7. Perdebatan

1573 Kata
POV Semeru Karena kejadian semalam di kamar mandi VIP room, aku kembali menjadi bulan-bulanan ke-3 temanku. Bahkan hingga pagi ini, namaku selalu disebut di dalam grup yang hanya beranggotakan kami berempat. Dan entah mengapa pula, sejak semalam aku tak bisa melupakan harum tubuh Jemima. Aku yakin dia memakai parfum murahan, tapi entah mengapa wanginya mampu menghinoptisku. Ditambah pula aroma tubuhnya yang bercampur keringat, sungguh membuatku penasaran bagaimana jika tubuh po-losnya itu dipenuhi keringat saat berci-nta. Fuck! Aku tak seharusnya masih memikirkan Jemima. Dia hanya gadis miskin yang melelang kesuciannya dan kebetulan aku yang membelinya. Atau mungkin saja dia sengaja memilihku sebagai pemenang lelang, karena mengetahui latar belakangku yang adalah bosnya? Entahlah, apa pun itu, sekarang aku dibuat penasaran oleh Jemima yang selalu menyebut sebuah pernikahan sebagai syarat untuk menidurinya. Namun pagi ini aku punya rencana lain. Aku berencana menambah 30 juta untuk membayar kesuciannya, jika dia bersedia kunikmati hari ini juga. Sayangnya, perintahku tak digubris oleh gadis itu. Sudah pukul 4 sore dan gadis itu belum juga datang ke ruanganku di Steak House pusat ini. Padahal aku sudah memintanya datang kemari sejak pagi tadi. Saat siang pun aku sudah mengingatkannya kembali. Bahkan aku pun sudah meminta manajer restoran untuk membawa gadis itu ke sini. Jemima benar-benar bebal. Hilang sudah kesabaranku. Aku kembali menghubungi manajer restoran untuk membawa Jemima kemari. “Segera ya,” tekanku, sebelum menutup panggilan telepon. Lima menit menunggu, akhirnya pintu ruanganku diketuk. Kupersilakan sosok dibalik pintu tersebut. Iwan—manajer restoran masuk bersama Jemima ke ruangan ini. “Pak Eru, mohon maaf, tadi pengunjung sedang ramai sekali, jadi Jemima baru sempat kemari,” terang Iwan. “Ok, terima kasih,” sahutku dan mengulurkan tangan, meminta Iwan untuk meninggalkan ruangan ini. Jemima menundukkan wajah, masih berdiri di depan pintu. Jemima saat ini mengenakan seragam resto yang cukup ketat dan membuat bagian-bagian tubuhnya yang berukuran cukup besar tercetak cukup jelas. “Duduk!” perintahku yang diikuti Jemima dengan perlahan. Kini dia duduk di kursi seberangku. “Kenapa dari tadi tidak datang ke sini?” tanyaku tanpa basa-basi. “Maaf, Pak. Seperti yang Pak Iwan jelaskan tadi, pengunjung sedang ramai, jadi tidak bisa saya tinggal,” jawab Jemima masih dengan menundukkan wajah. “Tatap saya!” perintahku namun tak diikuti Jemima. “Clau, tatap saya atau saya akan ….” Seketika Jemima menatapku dengan tajam. Tidak, tidak hanya tajam, melainkan manik indah itu nampak berkaca-kaca. “Bapak mau apa dari saya?” Jemima bertanya dengan suara bergetar. “Saya mau kamu,” jawabku dengan cepat dan tegas. “Kalau begitu, Bapak harus nikahi saya.” “Saya beri kamu 30 juta lagi dan temui saya di hotel malam ini.” Aku coba memberikan penawaran untuknya. Jemima menggeleng lemah namun terlihat yakin. “Saya tidak bisa, Pak. Saya kalau tidak butuh sekali juga tidak akan melelang kesucian saya waktu itu. Dan saya bersyukur, malam itu saya bertemu Bapak.” “Saya tidak perduli, saya hanya perlu dilayani. Saya benar-benar tidak perduli dengan masalahmu.” “Saya tahu.” Jemima menganggukkan kepala dan seperti mengusap air matanya. “Saya juga sebenarnya tidak mau hidup seperti ini, Pak. Saya juga tidak mau bekerja di tempat-tempat seperti itu, jika ada tempat lain yang lebih baik. Saya juga tidak akan bekerja siang malam kalau saya tidak berjuang sendirian untuk menghidupi keluarga saya.” “Bukan urusan saya,” sahutku masa bodo. “Benar, memang bukan urusan Bapak. Kalau begitu, saya akan cicil hutang saya ke Bapak, karena saya tidak akan pernah melayani Bapak atau pria mana pun tanpa ikatan pernikahan.” “Cuih, munafik! Kamu lupa, kamu sudah menjual keperawananmu? Itu artinya kamu sudah merencanakan hal itu sebelumnya dan sudah siap dengan segala konsekuensinya.” “Ibu mengancam tidak akan menyuapi Bapak lagi, kalau saya tidak mendapat uang pada hari itu, Pak.” “Bodoh! Kenapa kamu tidak lapor polisi saja kalau begitu?” “Tidak sesederhana itu, Pak. Bapak juga tidak akan paham meskipun saya jelaskan.” “Bukan, bukan saya tidak paham. Tapi saya memang tidak perduli dengan masalahmu. Paham?” Cemoohku yang membuat tangis Jemima semakin deras. Jemima mengangguk lemah. “Hapus air matamu! Saya nggak mau karyawan lain mengira saya berbuat sesuatu ke kamu.” Kulempar wadah tisu kehadapan Jemima. “Setelah itu, silakan pergi! Mulai bulan depan, saya akan potong gaji kamu untuk mencicil hutangmu.” “Baik, Pak, terima kasih banyak.” …. “Jadi gimana, lo belum terima ajakan Claudia untuk nikah?” tanya David setelah beberapa menit duduk di sebelahku. David adalah teman SMA-ku dan dia saat ini berprofesi sebagai pengusaha otomotif juga batu bara. Kami lagi-lagi berkumpul di klub tempat Jemima bekerja. Aku masih penasaran dengan gadis itu, sehingga memutuskan mengunjungi klub ini lagi. Namun aku kesal juga dengannya. Sudah miskin, tapi berani-berani menolak uang 30 juta yang kutawarkan. “Ngapain gue harus terima? Bikin ribet gue aja,” jawabku ketus sembari memainkan gelas berisi minuman perasa. “Ya jangan dibikin ribet lah, Ru. Gini-gini deh.” David menyerongkan duduknya menghadapku dan mendekatkan diri. Dentuman musik yang kencang memang cukup menganggu pendengaran kami. “Gue nggak tertarik dengan pernikahan, apa pun bentuknya, Vid,” tegasku. “Dengerin dulu lah.” Kini David merangkulku. “Lo kan bisa bikin perjanjian di atas kertas soal pernikahan lo sama si Claudia itu.” “Gue nggak mau ribet, Vid. Ntar tau-tau dia baper dan nuntut ini itu, gue yang akhirnya repot.” “Ya lo tulis lah di surat perjanjian itu. Yakin gue, si Clau juga nggak akan berani macam-macam. Apalagi sampai nuntut ini itu. Lagi pula, kalau dia nuntut apa-apa, emang dia bisa apa? Buat makan aja kata lo dia kesusahan.” David terus-terusan memprovokasiku. “Gue nggak tertarik, David. Jadi stop memprovokasi gue.” “Hi, Bro.” Jonathan dan Aris baru saja tiba dan bergabung dengan kami. “Gimana-gimana, sedang bahas apa nih?” tanya Jonathan, lantas David berbisik pada pria yang berprofesi sebagai Branch Manager sebuah bank swasta. Juga nantinya menjadi pewaris tunggal bisnis keluarga di bidang retail dan perhotelan. “Bahas apa mereka?” tanya Aris padaku. “Paling juga bahas cewek. Apalagi memangnya?” jawabku asal. “Claudia buat gue aja boleh?” tanya Jonathan tiba-tiba setelah sejak tadi meja ini hening. Tidak benar-benar hening memang, karena kami bukan berada di VIP room. Suara dentuman musik semakin membahana dan membakar semangat para pengunjung di lantai dansa sana. “Terserah lo,” jawabku masa bodoh. “Ok.” Jonathan berdiri dari duduknya dan meninggalkan meja. Bisa kulihat jika pria itu menghampiri Jemima yang tengah merapikan meja tamu. Aku benar-benar tak perduli. “s**t, si Jo beneran nyamperin Claudia.” David berseru girang. “Gue yakin, Jemima nggak semudah itu didekati,” komentar Aris. “Gue nggak perduli.” Aku berdiri dari duduk dan memilih turun ke lantai dansa. Jemima sudah menolak tawaranku tentang uang 30 juta dan aku tidak akan menggadaikan harga diriku hanya untuk memintanya untuk melayaniku. Memangnya dia siapa? Masih banyak gadis yang jauh lebih cantik dari Jemima diluaran sana. … Entah pukul berapa pastinya, kami keluar dari klub. Aku yang harus mampir ke toilet dulu, harus pulang paling akhir di antara ke-3 rekanku. Aku sudah mengendarai mobilku di jalanan yang cukup lengang. Sembari bersenandung lirih mengikuti lagu dari audio car, kukemudikan Hyundai Ionic 5 dengan kecepatan sedang. Hingga tiba di sebuah jalan persimpangan, aku melihat sosok yang tak asing sedang dihadang dua orang pria. Jemima. Ya, Jemima di sana, sedang berusaha mempertahankan roda duanya dari dua pria tak punya otak. Sempat ragu ingin menolong Jemima, karena kupikir dia bukan siapa-siapaku. Namun teringat dia adalah tulang punggung keluarganya, hatiku akhirnya tergerak untuk menolongnya Sikap apatis dari orang-orang di sekitar kejadian akhirnya membuat kendaraan roda dua milik Jemima dibawa kabur oleh kedua pria itu dengan mudah. Aku benar-benar merasa jengkel karena beberapa pengendara yang berlalu lalang di depan Jemima, tetapi mereka semua acuh dengan musibah yang dialami gadis itu. Sialan! Segera aku turun dari kendaraan dan menghampiri Jemima. Gadis itu nampak terkejut melihat kedatanganku, namun kemudian mengangguk dan tersenyum. “Pak Semeru,” sapanya padaku, sembari mengusap air matanya yang membasahi pipi. “Ayo masuk, kita kejar pelakunya. Tadi motormu dibawa kabur kan sama mereka?” ajakku pada gadis yang sibuk mengusap air matanya ini. Jemima menggeleng tegas. “Tidak, Pak. Biarkan saja.” “Loh tapi itu kendaraan punyamu dan untuk mobilitasmu sehari-hari. Nanti kamu bagaimana?” tanyaku gemas. Karena Jemima terlihat pasrah motornya dibawa pergi oleh perampok. “Dia Kakak tiri saya, Pak. Kalau kita kejar nanti jadi masalah. Ibu pasti akan marah ke saya dan Ayah saya.” Gregetan sekali aku mendengarnya. Jemima harus mengalah karena Ibu tirinya dan demi sang ayah. “Ya sudah, ayo saya antar pulang. Kita lanjutkan di mobil ngobrolnya.” “Bapak mau antar saya pulang?” Jemima seolah tak percaya aku akan mengantarnya pulang. Memang kenapa dengan tampangku ini. Apa aku tidak pantas berbuat baik atau bagaimana? “Kenapa? Kamu tidak percaya pada saya?” “Bukan begitu, Pak. Saya hanya tidak mau merepotkan Bapak.” “Jadi mau pulang sendiri saja? Kalau nanti ada penjahat lagi, saya nggak mau tau.” Jemima menatapku sekilas sebelum akhirnya mengangguk dan bersedia masuk ke dalam mobilku. “Saya masih punya hutang uang ke Bapak. Ditambah sekarang saya punya hutang budi. Jadi makin banyak hutang saya ke Bapak. Bingung saya, Pak, nanti bayarnya gimana,” kata Jemima, di tengah perjalanan kami menuju rumahnya di daerah Timur. “Kamu tahu cara cepat membayar hutangmu, Clau.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN