Happy reading!
POV Semeru
“Dan kamu benar masih virgin?” tanyaku penasaran. Karena di zaman sekarang, kesucian seorang gadis adalah hal langka.
Jemima mengangguk pelan yang membuat rasa penasaranku semakin menggunung padanya.
“Pernah pacaran?” tanyaku lagi penasaran.
Jemima kembali menggeleng. “Saya tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan dengan laki-laki manapun, Pak. Fokus saya hanya kuliah dan bekerja. Lagi pula, laki-laki mana yang bersedia menjalin hubungan dengan gadis seperti saya ini, Pak? Gadis miskin dari background keluarga yang berantakan.”
Jemima mengatakannya dengan tersenyum, namun aku tahu, gadis ini hanya tengah mencoba menutupi kepahitan hidupnya.
Sekali lagi, aku tentu saja tidak peduli akan hal itu. Bukan menjadi urusanku Jemima menjadi tulang punggung keluarganya atau disiksa oleh ibu tirinya. Urusanku hanya soal uang 20 juta yang sudah kuberikan padanya. Aku memang tidak akan meminta kembali uang itu. Aku akan melupakannya, anggap saja aku sedang bersedekah pada gadis malang ini. Atau mungkin, aku akan meminta gantinya dalam bentuk lain.
Ah, nanti saja kupikirkan itu. Yang terpenting sekarang aku harus segera mengusirnya dari sini, sebelum aku kembali berpikir untuk menerkamnya.
….
“Gimana, Bro, semalam? Si Claudia beneran masih virgin?” tanya Jonathan, salah seorang kawanku.
Malam berikutnya, aku berkumpul dengan ketiga rekanku di sebuah bar.
Seperti biasa, untuk melepas penat usai bekerja, aku dan beberapa kawan dekatku berkumpul di sebuah bar atau coffee shop untuk sekadar bertukar tawa dan cerita receh. Sesekali juga masih membahas soal pekerjaan. Kami berempat tidak hanya berkawan dekat, namun kami juga bekerja sama mendirikan sebuah perusahaan periklanan, dimana aku menjabat sebagai CEO perusahaan tersebut. Selain itu, aku juga memiliki tanggung jawab lain untuk mengelola bisnis milik ayah sambungku—Arsena Bhumika—Om Sena.
Dan Claudia yang dimaksud oleh Jonathan adalah Jemima. Claudia adalah nama panggung Jemima saat dia sedang bekerja di dunia malam.
“Yeah, she’s still virgin, menurut pengakuannya.”
“Maksud lo?” Jonathan, Aris dan David bertanya serempak.
“Emang lo nggak jadi unboxing doi?” Jonathan kembali bertanya penuh rasa penasaran.
“Rugi, dong, Ru,” celetuk Aris.
“Bukannya lo udah bayar ke Mami Fara?” Kali ini David yang bertanya padaku.
“Yup, gue emang udah bayar ke dia, tapi ada sesuatu hal yang bikin gue akhirnya nggak jadi pakai dia.”
Ketiga pria yang nakalnya sama denganku ini saling berpandangan sebelum menyemburkan tawa secara bersamaan.
“Gokil, seorang Semeru Agung ternyata bisa kalah sama cewek macam Claudia. Lo jatuh cinta sama dia atau gimana, Bro? Sampai-sampai batal unboxing tuh cewek?” Jonathan terlihat sangat puas sekali meledekku.
“Badan dia lebam-lebam karena dipukuli ibu tirinya. Gue nggak mungkin tetap minta dilayani sama dia, sedangkan kondisi tubuh dia seperti itu,” jelasku pada ketiganya yang sejak tadi menatapku dengan penuh penasaran.
Mereka menyemburkan tawa puas sekali mendengar penjelasanku. Dan sejak malam itu, aku menjadi bulan-bulanan mereka bertiga karena secara tak langsung sudah mengasihani Claudia—Jemima. Berengsek!
….
“Lo nggak berminat, Bro?” David bertanya di antara kegiatan panasnya. Seorang gadis berambut sebahu sedang mencumbu David dengan liarnya.
Aku menggeleng tanpa ragu. Jujur saja, aku sedang tak ingin menghabiskan malam dengan perempuan-perempuan penjaja kenikmatan itu, entah apa alasannya.
“Gue lagi nggak mood,” jawabku.
David hanya mengangguk dan kembali melanjutkan aksinya dengan si perempuan. Aku sendiri hanya menikmati musik sembari menyantap camilan dan minumanku. Mengabaikan kegiatan teman dan klienku bersama perempuan sewaan yang semakin meresahkan saja.
Pengunjung klub cukup penuh malam ini. Meja-meja terisi oleh para tamu, begitu pun dengan lantai dansa yang dipenuhi tamu-tamu yang sedang meliukkan tubuhnya mengikuti area musik. Kemudian netraku tiba-tiba terpusat pada satu sosok. Sosok yang beberapa waktu terakhir ini memenuhi isi kepalaku. Padahal tidak ada yang spesial dari sosok itu.
Jemima, ada di arah jam empat sedang mengantar minuman untuk pengunjung klub. Pakaiannya cukup longgar dan tertutup untuk pekerja di tempat seperti ini.
Aku masih mengawasi gerak-gerik gadis itu. Jemima terlihat sibuk, mondar-mandir mengantarkan pesanan tamu dan membereskan gelas-gelas juga botol yang telah kosong. Lantas Jemima terlibat perbincangan dengan salah seorang laki-laki muda. Sepertinya sedikit terjadi ketegangan di sana, karena Jemima tiba-tiba didorong oleh laki-laki itu. Aku tak menyukai tindakan laki-laki itu pada Jemima, entah mengapa. Aku sudah bersiap untuk menghampiri mereka, namun urung kulakukan setelah beberapa pengunjung dan rekan kerja Jemima menolong gadis itu. Laki-laki muda itu kemudian diseret keluar oleh sekuriti klub.
Jangan ikut campur Semeru! Itu bukan urusanmu!
Aku pamit ke toilet pada Jonathan yang masih betah di meja, sementara yang lain sudah mencari tempat baru untuk melanjutkan kegiatan panas mereka. Tak kusangka, begitu keluar dari area toilet khusus pria, aku bertemu dengan Jemima yang terlihat terkejut berpapasan denganku.
“Selamat malam, Pak Semeru.” Jemima mengangguk dan tersenyum padaku.
“Malam,” sahutku singkat. “Kamu bukannya waktu itu bekerja di tempat karaoke? Pindah?” tanyaku basa-basi.
“Saya minta pindah ke sini, Pak. Saya sudah tidak sanggup bekerja di sana.”
“Kenapa memangnya?” tanyaku menaikkan sebelah alis.
“Saya tidak mau disentuh-sentuh,” jawabnya sembari menundukkan wajah.
Aku terkekeh pelan mendengar alasannya. “Apa bedanya dengan di sini? Sama saja. Namanya juga kerja di dunia malam, ya harus menerima segala risikonya. Salah satunya dengan disentuh-sentuh oleh lawan jenis.”
“Setidaknya di sini job desk saya jelas, Pak, hanya mengantar makanan dan minuman, tidak lebih dari itu.”
“Kamu ini kenapa polos sekali, Clau. Namanya kerja di dunia malam, mustahil kalau tidak bersinggungan dengan …”
Kumajukan wajahku mendekat pada telinga Jemima. Jemima hendak menghindar, namun dengan sedikit cengkeraman di bahunya, dia diam di tempat. Mata kami bertatapan sesaat. Jemima terlihat tidak nyaman dengan posisi kami sekarang dan itu membuatku senang.
“Jangan diteruskan, Pak,” cicit Jemima.
“S3ks, Jemima, s3ks. Dan kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa hubungi saya kapan saja.” Aku tersenyum penuh minat pada Jemima dan mengecup pipinya secara samar, sebelum meninggalkan Jemima yang semakin mematung di tempatnya.
Bersambung