8. Tidak Berdaya

1269 Kata
Happy reading, gaes! “Bapak, terima kasih sudah membantu dan mengantar saya pulang,” ucap Jemima, bersiap turun dari mobil Semeru. Semeru menganggukkan kepala lantas bicara, “Pikirkan kembali tawaran saya, Clau.” “Tidak, Pak. Saya benar-benar tidak bisa.” Semeru terkekeh mengejek. “Seandainya kamu bukan perawan, saya juga tidak akan memberi tawaran sebanyak itu.” “Kalau begitu, kenapa Bapak tidak menikahi saya saja? Saya pastikan saya benar-benar masih perawan, Pak.” “Mana buktinya?” Semeru tersenyum kecil. “Buktinya nanti di malam pertama kita.” “Kalau ternyata kamu sudah tidak perawan bagaimana?” “Bapak bisa langsung ceraikan saat itu juga.” Kali ini Semeru terkekeh cukup kencang dan membuat Jemima bingung. “Itu namanya kamu mempermainkan sebuah pernikahan, Clau. Tidak boleh mempermaikan sebuah ikatan suci.” Jemima sudah akan menimpali kalimat Semeru, namun diurungkan, saat dia melihat Mama Nike mendekat ke arah mobil Semeru. “Dia ibu tiri kamu?” tanya Semeru. “I—iya, Pak,” jawab Jemima takut-takut. Lalu kaca mobil di ketuk oleh Nike dari arah luar. “Jemima, turun kamu!” teriak Nike. “Pak, saya turun dulu ya. Terima kasih sekali lagi,” kata Jemima lantas bergegas turun karena tidak ingin membuat ibu sambungnya itu berubah menjadi singa. Jemima menyalami Nike, meski disambut dengan ogah-ogahan oleh wanita berumur 48 tahun itu. “Diantar siapa kamu?” tanya Nike dengan rasa penasaran yang tak bisa dibendung. “I—itu ….” “Selamat pagi, Tante,” sapa Semeru yang turun dari mobil. Pria itu kemudian menyalami Nike yang disambut oleh wanita itu dengan penuh suka cita. Jemima tak menyangka hal itu tentunya. Karena dia pikir, pria m***m itu akan segera meninggalkan pekarangan rumahnya. Lebih tak menyangka lagi, mama tirinya menyambut baik kehadiran Semeru. Pasti karena kendaraan dan penampilan Semeru yang menawan yang membuat ibu sambungnya itu seketika menjadi jinak. Senyum cerah kini menghiasi wajah Nike. “Selamat pagi, Mas. Terima kasih sudah mengantar Jemima pulang ya.” “Bu, panggil Pak saja, Pak Semeru ini yang punya restoran tempat Jemi kerja,” pinta Jemima dan menatap sungkan pada Semeru. “Tidak apa-apa, kalau Tante panggil Mas.” “Tuh, Jemi, Mas Semeru aja bolehin kok panggil Mas.” Suara Nike seperti ibu peri, begitu lembut. Entah kapan kali terakhir Jemima mendengar Nike bicara lembut seperti itu pada dirinya dan sang ayah. “Bapak kenapa ikut turun?” tanya Jemima dengan nada protes. “Kamu ini bagaimana, Jemi. Bos mau mampir kok malah ditanya begitu. Nggak sopan.” Nike pura-pura mengomel dengan suaranya yang masih lembut dan membuat Jemima mual mendengarnya. “Tapi saya nggak bisa mampir, Bu. Saya harus pulang, karena jam 8 nanti ada meeting.” “Masih lama itu, ayo masuk dulu saja. Nanti bisa istirahat dulu di kamar Jemima. Terus nanti saya buatkan nasi uduk yang enak sekali, kita sarapan bareng-bareng.” “Terima kasih, Bu. Tidak suah, nanti jadi merepotkan.” Semeru tersenyum penuh arti pada Jemima dan Jemima sangat mengerti arti senyum dari pria m***m itu. Semeru hanya sedang pura-pura menolak tawaran ibu tirinya. Dasar m***m! Batin Jemima kesal. Sama sekali tak disangka oleh Jemima maupun Semeru, Nike justru menggandeng lengan Semeru. “Ayo, mampir dulu, mumpung sudah di sini. Lagian kalau pulang kan tanggung, ini sudah jam 5. Sebentar lagi juga siang.” “Iya, ya sudah, Bu.” Semeru tersenyum penuh kemenangan. Pria itu tentu saja tak akan menolak kesempatan emas bisa memasuki kamar pribadi Jemima. “Nah, Mas Semeru, istirahat di kamar Jemima ya. Nanti saya buatkan sarapan yang enak,” kata Nike menunjukkan kamar Jemima yang diapit diantara dua kamar lainnya. “Terima kasih, Tante.” “Jemi, buatkan Mas Semeru minum ya,” perintah Nike pada sang putri. “Iya, Ma,” sahut Jemima tanpa bisa membantah. Dengan sangat amat terpaksa, Jemima membuatkan minuman untuk Semeru. Dia sungguh kesal dengan sang ibu karena memaksa Semeru mampir dan terlebih gila lagi wanita itu menyuruh Semeru untuk beristirahat di kamarnya. Jemima ingin sekali menolak ide gila ibu sambungnya itu, tapi dia tak punya kekuatan untuk itu. Bisa-bisa jika dirinya protes, Mama Nike kembali mengancam tidak akan mengurusi ayahnya selama dirinya di luar rumah. Jemima mengembuskan napas lebih dulu sebelum mengetuk pintu kamarnya sendiri. Untung saja, meskipun dia super sibuk, dia masih sempat merapikan kamarnya, jadi dia masih punya muka di hadapan bos sablengnya itu. Begitu masuk ke kamar, Jemima meletakkan gelas berisi teh hangat ke atas meja rias. Lalu dia menoleh pada Semeru yang sudah berbaring di ranjangnya yang sempit. Manik atasannya itu sudah terpejam dan Jemima yakin Semeru hanya sedang berpura-pura tidur. “Bapak jangan pura-pura tidur.” Jemima mulai mengomel. Benar saja, Semeru yang kini sudah melepas kemejanya, menyisakan kaus putih polos membuka matanya seketika. “Kenapa Jemi? Sini tidur sebelah saya.” Semeru tersenyum penuh arti dan menepuk sisi tempat tidur yang kosong. “Nggak, makasih! Saya bisa tidur di luar.” “Eh jangan keluar dulu.” Semeru sigap mencekal pergelangan tangan Jemima yang sudah akan meninggalkan kamar. “Masa saya tidur sendirian di sini.” “Lah, suruh siapa Bapak nggak nolak ajakan Mama?! Kan Bapak bisa cari alasan apa gitu supaya nggak mampir.” “Kalau saya maunya mampir memangnya kenapa?” Semeru kini berdiri begitu dekat dengan Jemima. “Nggak boleh lah, Pak. Mana ada seorang bos mampir ke rumah bawahannya Shubuh-Shubuh begini.” “Gimana sih, katanya ngajakin nikah, tapi saya mampir nggak boleh.” “Jangan kenceng-kenceng, Pak.” Jemima mengingatkan dengan suara bervolume rendah. “Aku nggak mau Mama dan Kak Toni tahu soal itu.” “Aku nggak akan kasih tahu asalkan kamu mau tidur di sebelah saya.” “Bapak bisanya ngancem-ngancem. Nyebelin!” sewot Jemima merasa kalah karena tak punya pilihan. “Semua harus menguntungkan untuk saya, Clau.” Semeru menghidu wangi sepanjang leher jenjang Jemima. “Jangan, Pak, saya belum mandi.” Jemima menjauhkan diri karena merasa tubuhnya bau badan. “Jangan mandi, kamu belum tidur dari semalam.” “Iya, biasanya juga saya nggak pernah mandi sepulang kerja.” “Ya sudah, ayo kita tidur.” “Tapi cuma tidur aja kan, Pak? Bapak nggak akan minta yang satu itu, kan?” tanya Jemima memastikan. “Nggak lah, gila aja kamu. Masa mau main di sini. Lebih nyaman juga di hotel bisa bebas teriak-teriak.” Jemima memukul lengan Semeru cukup kencang. “Tapi saya mau bersih-bersih dulu sekalian ganti baju ya, Pak.” “Dengan senang hati, Clau. Saya tunggu di kamar. Jangan lama-lama ya.” Jemima mengangguk dan bergegas mengambil pakaian ganti. Gadis itu kemudian keluar kamar, menuju kamar mandi. Jemima menggosok gigi, mencuci muka dan memastikan ketiaknya sudah bersih. Jemima lantas mengganti pakaiannya dengan setelan tidur yang biasa dia gunakan. Lagi-lagi dia tak punya pilihan dan tak memiliki kekuatan untuk menolak permintaan baik sang mama maupun Semeru. Dia selalu kalah dan itu membuatnya sedih. “Sini dulu.” Keluar dari kamar mandi, Mama Nike sudah menunggunya. Jemima diseret menuju sudut rumah. “Nih pakai ini, masa kamu pakai baju tidur buluk itu.” Nike memberikan sebuah kain mirip jaring untuk menangkap ikan pada Jemima. Jemima menerima dan menatap kain berwarna merah tersebut dengan bingung. “Ma, ini apa?” “Itu lingerie, masa kamu nggak tau sih?!” jawab Nike dengan sedikit sewot. “Pakai itu biar Mas Semeru senang. Masa kamu mau tidur dengan pakaian kaya gitu.” “Ma, tapi, Ma. Jemi sama Pak Semeru kan belum nikah, masa Jemi harus pakai pakaian kayak gini,” protes Jemima. “Pakai sekarang atau Mama nggak akan kasih makan Bapak kamu waktu kamu nggak ada di rumah!” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN