11. Sebuah Hadiah

1232 Kata
Happy reading, gaes! “Ayahmu sudah saya suapin dan saya gantiin popok,” beritahu Nike pada Jemima yang hendak masuk ke kamar ayahnya. “Udah sono, kamu istirahat! Kan kata Semeru juga kamu disuruh istirahat.” Jemima menatap heran pada sang ibu tiri. Dia sebenarnya tahu mengapa Mama Nikennya begitu baik hari ini. Tentu lah karena kehadiran Semeru. Tapi, ini terlalu aneh karena Semeru bahkan baru pertama kalinya ke sini dan juga pria itu tidak memperkenalkan diri sebagai kekasihnya. Ibu tirinya terlalu berekspektasi tinggi pada pria itu. “Kenapa kamu bengong?” tanya Nike. “Enggak, Ma. Anu, makasih sudah ngurusin Ayah.” Nike tersenyum licik. “Eiit, tapi itu semua nggak gratis ya, Jemima. Kamu harus bisa mempertahankan Semeru jadi pacar atau apa pun itu hubungan kalian.” “Ma, tapi Jemi sama Pak Eru ….” Jemima ragu ingin menegaskan jika dia memang tidak memiliki hubungan apa pun dengan Semeru. Dia merasa malu. Mau bilang tidak ada hubungan tapi tadi mereka berada di kamar berdua. Mau bilang ada hubungan spesial, juga bukan. “Kenapa? Kamu mau ngeles apa?” tanya Nike dengan senyum penuh arti. “Jangan dikira saya tadi nggak dengar kalian melakukan apa.” Jemima menunduk malu. “Sudah, nggak apa-apa. Yang penting nanti kamu dapat motor dari Semeru.” Nike menepuk bahu Jemima dan tersenyum lebar. “Ma, bukan seperti itu.” “Halah, sudah, kamu jangan malu-malu. Saya dukung kamu kok. Pokoknya, selagi kamu pergi sama Semeru atau ada perlu sama dia, Mama dukung kamu. Kamu nggak pulang pun nggak masalah, yang penting sama Semeru dan jangan lupa minta uang jajan.” Jemima mengembuskan napas dan kehabisan kata-kata untuk menimpali kalimat sang mama. “Ya sudah, Jemi ke kamar ya, Ma,” pamit Jemima. “Eh, Jemi.” Jemima mengurungkan niatnya untuk memasuki kama, begitu Toni memanggilnya. “Kenapa, Kak?” tanya Jemima. “Ganteng juga cowo lo, Jem, tajir pula. Katanya yang punya resto Steak House, ya?” “Iya, Kak.” Jemima mengangguk. “Jangan gangguin adikmu, Ton. Dan jangan bikin gara-gara ya kamu! Jemima jangan sampai tergores.” “Ck, Mama, timbang dikasih uang 500 rebu aja, udah berani ngomelin aku,” protes Toni tak terima. “Bukan cuma uang, Ton. Nanti siang Semeru juga akan kirim motor buat Jemima.” “Wah keren.” Toni menatap takjub pada Jemima. “Nggak sia-sia lo jual diri ke sana kemari akhirnya dapet kelas kakap juga.” “Sudah lah, Ton, kamu jangan gangguin adikmu, biar dia istirahat,” kata Nike. “Iya, Ma, iya. Tapi bagi duit dulu, gocap aja.” Toni menengadahkan tangan kanannya pada sang mama. “Kamu ini, bisanya cuma minta duit. Kerja makanya!” omel Nike pada sang putera tapi tetap memberikan uang yang dipinta oleh puteranya itu. “Kan udah ada Jemi yang kerja, Ma. Nanti kalau aku ikutan kerja, kita jadi kaya raya. Hahaha.” “Terserah apa katamu lah, Ton.” Nike mengibaskan tangan, dia sudah sangat lelah mengurus anak kandungnya yang sudah bertahun-tahun menjadi pengangguran. “Udah lah, aku mau cabut. Jangan ditungguin pulangnya, kayanya aku nggak pulang.” Toni melenggang menuju pintu depan sembari bersiul riang. “Ma, kalau gitu Jemi ke kamar ya, Ma.” “Iya, sana.” Nike menyahut datar. Jemima masih memiliki waktu beberapa jam sebelum pergi bekerja. Dia harus tidur untuk memulihkan staminanya dan berencana akan menemui sang ayah setelah bangun nanti. Entah pukul berapa, Jemima dibangunkan oleh Mama Nike yang memberitahunya jika motor kiriman dari Semeru telah tiba. Dengan menahan kantuk, Jemima berjalan ke pekarangan rumah. Motor matic keluaran terbaru sudah terparkir di teras rumah. Lalu sopir pengirim memintanya untuk menandatangi berkas-berkas. “Sudah bisa langsung dipakai ya, Mbak,” beritahu sopir berrambut gondrong itu. “Kan belum ada surat-suratnya, Pak,” kata Jemima bingung. “Aman, Mbak. Semuanya sudah diurus sama kantor dan Pak Semeru.” “Ya sudah, terima kasih, Pak,” ucap Jemima tersenyum sopan pada sopir tersebut. “Motornya bagus, Jemi,” komentar Nike sambil mengusap-usap body motor yang masih mulus itu. “Iya, Ma.” “Ingat ya, Jemi, apa pun hubunganmu sekarang sama Semeru, kamu harus baik-baikin dia supaya uangnya terus ngalir ke kita.” Nike mengingatkan. “Iya, Ma, nanti Jemi usahakan.” “Ya sudah, sana kamu siap-siap kerja. Kalau mau makan tuh lauk tadi pagi masih ada. Makan aja ayamnya, paling Toni juga udah nggak makan lagi.” “Makasih ya, Ma.” Jemima tersenyum haru, meskipun kebaikan sang mama ada maunya. Tak mengapa, asal hari ini dia tak mendengar omelan dari wanita itu. Jemima sudah memakai seragam kerjanya, lantas menemui sang ayah lebih dulu sebelum berangkat. Dia ingin berpamitan dan juga kangen karena sejak pagi belum bertemu. “Ayah, Jemi datang.” Jemi berujar, duduk di samping ranjang Hamzah. “Maaf, tadi Jemi nggak sempat ke sini ya, Yah. Jemi lelah sekali tadi,” dustanya, karena tidak mungkin dia akan memberitahukan hal yang seungguhnya. Sementara Hamzah hanya menatap sang putri dengan penuh tanda tanya. Pria itu tidak tuli, sehingga bisa mendengar segala suara dan aktivitas di luar kamar tersebut, meski samar-samar. “Jemi, berangkat ya, Yah. Ayah baik-baik di rumah. Makan yang banyak biar Mama nggak marah.” Jemima mengingatkan. Jemima makan lebih dulu sebelum berangkat bekerja. Dia menikmati masakan Mama Nike itu dengan perasaan haru. Dia makan dengan lahap lantas mencuci piring dan gelas sesudahnya. Sebelum berangkat ke restoran, Jemima menghubungi Semeru lebih dulu untuk memastikan jika memang benar kendaraan roda dua pemberian pria itu memang sudah bisa digunakan sekarang juga. “Kenapa, Clau?” sahut Semeru begitu menjawab teleponnya. “Ini, Pak, saya mau ngucapin terima kasih untuk motornya. Dan soal surat-suratnya bagaimana, Pak?” tanya Jemima. “Kamu jangan pikirkan soal itu. Aman pokoknya. Kalau sampai ada polisi yang menilangmu, kamu tinggal telepon saya. Paham?” “Paham, Pak.” “Saya tunggu di ruangan,” perintah Semeru, sebelum memutus sambungan telepon. Jemima pun akhirnya berangkat dengan motor barunya itu. Sesampai di Steak House, dia segera bekerja. Dia tak ingin segera menemui Semeru di ruangan pria itu, karena tidak ingin menimbulkan kecurigaan dari karyawan lainnya. “Jemi, itu motor baru lo?” tanya salah satu pelayan perempuan yang lebih senior, saat Jemi sedang mencuci piring di belakang. Pelayan itu memang sejak hari pertama Jemima bekerja di sana, tidak menyukai Jemima, entah karena apa. “Iya, Kak.” Jemima menjawab malu-malu. “Keren amat lo bisa beli motor baru. Jual diri di mana lo?” Senior itu bertanya sengit. “Kak, bukan seperti itu.” Jemima hampir menangis karena motor tersebut dikira hasil dari jual diri. Dia memang sempat ingin melakukannya, tapi toh akhirnya batal. Dan soal kejadian di kamarnya, dia memiliki alasan khusus yang membuatnya tidak bisa berkutik. “Halah nggak usah ngeles lo. Dikira gue nggak tau, kalau malem lo kerja apaan.” “Kak, itu motor kredit, kakak jangan asal nuduh.” Jemima berusaha membela diri, tak terima dituduh yang tidak-tidak oleh seniornya. “Cuih, dikira gue nggak tau apa lo kerja di klub, Jemima Waheed. Iya sih, cuma jadi pelayan juga di sana. Tapi masa iya, cuma jadi pelayan aja nggak ada sampingan lain. Mustahil lah.” Jemima yang kesal karena dituduh yang tidak-tidak akhirnya menyiramkan air sabun pada seniornya itu. Dia sudah tidak perduli jika setelah ini dia dipecat, yang terpenting dia sudah memberi pelajaran pada seniornya itu. Di sisi lain, hati kecil Jemima meyakinkan dirinya, jika Semeru pasti akan membelanya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN