10. Pangeran?

1126 Kata
POV Semeru “Kamu sudah bangun atau nggak tidur sama sekali?” tanyaku, melihat Jemima sudah terjaga begitu aku terbangun. “Bapak sudah janji akan menikahi saya,” ucap Jemima menatapku oenuh pengharapan. “Saya harus ke kantor dulu, Clau, kita bahas nanti.” Sudah pukul 9 dan aku harus segera ke kantor karena meeting sudah kuminta untuk diundur pada pukul 11. Aku sudah akan beranjak dari tempat tidur ketika Jemima mencekal tanganku. “Bapak sudah m*****i saya,” ujar Jemima dengan tatapan sayu. Aku tersenyum kecil. “Kita bahas nanti ya, Gadis Suci.” Kuacak surai hitamnya yang tergerai indah. “Ayo, siap-siap, saya antar kamu sekalian ke kampus.” “Kebetulan hari sedang nggak ada jadwal kuliah, Pak.” “Oh, ya bagus kalau begitu. Kamu mau ikut saya ke kantor? Temani saya di sana? Sekalian kita bahas pernikahan kita.” Aku memberikan tawaran pada Jemima yang penampilannya sudah tak seseksi beberapa jam yang lalu. Jemima sudah mengganti lingerie-nya dengan pakaian tidur biasa. Jemima menggeleng lemah. “Saya mau mengurus Ayah saya dulu, Pak, sebelum ke resto.” “Ya sudah, saya mau izin pakai kamar mandi ya. Kamu bisa tolong ambilkan pakaian dan handuk saya di mobil?” pintaku. “Bisa, Pak.” Kuberikan kunci mobil dan kuajarkan bagaimana cara membuka bagasinya. Aku menuju kamar mandi, sementara Jemima mengambil pakaian gantiku. “Mas Semeru, mau mandi?” tanya Tante Nike begitu aku hendak masuk ke kamar mandi. “Sudah ada handuk dan bajunya belum, Mas?” “Sudah ada, Tan. Jemi sedang mengambilnya di mobil.” “Ya sudah, nanti setelah mandi kita makan bareng ya, Mas. Jangan pergi dulu.” “Iya, Tante.” Kuanggukkan kepala sembari tersenyum kecil. Aku mandi cepat karena tak ingin membuang-buang waktu. Sudah waktunya untuk bekerja atau ketiga rekanku akan mengomel padaku nanti. Begitu keluar dari kamar mandi, kutemukan Jemima suda berada di depan pintu kamar mandi seperti sedang menungguku. “Bapak sudah selesai?” tanya Jemima kemudian. “Sudah, kenapa? Saya juga sudah wangi. Kamu mau cium saya, Clau?” tanyaku menggodanya. Jemima mencebikkan bibir. “Anda terlalu percaya diri, Bapak Semeru. Saya ke sini cuma mau bilang kalau Bapak sudah ditunggu sama Mama di meja makan.” “Ok, ayo kita sarapan. Kebetulan saya juga sudah lapar.” “Sini baju kotor Bapak, biar saya cucikan nanti.” “Dengan senang hati, Clau.” Aku tersenyum lebar dan menyerahkan pakaian kotorku. Kami menuju rumah makan yang berdampingan dengan dapur. Di meja makan sudah terhidang masakan yang dari harumnya berhasil membuatku ingin segera menyantapnya. “Sini duduk dulu, Mas Semeru.” Tante Nike mempersilakanku di kursi utama. “Makan yang banyak ya, Mas, saya sudah masak enak untuk Mas Semeru lho.” Aku tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. “Jemi, ambilkan Mas Semeru nasi dan lauknya,” perintah Tante Nike pada Jemima. “Iya, Ma.” Patuh Jemima mengangguk. Gadis ini tentu laha tidak mungkin akan berani membantah ibu tirinya. Kasihan sekali sebenarnya. Jemima hidup dalam tekanan ibu dan kakak tirinya. Jemima mengambil nasi uduk dan lauk pauknya tanpa banyak bicara. Lalu mengambil makanannya sendiri. Kuakui masakan Tante Nike benar-benar lezat. “Gimana Mas Semeru? Enak tidak masakan saya?” tanya Tante Nike. “Juara, Tante,” jawabku sembari mengacungkan dua jempolku. “Kalau begitu, nanti Tante bakal sering-sering masakin kamu, nanti biar Jemi yang kirimkan ke kantor kamu ya.” “Tidak perlu, Tan. Nanti merepotkan,” tolakku halus. “Ah, tidak merepotkan sama sekali kok.” Tante Nike mengibaskan tangannya. “Iya kan, Jemi?” “Iya, Ma.” Jemima menjawab dengan ragu-ragu. “Tuh kan, Jemi saja setuju Mas Semeru. Pokoknya tenang saja, saya pastikan makanannya bersih dan enak pokoknya.” “Terserah Tante saja kalau begitu.” Aku tidak ingin berargumen lagi. “Oh iya, Ma, Kak Toni sudah pulang belum ya? Jemi perlu motornya untuk berangkat kerja nanti.” Tante Nike nampak terkejut dan gugup mendengar pertanyaan Jemima. Namun tak berlangsung lama, karena wanita itu berhasil menguasai dirinya. “Itu, kakakmu sudah pulang, tapi motormu katanya dipinjam temannya. Nanti sih katanya mau diantar siang,” jawab Tante Nike yang kurasa sedang berbohong. “Ya sudah, semoga siang nanti benar motornya dikembalikan.” “Saya akan belikan kamu motor baru,” kataku yang seketika membuat Jemima dan Tante Nike terkejut menatapku. “Waah, Anda memang Pangeran Mas Semeru. Anda benar-benar baik sekali. Beruntung sekali Jemima bisa menjadi pasangan Anda.” Tante Nike—si Wanita Mata Duitan ini tersenyum begitu lebar. “Pak Eru, tidak usah.” Namun Jemima justru menolaknya. “Saya masih bisa naik transportasi umum kok.” “Jemi, kamu tidak boleh menolak kebaikan orang, pamali!” tegur Tante Nike. “Ma, harga motor kan puluhan juta. Itu bukan uang sedikit, Ma. Nanti jadi merepotkan Pak Semeru.” “Jangan dengarkan apa kata Jemi, Mas Semeru. Dia memang aneh. Udah tau orang nggak punya tapi gengsinya gede. Kalau ada orang yang mau nolong suka nolak.” Tante Nike bicara dengan ekspresi wajahnya mirip tukang gossip yang ada di layar televisi. “Nanti saya kirim motornya ke rumah secepatnya. Kalau memang kamu mau izin kerja juga silakan.” “Tuh, Jemi, dengar baik-baik.” Tante Nike masih tersenyum begitu lebar. “Terima kasih ya Mas Semeru, Anda benar-benar pria sejati,” pujinya lagi. “Saya pamit kalau begitu,” kataku berdiri setelah mengahbiskan seluruh isi piringku. Lantas aku menunduk menatap Jemima, “Istirahat lah,” kataku, yang diangguki oleh Jemima. “Hati-hati ya Mas Semeru,” kata Tante Nike. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada ibu tiri Jemima. Lantas aku meraih dompet dan mengambil 5 lembaran Soekarno dan kuberikan padanya. “Tante, maaf saya hanya punya uang cash segini. Diterima ya, untuk beli lauk nanti malam.” Tante Nike menerimanya dengan sumringah. “Terima kasih Mas Semeru. Lain kali kalau mau mampir kemari, mampir saja ya. Jangan sungkan.” “Iya, Tan.” “Jemi, kok kamu duduk saja. Ayo, antar Mas Semeru ke depan,” perintah Tante Nike. Jemima mengangguk dan mengekoriku menuju halaman rumah. “Bapak harusnya jangan terlalu baik seperti ini, nanti Mama jadi berpikir yang tidak-tidak tentang kita, Pak.” Jemima mulai mengomel. “Tapi kan memang kita akan ….” “Stop! Jangan katakan itu, rahasia.” Jemima memperingatkan dengan mata melotot yang terlihat lucu. “Sorry.” “Bapak juga kenapa harus belikan saya motor?” Aku tersenyum penuh arti pada gadis di depanku ini. Dan kudekatkan bibirku pada telinganya. “Semuanya tidak gratis, Clau. Dan tunggu saatnya, sampai saya buat kamu tidak bisa berjalan karena kelelahan melayani saya.” Bug! Jemima memukul lenganku dengan cukup kencang. “Secepatnya saya akan atur pernikahan kita, Clau,” bisikku kemudian, sebelum mencuri ciuman dari bibir Jemima, yang membuat gadis itu kembali mencak-mencak. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN