4. Pulang

1406 Kata
POV Semeru “Saya nggak gila, Pak, tapi saya realistis.” Tidak ada keraguan ketika Jemima menjawab. Gadis ini terlihat yakin dengan keputusan impulsifnya yang mungkin akan disesalinya suatu hari nanti. “What the hell, Clau. Kamu pikir pernikahan cuma main-main doang? Kamu pikir pernikahan cuma sebatas urusan ranjang?” Aku menggeleng tegas. “Nggak. Saya nggak akan menikahi kamu, apalagi hanya karena urusan uang yang tak sebarapa itu.” “Pak, jangan sombong. Bagi Bapak uang segitu memang nggak seberapa. Tapi bagi saya, itu uang yang banyak. Saya bayar UKT 5 juta per semester aja harus jungkir balik dulu, Pak, sampai harus kerja siang malam. Sedangkan Bapak, seenaknya bilang uang 20 juta itu nggak seberapa.” Lah, kenapa jadi cewek ini yang ngomel-ngomel padaku soal uang 20 juta itu? Harusnya aku yang marah, karena aku yang sudah merugi banyak dalam situasi ini. “Nah, itu kamu tahu level kita berbeda jauh, Clau. Soal uang segitu saja kita sudah beda level begitu jauh. Kok bisa-bisanya kamu maksa minta saya nikahin kamu. Yang ada nanti saya tambah rugi,” cemoohku. Jemima terlihat tersinggung dengan ucapanku. “Pak, singkirkan dulu lah, soal level kita. Saya tahu, perempuan-perempuan yang di sekeliling Bapak itu cantik-cantik. Tapi saya juga nggak kalah cantik kok. Saya cuma masih ori saja semuanya. Hidung dan daguku yang indah ini buatan Tuhan, bukan buatan dokter lho.” Aku tertawa kencang mendengar kalimat Jemima yang penuh percaya diri. “Saya suka kepercayaan diri kamu, Jemima Waheed. Tapi saya tidak tertarik dengan tawaran kamu. Pulang lah dan lupakan uang itu. Saya anggap lunas sekarang,” usirku akhirnya. “Pak, tapi Bapak sendiri yang bilang kalau hutang tetap lah hutang. Saya nggak mau seumur hidup saya nantinya dihantui hutang itu, Pak.” “Kamu boleh mencicilnya kalau begitu.” “Duh, Pak. Untuk makan dan kuliah saja saya sudah sesak napas, Pak. Gimana caranya saya bisa bayar hutang ke Bapak sebanyak itu.” Masih ngeyel saja si Jemima ini. “Sudah ya, Jemi, saya mau siap-siap ke kantor. Kamu silakan pulang,” usirku lagi pada gadis bebal ini. “Ya sudah saya pulang. Tapi Bapak coba pikirkan lagi tawaran saya tadi ya, Pak. Saya benar-benar serius,” kata Jemima dengan ekspresi sungguh-sungguh yang membuatku semakin syok dengan kenekatannya. Benar-benar gila si Claudia ini! … Malam harinya kuputuskan untuk pulang ke rumah, setelah dua minggu lamanya tidak menginjakkan kaki di kediaman orang tuaku. Orang tuaku masih lengkap, meski sudah tidak utuh lagi. Papa kandungku—Papa Wisnu tinggal seorang diri, setelah berpisah dari Ibu sambungku—Handini. Sementara Mama Putik tinggal bersama Om Sena juga Alia. Sejak sekitar umur enam tahun, aku tinggal berpindah-pindah. Kadang tinggal bersama Mama Putik atau Papa Wisnu. Namun, semakin aku beranjak dewasa, tepatnya ketika aku sudah masuk ke jenjang kuliah, kuputuskan untuk tinggal seorang diri di apartemen hingga sekarang aku sudah bekerja. Seorang sekuriti membukakan pintu gerbang untukku begitu mobilku mendekat ke gerbang utama kediaman Om Sena. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lantas memarkirkan kendaraanku di belakang kendaraan milik adik tiriku—Inggita Alia Senabhumika. Baru saja kuinjakkan kaki di teras, pintu utama terbuka dan muncullah Mama Putik yang segera menyambutku. “Anak Mama.” Mama menghambur memelukku. “Mama kangen sekali sama kamu, Nak,” katanya sembari menangkup kedua pipiku. “Saya juga kangen, Ma,” sahutku menatap wanita di depanku dengan perasaan yang entah. Aku memang menyayangi wanita ini, akan tetapi ada sebagian sisi hatiku yang lain yang juga membencinya. Kejadiannya memang sudah dua puluh tahun silam, namun semuanya masih terekam jelas di ingatanku. Dan karena kejadian itu lah, aku tak lagi memiliki keluarga yang utuh. Juga menimbulkan trauma yang membuatku tak mempercayai cinta dan pernikahan. Kami masuk ke dalam rumah dan menuju ruang makan. Di sana sudah menunggu Alia dan Om Sena yang bersiap untuk makan malam bersama. “Selamat malam,” sapaku pada mereka berdua. Aku lantas menyalami ayah dan adik sambungku. Mama lantas memintaku untuk duduk di sampingnya. Mama juga dengan semangat mengambilkanku makanan dan minuman. Dan berkali-kali memintaku untuk menambah isi piringku. “Eru menginap di sini malam ini?” tanya Om sena di sela aktivitas makan kami. Aku mengangguk tanpa ragu. “Iya, Om. Eru akan menginap di sini.” “Nanti tidur sama Mama ya, Nak. Mama kangen.” Mama menyentuh bahuku dan tersenyum penuh harap. “Aku juga mau ikut. Nanti kita bobo bertiga ya, Ma, Kak Eru?” Alia bertanya dengan semangat. “Iya.” Aku hanya menjawab singkat, namun sudah berhasil membuat kedua wanita ini tersenyum lebar. Makan malam telah usai. Mama dan Alia bersama-sama merapikan meja makan, dibantu seorang ART. Sementara aku dan Om Sena sudah berpindah tempat di ruang tengah. Berbeda dengan Semeru kecil yang banyak bertanya dan cenderung cerewet. Semeru dewasa jauh lebih pendiam dan hanya akan berbicara seperlunya. Terbukti sekarang, sudah beberapa menit lalu berada di satu ruangan yang sama dengan Om Sena, pria itu lah yang lebih banyak membuka obrolan. Sementara aku hanya menjawab seperlunya. Pembahasan kami seputar bisnis milik Om Sena yang kukelola. Om Sena memang sudah menyerahkan kepemilikan Steak House dan bisnis propertinya padaku. Tapi tentu saja, Om Sena masih mendapatkan keuntungan sekian persen dari seluruh laba bisnisnya. Sementara itu, Om Sena untuk mengisi waktunya membuka kedai kopi di dekat rumah bersama Mama dan beberapa karyawan. Hubunganku dengan Om Sena sebenarnya juga tidak ada masalah. Meski hanya ayah sambung, Om Sena sangat menyayangi dan bertanggung jawab padaku selama ini. Beliau bahkan rela mewariskan bisnis keluarganya untukku selain pada Alia—anak kandungnya. Akan tetapi, aku tetap saja tidak bisa menerima beliau sepenuhnya, karena kesalahannya dulu di masa lalu pada keluargaku. Om Sena sudah merayu Mama, hingga membuat Mama jatuh cinta. Om Sena juga yang meninggalkan Mama saat Mama tengah mengandung Alia dan setelah berpisah dengan Papa Wisnu. Hingga Mama harus bekerja sembari mengandung Alia dan hidup dalam keterbatasan. Samar masih kuingat dulu, Om Sena dikabarkan meninggal karena kecelakaan mobil setelah hubungan mereka akhirnya membaik, setelah banyaknya peristiwa yang dilalui. Namun setelah beberapa tahun, Ayah dari Om Sena meminta polisi untuk menginvestigasi ulang kecelakaan tersebut. Dan hasilnya, terungkap lah jika mayat di mobil yang terlibat kecelakaan pada waktu itu bukanlah Om Sena. Lantas pencarian Om Sena pun dimulai. Foto-foto pria itu disebarluaskan baik di televisi dan sosial media. Waktu itu menghebohkan sekali beritanya. Hingga akhirnya pada bulan ke-4 pencarian, Om Sena ditemukan setelah ada seorang pria yang memberitahu keberadaan Om Sena. Singkatnya, akhirnya Om Sena kembali ke rumah dalam keadaan lupa ingatan dan dua ruas jarinya yang hilang. Om Sena mendapat perawatan medis secara intensif hingga beliau akhirnya mampu mengingat kembali siapa dirinya dan keluarganya. Samar kuingat, Om Sena dan Mama akhirnya menikah secara sederhana. Dan ya, hingga sekarang, Mama telihat bahagia dan baik-baik saja menjalani hidupnya. Bukan berarti aku menginginkan Mamaku sendiri hidup sengsara. Tetapi entah lah, saat melihat Papa Wisnu yang hidup dalam kesendirian dan kekecewaan, aku merasa hidup ini tak adil. “Nak Semeru.” Om Sena memanggilku pelan dan menyadarkanku dari lamunan. “Ya, Om?” “Maaf jika saya lancang mengatakan ini. Tapi bagaimana pun, kamu adalah puteraku sekarang. Dan saya hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak.” Om Sena memberi jeda pada kalimatnya, menoleh sebentar ke arah dapur, lantas kembali menatapku. “Tolong, sudahi petualanganmu. Sudah cukup semuanya. Jangan sampai kamu menyesal seperti saya nantinya. Dan jangan sampai Mamamu juga mengetahui semuanya, karena dia pasti akan sedih.” Rahangku mengeras mendengar permintaan pria yang sudah menghancurkan keluargaku ini. Berani-beraninya dia berkata demikian, sedangkan kelakuan dia saja dulu juga tak beda jauh dariku. “Jangan campuri urusan saya!” kataku dengan sedikit menaikkan volume suara. “Maaf, Anda tidak lebih baik dari saya. Jadi apapun itu, jangan pernah campuri urusan saya lagi.” Aku berdiri dan melangkah menuju kamarku, meninggalkan Om Sena yang masih berusaha untuk menasihatiku. Aku, aku sama sekali tidak peduli dengan nasihat yang diberikan pria itu. Aku tidak pernah benar-benar menganggap dia sebagai ayahku, meski dia sudah memberikan hampir seluruh harta miliknya untukku. “Kak Eru.” Suara Alia terdengar saat aku sudah berbaring di tempat tidur. Aku mengabaikannya, karena saat ini aku tidak ingin diganggu oleh siapapun. “Semeru, ini Mama, Nak. Katanya kita mau tidur bersama, ayo buka dulu kuncinya, Nak.” Dan itu adalah suara Mama Putik. Aku pun mengabaikan panggilan itu. Kusumpal telingaku dengan Airpods—mendengarkan lagu, agar tak mendengar suara apapun lagi. Sangat berharap aku bisa secepatnya tidur dan malam secepatnya berganti pagi, agar aku bisa segera meninggalkan rumah ini. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN