3. Sebuah Lamaran

660 Kata
POV Semeru Pagi harinya, aku memilih bangun siang. Pekerjaanku tidak terlalu padat hari ini jadi aku memiliki waktu untuk bersantai pada pagi hari. Setelah berlari di atas treadmill selama hampir satu jam, aku menyeduh kopi dan menyantap selembar roti gandum untuk mengganjal perut. Bel berbunyi ketika aku tengah berbincang dengan Papa Wisnu melalui sambungan video. Papa terlihat sehat, bugar dan bahagia meskipun hidup seorang diri. Kenapa aku tidak tinggal bersama Papa untuk menemaninya? Jawabannya hanya satu, aku ingin hidup bebas. “Clau, kenapa kamu bisa ada di sini?” tanyaku terkejut melihat sosok Jemima berada di depan apartemenku. “Maaf, Pak, kalau kehadiran saya menganggu,” ujar Jemima ragu-ragu. “Masuk dulu, kamu bisa bicara di dalam,” pintaku, membuka pintu lebih lebar, memberi ruang pada Jemima untuk melangkah ke dalam. Jemima duduk dengan canggung di sofa dan menerima minuman kaleng yang kuberikan dengan ragu-ragu. “Katakan! Apa keperluanmu datang kemari?” tanyaku menatapnya intens. Jemima pagi ini mengenakan setelan kemeja dan celana jeans lusuh, membentuk siluet tubuhnya yang cukup menarik. “Saya ingin mengajukan kesepakatan untuk Bapak.” Kunaikkan sebelah alisku mendengar ucapannya. Rupanya gadis ini memiliki keberanian yang luar biasa. Seandainya aku benar-benar b******n, mungkin aku akan memaksanya untuk melayaniku sekarang juga. “Katakan! Kesepakatan bagaimana?” “Saya ingin bekerja di sini jika Bapak mengizinkan.” “Bekerja di sini? Sebagai apa?” “ART. Saya bisa bantu bersih-bersih apartemen Bapak ini. Saya juga bisa memasak untuk Bapak,” jelasnya lagi dengan semangat dan percaya diri, seakan aku akan menerima tawarannya. “Saya tidak butuh itu. Saya sudah memperkerjakan housekeeper untuk membersihkan apartemen ini. Mungkin kalau kamu punya penawaran yang lain saya bisa menerimanya dengan senang hati,” kataku tersenyum penuh arti padanya. “Penawaran lain apa ya, Pak, maksudnya?” Jemima bertanya bingung. “Kamu tidak paham maksud saya?” tanyaku padanya dengan senyuman kecil dari sudut bibirku. Apakah Jemima benar-benar sepolos ini? Jemima menggeleng lemah, seraya menatapku penuh tanda tanya. “Melayani saya di tempat tidur. Seks, Jemima. Seperti yang saya katakan semalam padamu,” jelasku seraya memakunya dengan tatapan tajam penuh minat. “Untuk hal itu, saya tidak bisa, Pak.” Lirih Jemima menjawab sembari menundukkan pandangan. Gadis itu sekarang terlihat putus asa. “Tapi kalau Bapak meminta saya untuk mencuci pakaian Bapak dengan tangan saya, saya bersedia, Pak. Saya sanggup.” “Soal pakaian dan makanan saya sudah ada yang mengurusnya. Saya tidak butuh itu dari kamu!” tegasku cepat. “Tapi, itu artinya, saya butuh waktu semakin lama untuk membayar hutang ke Bapak.” “Tidak masalah, karena saya juga tidak butuh uang itu. Tapi ya memang, hutang tetap lah hutang, bukan?” tanyaku berusaha memprovokasinya. Ya, siapa tahu, Jemima bisa berubah pikiran dan bisa melayaniku sekarang juga. Jemima nampak bimbang dan terdiam cukup lama. Gadis itu menautkan kedua jemarinya di atas pangkuan, nampak gelisah. Setelah dilihat dengan seksama, Jemima lumayan cantik juga. Wajah ketimurannya yang masih original membuatnya berbeda dengan banyaknya gadis yang selama ini berhubungan denganku. “Saya tidak bisa, Pak.” Jemima mendongakkan wajah, menatapku penuh permohonan. “Tidak masalah, saya tidak akan memaksa,” sahutku cepat dan berdiri dari duduk. “Kalau begitu, silakan kamu pulang. Saya harus bersiap-siap ke kantor,” usirku kemudian. Jemima berdiri dengan ragu-ragu. “Ya sudah kalau begitu, Pak. Maaf kalau kehadiran saya mengganggu Bapak. Saya pamit.” Aku mengangguk dan mengantarkannya menuju pintu. Kami berada di jarak cukup dekat, hingga aku mampu menghidu wangi parfumnya yang lembut yang membuatku sedikit terusik. Itu hanya parfum murahan, Semeru! “Hati-hati di jalan,” kataku, setelah Jemima berada di luar kamarku yang diangguki oleh gadis itu. “Pak,” panggil Jemima ketika aku hendak menutup pintu. “Kenapa?” tanyaku membuka kembali pintu lebih lebar. “Bagaimana kalau Bapak menikahi saya dulu?” “Maksud kamu?” “Iya, kita menikah, supaya saya tidak merasa berdosa ketika harus melayani Bapak,” jawab Jemima dengan tatapan penuh permohonan padaku. “Apa kamu gila, Claudia?” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN