segera melindungi sang putra bak pengawal. "Bumi, Nenek kangen!" Sari, ibu Starla segera memeluk cucunya ketika Bumi telah berhasil memasuki rumah dengan pengawalan sang mama. "Bumi juga kangen Nenek dan Kakek," balas pria muda itu. Di sana terlihat pula Pandu, bapak Starla mengantre untuk memeluk sang cucu. "Gantian, Bu!" protesnya. Starla sendiri menggeleng pelan, tidak di luar mau pun di dalam rumah, Bumi selalu jadi rebutan. Bahkan, kini dirinya saja sebagai anak seperti tidak terlihat oleh orang tuanya. Untung ada sepupu-sepupunya, yang lebih muda dari Bumi menyalaminya. Starla memang memiliki sepupu-sepupu kecil, anak dari adik ayahnya. Mereka semua berkumpul dan Starla membahas tentang pernikahan Bumi. Tentu seluruh keluarganya terkejut. "Buminya nenek kena apes pasti ketularan mamamu. Kasihan sekali kamu, Cu." Sari langsung melempar lap kain pada putrinya. Starla dengan cepat menghindar. Hidupnya jadi serba salah seperti ini. Bumi tersenyum geli, dia juga sempat merasa ketidakberuntungan seminggu ini menular dari sang mama. "Bu, jadi aku ke sini mau mempersiapkan diri menjadi orang desa agar mereka percaya," ungkap Starla sembari berpikir perlu membawa apa dari rumahnya untuk keluarga calon besan. "Melihat kelakuan norakmu saja mereka akan langsung percaya," sahut Sari. Bumi di sana cekikikan mendengarnya. Beginilah keluarganya. Jelas sangat berbeda dari keluarga Pramana yang adalah keluarga calon mertuanya. Bumi tidak yakin bisa nyaman masuk keluarga itu. Bumi dan Starla langsung menuju Bandung sore harinya. Bawaan mereka cukup banyak ada singkong, jagung, pisang, dan beberapa makanan lainnya. Mereka menginap di kamar hotel dekat dengan rumah sakit tempat Moza dirawat. Rencananya besok keduanya akan menemui Moza dan ibu gadis itu. *** "Nak, kamu sebenarnya tidak cocok menjadi office boy," ungkap Starla yang sudah berada di kamar sang putra. Sebentar lagi jam besuk rumah sakit, mereka bersiap menjenguk Moza. "Kenapa, Ma?" "Ketampananmu terlalu menyilaukan." Dia tidak habis pikir dengan perusahaan Pramana. Wajah seperti putranya dijadikan office boy? Mata mereka sepertinya ditaruh di dengkul. "Itu menurut Mama." "Bukan Mama saja. Bumi dan seisinya juga tahu kalau Bumi anak Mama Starla itu tampan paripurna." Bumi tersenyum mendengarnya. "Tunggu, sepertinya di depan Moza dan keluarganya, tidak cocok memanggil mama," ucap Starla sembari berpikir. Bumi mengangguk setuju, mungkin lebih cocok mengganti panggilan mama menjadi ibu. "Ganti panggilan mama dengan mommy," lanjut Starla yang membuat Bumi tertawa geli. Dari desa, tapi memanggil mommy. Tambah tidak cocok. "Kalau begitu mama saja. Jika diubah nanti akan terdengar canggung," sahut Bumi memutuskan tidak mengubahnya. Kemudian, dia mengajak sang mama untuk langsung ke rumah sakit, tempat Moza dirawat. Sementara di kamar rawat Moza, sudah kedatangan tamu tak di undang. Nancy, Vahira, dan Kelana beserta kedua orang tuanya. "Kau jangan setega itu, ini adikmu yang menikah, kenapa kau membatalkan sewa ballroom hotelnya?!" kesal Vahira. Tadi saat mereka ke hotel bintang lima itu, pihak hotel memberitahukan hal ini. "Kalau mampu sewa saja sendiri!" Hotel itu milik keluarga Vega, sahabatnya, tentu saja Moza mendapat diskon besar-besaran. Dia juga menyewa menggunakan uangnya. Menyewa ballroom hotel bintang lima untuk pernikahan tentu sangat mahal. Moza yakin mereka tertegun melihat harga aslinya sampai menemuinya seperti ini. "Moza, kenapa kamu jadi seperti ini, Nak?" Ibu dari Kelana yang bernama Lydia memasang wajah sedih. "Tante yang berubah, bukan aku!" Dulu dia memanggil mama pada Lydia, beliau begitu sayang padanya, tapi sekarang dia mempertanyakan mungkinkah dulu adalah sandiwara. Lydia menangis memeluk suaminya. Nancy mencoba menenangkan dan menatap sang kakak dengan ekspresi teraniaya. "Kak, kita keluarga, kenapa kamu seperti ini? Aku menikah dengan Kak Kelana juga demi menggantikanmu yang sudah tidak dapat melakukan apa-apa." "Tutup mulutmu!" bentak Moza. Bagaimana bisa Nancy menghinanya, tapi dengan raut sedih. Nancy kembali berkata, "Kakak harus menerima kenyataan bahwa akan terus merepotkan suami jika menikah, yang mau denganmu hanya office boy itu, tapi sepertinya dia tidak tulus. Alasannya mau menikahi Kakak mungkin agar dapat menjadi bagian keluarga kaya—" Perkataan Nancy terputus, sebuah tamparan melayang di pipinya. Lara yang menamparnya karena tidak tahan dengan ucapan gadis itu. Dia juga takut kejiwaan Moza kembali terganggu. Terlihat Nancy berusaha menahan amarahnya. Dalam hati dia mengumpat, bisa-bisanya pelakor menamparnya. "Lara!" bentak Vahira. Dia ingin membalas menampar Lara, tapi tangan lain menahan tangannya. Tampak sosok wanita berhijab yang lebih muda darinya di sana. Vahira segera menarik tangannya. "Anda siapa?" tanya Vahira tak senang. "Anda yang siapa?" "Orang asing tidak berhak di sini!" seru Vahira. "Siapa yang orang asing. Saya ini calon mama mertua Moza!" balas wanita yang adalah Starla. Dia dan Bumi sudah cukup lama berada di depan pintu dan mendengar apa yang mereka katakan pada Moza. Tadi, Starla juga berkeinginan menampar Nancy, untung terwakilkan dengan Lara. Starla sendiri telah mengenal wajah-wajah keluarga Moza. "Kamu ibunya office boy itu?" Vahira langsung mengeluarkan tisu basah. Dia membersihkan tangannya yang dipegang oleh Starla karena menganggap kotor. Starla kembali menggosokkan telapak tangannya pada pakaian, tangan, hingga wajah Vahira. "Ini rasakan tanganku!" "Menjauh, menjauh!" seru Vahira merasa jijik. Dia segera bersembunyi di balik tubuh sang putri. Nancy bergegas melindungi mamanya itu dari ancaman tangan emak-emak pedesaan. Bumi sendiri entah sejak kapan sudah duduk di kursi sebelah ranjang Moza. Dia tersenyum geli melihat tingkah mamanya. Moza menatap bingung kejadian di ruang rawatnya saat ini. Kemudian dia beralih pada Bumi. "Beliau ibumu?" "Betul." Bumi terdengar bangga. "Kamu mau aku kupaskan apel?" tawarnya. "Tidak usah sok peduli. Lebih baik kamu hentikan keributan di kamar ini." Melihat ibunya seperti itu, Bumi malah diam dan bermaksud mengupas apel. "Biarkan saja, ini cukup menghibur." Moza menggeleng pelan dan kembali menatap calon ibu mertuanya. Kenapa kelakuan wanita itu mirip preman. "Mau ke mana kamu pengecut!" seru Starla melepas sandalnya, ingin melempar pada Vahira yang berlari keluar kamar rawat. Lara di sana tak bisa menahan senyum geli. Inikah ibu dari Bumi? "Anda sangat tidak sopan! Dasar orang kampung!" hardik Lidya. Sekarang ibu dari Kelana itu memperlihatkan wajah aslinya. "Harusnya berkaca dulu kalau mau menghina orang. Kalian yang tidak sopan dan sudah seperti pengemis, mau menikah saja, minta-minta uang untuk sewa hotel dari calon menantuku." "Kurang ajar!" seru Lidya ingin mencakar Starla, tapi wanita itu bergegas mendorong Lydia. Sebenarnya dia mendorong tidak kuat, tapi karena kehilangan keseimbangan, Lidya terjatuh. Suaminya segera menolong, sedangkan Kelana langsung mendorong Starla, untung Bumi sudah berada di belakang sang mama sehingga tubuh Starla yang terhuyung tidak jatuh. Starla bergegas bersembunyi di belakang putranya. Untuk kali ini, Bumi tidak terima. Jika pertengkaran emak-emak, Bumi lebih memiliki tidak terlibat, tapi kalau sudah masuk pria seperti Kelana, dia tentu akan membela. Dia pun mendorong Kelana hingga pria itu membentur tembok. "Kau siapa?!" Kelana masih menanyai karena tidak yakin. "Apa kurang jelas? Saya calon suami Moza dan Anda hanya mantan. Sekarang silakan pergi dari sini!" tegas Bumi, membuat Kelana dan yang lain tersentak. Mereka heran, bukankah pria itu office boy, tapi berbeda jauh dengan apa yang mereka bayangkan. Nancy yang sebenarnya sudah pernah melihat Bumi di kantor juga dibuat terkejut. Dia tahu office boy itu sering disebut-sebut memiliki wajah yang menawan, tapi mungkin karena tertutup dengan pakaian office boy, auranya tidak sekuat saat ini. Nancy berpikir Moza tetap cukup beruntung karena dari tampang, suaminya layak untuk dipamerkan. Ini membuat Nancy kesal. Kelana yang merasa tidak perlu takut dengan office boy, kini membusungkan d**a mencoba mengintimidasi. "Kau hanya petugas kebersihan, tapi berani mengusir saya!" "Ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Keluar sendiri atau saya yang menyeret kalian berempat untuk pergi dari sini!" usir Bumi. Tadinya Lidya ingin memberi penghinaan, tapi kemudian Bumi meliriknya tajam. Jujur dia takut dan memilih untuk diam. Kepercayaan diri Kelana pun menurun, melihat postur tubuh Bumi, dia bisa menerka pria itu cukup kuat. Dia beralih melirik Moza yang tampak terhibur sembari menikmati potongan apel yang telah dikupas oleh Bumi. Moza tersenyum remeh. Sekarang dia bisa melihat Kelana bukan pria yang tulus padanya. Jelas, Moza masih sedih dan kecewa, tapi dia tidak mau menunjukkan kelemahannya itu. Kelana bersama kedua orang tuanya serta Nancy pergi dari kamar rawat tanpa sepatah kata pun. Sekarang hanya tinggal Moza, Bumi, bersama ibu mereka di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN