5. Jemima Waheed

1273 Kata
Happy reading! Jemima Waheed namanya. Gadis berusia 23 tahun yang masih duduk dibangku kuliah—menuntut ilmu di fakultas Bisnis Manajemen. Gadis blasteran Timur Tengah itu hidup dalam kepahitan sejak ayahnya—Hamzah Abdul Waheed menikahi seorang janda anak satu bernama Nike. Ayahnya menikahi Ibu Nike saat Jemima kelas 1 SMA. Sementara Ibunda Jemima meninggal saat Jemima duduk di bangku SMP. Hari-hari Jemima berlangsung menyesakkan begitu sang ayah menikah dengan janda anak satu itu. Di depan ayahnya, Nike akan bersikap baik dan bertutur kata manis. Namun di belakang ayahnya, Nike akan berubah menjadi ibu tiri yang kejam. Nike tak segan memukul dan memaki Jemima. Bertahun-tahun, Jemima memilih bungkam karena tidak ingin membuat ayahnya sedih. Dia hanya memiliki ayahnya di dunia ini dan dia tidak ingin menghancurkan kebahagiaan sang ayah dengan ibu Nike. Hingga puncaknya, ketika ayahnya sakit stroke sejak tiga tahun lalu dan hanya bisa terbaring di tempat tidur, Nike menampakkan wujud aslinya. Nike tak segan membentak dan memukul Jemima, di hadapan Hamzah yang saat ini tak berdaya. Jemima mengembuskan napas lelah. Gadis itu baru saja keluar menyelesaikan salah satu mata kuliah dan harus bersiap menuju Steak House. Menggunakan sepeda motor bututnya, Jemima melintas di jalanan yang terik. Dia harus bekerja, agar bisa mencukupi kebutuhan orang rumah dan untuk membayar kuliahnya. Tiba di Steak House, Jemima segera berganti seragam dan siap bekerja. Setelah serah terima dengan lawan shift-nya, Jemima menuju meja yang dipenuhi piring dan gelas kotor. Dengan cekatan, Jemima menumpuk gelas dan piring pada trolly dan membersihkan meja tersebut, lalu membawanya ke area dapur. Jemima mencuci peralatan makan kotor tersebut bersama salah satu rekannya sembari sesekali berbincang. Setelah piring dan gelas selesai dibersihkan, dia kembali ke area depan bersiap untuk mengerjakan pekerjaan lainnya. Jam istirahat, Jemima menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas dari dosennya. Sebenarnya dia ingin tidur sebentar saja, namun apa boleh buat, dia tidak memiliki waktu untuk bersantai-santai. Hingga jam kerjanya usai, entah sudah berapa kali Jemima meregangkan punggungnya yang terasa begitu lelah. Jika boleh meminta, Jemima hanya ingin ayahnya masih sehat agar bisa menjadi tempatnya pulang. Tak apa ayahnya tidak bekerja lagi asal masih sehat. Bukan seperti sekarang yang hanya terbaring lemah di tempat tidur. Tidak ada tempat mengadu bagi gadis itu. Ayahnya memang masih bisa mendengarkan dan merespons ucapannya meski hanya dengan sebuah kedipan mata. Hal itu membuat Jemima menangis setiap menemui ayahnya. Ayahnya yang dulu gagah dan selalu memanjakannya, kini tak bisa berbuat apa-apa, bahkan ketika Jemima dipukuli oleh ibu tirinya. Pukul 10 malam, Jemima keluar dari Steak House. Inginnya dia segera pulang untuk beristirahat, tapi sayangnya itu tak bisa dilakukannya sekarang. Jemima harus kembali bekerja di sebuah klub malam agar bisa memiliki uang lebih. Jemima tiba di klub 30 menit kemudian. Dia cukup mengenal manajer klub tersebut, oleh karena itu jam kerjanya lebih fleksibel dari pelayan lainnya. Namun meski begitu, hal tersebut tidak membuat Jemima jumawa dan malas-masalan. Begitu masuk ke ruang kerja, Jemima segera melayani para tamu, mengantar pesanan tamu juga merapikan meja yang ditinggal para tamunya. “Jem, minum dulu.” Panggil salah satu bartender sambil mengacungkan segelas minuman berwarna oranye. Jemima yang mendengar panggilan tersebut menoleh dan tersenyum. Dia masih harus mengantarkan gelas dan piring kosong ke area dapur. Juga menyiapkan sebuah ruangan VIP atas perintah manajernya. Membawa perlengkapa kebersihan, Jemima mulai membersihkan ruangan VIP yang terdiri dari dua ruangan yakni kamar tidur dengan tempat tidur king size dan satu ruangan lagi untuk berkaraoke. Ruangan tersebut mengingatkan Jemima pada beberapa ruangan di tempat karaoke yang dulu menjadi tempatnya bekerja. “Clau.” Jemima mengenal suara itu. Jenis suara berat dan sedikit serak yang mampu menghinoptis siapa pun. Perlahan, Jemima membalikkan tubuh dan tersenyum pada sosok di hadapannya sekarang. “Pak Eru,” sapa Jemima. “Saya yang menyewa ruangan ini,” ucap Semeru yang membuat manik Jemima membeliak sesaat. Sebenarnya Jemima tidak seharusnya terkejut, mengingat atasannya itu memang dekat dengan dunia malam. Namun dia tetap saja terkejut, karena tawaran tentang pernikahan pada laki-laki itu ditolak, sementara bosnya itu lebih memilih untuk melanjutkan petualangannya dengan bergonta-ganti pasangan. “Sebentar ya, Pak, saya cek ruangan tidurnya dulu,” kata Jemima mengangguk sopan, kemudian berlalu menuju kamar tidur. Pertama-tama, Jemima memastikan jika tempat tidur, lemari dan ruangan tersebut dalam keadaan bersih. Sebenarnya, setiap kali tamu check out dari VIP room, OB akan segera membersihkan ruangan tersebut. Namun biasanya manajer klub akan meminta salah satu karyawannya untuk mengecek ulang kebersihan ruangan tersebut agar tidak mengecewakan pengunjung nantinya. Jemima tak perlu melakukan apa pun karena kamar sudah dalam keadaan bersih. Gadis itu lantas menuju kamar mandi untuk memastikan perlengkapan mandi sudah lengkap dan memastikan saluran kran air panas berfungsi dengan baik. Sayanganya, saat Jemima mencoba menyalakan kran tersebut, dia mengalami kesulitan. Jemima terpaksa menariknya cukup kencang untuk memastikannya, hingga mengakibatkan handle kran tersebut terlepas dan membuat air menyembur begitu kencang mengenai tubuhnya. “Aaaaa.” Jemima refleks berteriak, berusaha menghentikan semburan air dengan benda apa pun yang bisa dijangkaunya. …. POV Semeru Aku mendengar teriakan Jemima dari arah kamar tidur. Entah mengapa aku merasa khawatir mendengar teriakannya, hingga kakiku tergerak memasuki kamar untuk mencari sosok gadis itu. Tak kutemukan Jemima di kamar tidur. Dan kulangkahkan kaki segera memasuki kamar mandi karena mendengar suaranya dari dalam sana. Benar saja, Jemima berada di kamar mandi dengan pakaian yang basah kuyup dan bsedang berusaha menghentikan air yang menyembur dari kran yang bocor. “Pak, tolongin saya.” Jemima memelas dengan wajah yang sudah hampir menangis. Segera kulepas jasku untuk menggantikan syal yang digunakan Jemima untuk menahan semburan air tersebut. Dalam beberapa detik ketika Jemima melepaskan tangannya, air masih menyembur dan kini mengenai tubuhku. Segera kuikatkan jas milikku untuk menahan laju air. Semburan air memang tidak seketika berhenti namun ikatan jasku di sana cukup membantu agar air tidak sederas tadi dan mungkin akan membuat ruangan ini banjir. “Pak, terima kasih banyak.” Aku menoleh pada sumber suara dan menyesalinya kemudian. Jemima memang memakai pakaian sopan. Namun karena seluruh tubuhnya basah, hal itu membuat lekuk tubuhnya tercetak jelas. D4danya lumaran besar dan terlihat kencang. Tidak, Ru, tidak. Kamu sudah berjanji tidak akan merusak gadis ini. Aku berdeham untuk menetralkan api gairah yang sedikit terpantik melihat penampilan Jemima saat ini. Mungkin jika Jemima bukan perawan aku akan biasa saja. Tapi menurut pengakuannya, dia benar-benar masih murni. Oh, damn, Semeru. Lupakan, lupakan! “Pak, nanti kalau manajer saya bertanya soal hal ini, apa Bapak bisa bantu menjelaskannya?” tanya Jemima dengan cemas. Pasti dia takut diomeli. “Iya, saya akan bantu jelaskan. Ayo kita keluar dari sini,” ajakku kemudian. Jemima mengangguk dan sudah berbalik untuk meninggalkan ruangan lembab ini. Sayangnya, ketika baru selangkah Jemima mengayunkan kakinya, tubuhnya oleng karena terpeleset. Refleks aku menangkap tubuh rampingnya agar dia tidak terjerembab. Dan aku menyesalinya kemudian, karena tak sengaja tanganku menyentuh salah satu pay-uda-ranya. “Hati, hati, Clau,” bisikku tepat di depan wajahnya. Kurengkuh tubuh Jemima semakin erat dan perlahan membimbingnya mendekati tembok. Posisi kami begitu dekat dan aku bisa mencium harum tubuhnya yang cukup memabukkanku. “Pak, Eru, kita harus keluar dari sini,” bisik Jemima menengadahkan wajahnya menatapku. “Sebentar.” Kuremas pinggang ramping Jemima sembari menghidu harum tubuh gadis ini yang kini mengusik ketenanganku. Menggunakan punggung tangan kiriku, kubelai pipi Jemima yang putih bersih. Riasan tipis yang digunakan Jemima sudah terhapus oleh semburan air kran tadi, menampilkan wajah natural Jemima yang cukup menarik. “Pak, jangan.” Jemima memohon dengan tatapan sayu. “Layani aku sekarang, Clau, dan hutangmu akan lunas.” Aku memohon dengan gairah yang sudah membara. Sementara itu, tangannya sudah bergerak turun membelai pahan ramping Jemima dari luar rok gadis itu. “Pak Eru, jangan.” Lagi, Jemima memohon seraya berusaha menghentikan gerakan tanganku di bawah sana. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN