9. Missy-chan

1128 Kata
Shinichi terbangun menjelang pagi oleh getaran ponsel di saku celananya. Ia meraih ke dalam sakunya dan melekatkan benda pipih itu dengan mata terpejam. “Ya?” Shinichi menjawab setengah mengantuk. “Shinichi.” Suara dalam dari pamannya di sambungan telepon menyentak Shinichi sepenuhnya bangun. “Ya, Ojisan?” Shinichi menjawab dengan bahasa jepang sempurna. “Berita bagus. Orang-orang kita sudah mengamankan bandara. Jadi kau bisa melanjutkan perjalanan,” Kiyoshi menjelaskan. “Aku sudah mengatur pesawat di Bandara San Fransisco untuk kalian. Jadi segeralah bersiap-siap.” “Baiklah. Aku mengerti,” Shinichi menjawab singkat dan menutup sambungan telepon. Suara Shinichi membangunkan Nicole. Gadis itu menguap dan menegakkan badannya dengan susah payah karena kondisi tangannya yang masih terikat. “Bagaimana aku bisa sampai di sini?” Nicole bertanya kebingungan. Shinichi memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dan menjawab, “Aku memindahkanmu semalam setelah kau tertidur.” Pemuda itu kemudian bangkit dan berjalan ke ranjang. “Aku akan melepaskan ikatanmu,” Shinichi berkata sambil duduk di pinggiran kasur. “Tapi kau perlu berjanji untuk menuruti perkataanku dan tidak lagi banyak bertanya, Missy. Paham?” Nicole menatap ke dalam mata gelap Shinichi. Ada kelembutan yang dikenal Nicole dari pemuda itu di dalamnya, tapi juga sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak dikenalnya. Sesuatu yang gelap dan menarik dan berbahaya. Sesuatu yang lapar dan tidak dipahami oleh Nicole. Dan cara pemuda itu menatapnya dengan penuh intensitas, seakan sedang berpikir bagian tubuhnya mana lagi yang hendak dinikmati, membuat wajah Nicole terasa memanas. Nicole berdehem sebelum mengangguk. “Okay, aku paham,” jawab gadis itu. Shinichi langsung memutar tubuh Nicole agar membelakanginya dan mulai melepaskan ikatan gadis itu. “Paman barusan menghubungi, kita akan kembali ke bandara untuk melanjutkan perjalanan.” “Oh? Jadi apakah keadaan sudah aman kalau begitu?” “Sepertinya begitu,” Shinichi menjawab singkat dan kembali berdiri, menggulung tali di tangannya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Nicole mengusap pergelangan tangannya yang merah sambil mengamati Shinichi yang kini menyelipkan salah satu pedang pendeknya ke balik kaos. “Apakah kau mengerti cara memakai benda itu?” Nicole bertanya penasaran. “Ya, tentu saja.” “Salah satu temanku adalah apa yang kau sebut sebagai Wibu, kau tahu, pecinta segala sesuatu tentang negara Jepang. Ia meminjamkan aku komik samurai-x.” Shinichi membalikkan tubuhnya dan mengamati dengan alis terangkat yang membuat Nicole menjelaskan, “Kau tahu, samurai berambut merah, dengan bekas luka di pipinya.” Shinichi tergelak pelan, “Aku cukup familiar dengan karakter Kenshin Himura. Ada apa dengannya? Mengapa kau mendadak menyebutkan karakter dari manga?” Nicole mengedikkan bahunya. “Entahlah, kau mengingatkanku akan komik itu,”’ gadis itu berkomentar sambil memiringkan kepalanya seakan sedang mempelajari pemuda itu. “Oh ya?” Shinichi bertanya dengan perasaan penasaran. Tidak biasanya ada orang yang mengamatinya seperti yang sekarang dilakukan Nicole. Tentu saja kadang ia menemukan gadis yang diam-diam mencuri pandang kearahnya, Shinishi tahu bahwa ia cukup menarik, tinggi untuk ukuran orang Jepang, tapi tidak ada dari mereka yang berani dengan terang-terangan menatapnya tanpa berkedip seperti Nicole. “Mungkinkah karena aku sama menariknya dengan tokoh samurai berhati mulia itu?” Shinichi menebak sambil tersenyum. “Tidak...,” Nicole menjawab. “Aku hanya ingin tahu dimana kau belajar menggunakan pedang samurai. Apakah kau mempelajari kendo seperti Kenshin?” “Ya. Pamanku kebetulan adalah pelatih kendo. Dan kami berasal dari keturunan panjang keluarga samurai. Hampir semua pria di keluargaku mempelajari Kendo. Lagi pula, aku menyukainya. Bermain kendo membuatku lebih fokus ketika aku banyak pikiran. Apakah jawabanku memuaskanmu, Missy-chan?” Oh God. Missy-chan? Nicole tanpa sadar bergidik mendengar suara pria itu memanggil namanya dengan sebutan tambahan -chan, panggilan yang biasa digunakan untuk memanggil kekasih dan orang terdekat. Panggilan itu membuat seluruh kalimat yang digunakan oleh Shinichi layaknya sentuhan menggoda dari bibir pria itu ke permukaan kulitnya. Sadar akan bahu Nicole yang mendadak gemetaran, mata gelap Shinichi menggelap, diikuti dengan lintasan rasa khawatir di belakangnya. “Apakah kau kedinginan, Missy-chan?” Sialan. Panggilan itu lagi. Jika pemuda itu melanjutkan, Nicole bisa-bisa meledak di tempat. Ia hanya berharap panas di wajahnya tidak membuat pipinya memerah dan membuat Shinichi sadar akan apa yang dirasakannya. Tidak mungkin ia mengakui bahwa cara pria itu memanggilnya lah yang membuat jantungnya mendadak terpacu. “T-tidak,” Nicole melompat berdiri sambil mengalihkan wajahnya. “A-aku hanya perlu ke kamar mandi.” Nicole langsung berlari masuk ke kamar mandi dan mengunci dirinya di dalamnya. Ia kemudian menyalakan keran wastafel dan membasuh wajahnya dengan air dingin dengan harapan ia bisa menurunkan suhu tubuhnya yang mendadak naik. Setelah beberapa guyuran, barulah Nicole mampu menaikkan wajahnya dan menatap dirinya sendiri di pantulan kaca. Benar dugaannya, wajahnya memerah layaknya kepiting rebus. s**t. Bagaimana mungkin sedikit panggilan penuh keakraban dari Shinichi membuatnya salah tingkah? Apa-apaan? Nicole menggeram dan kembali membasuhkan lebih banyak air dingin ke wajahnya. Ketika ia akhirnya keluar dari kamar mandi, hampir seluruh bagian depan kaosnya basah oleh air. Tatapan mata Shinichi yang bertanya membuat Nicole merasa semakin salah tingkah. “Keran airnya menyembur kemana-mana,” Nicole menjelaskan sambil berjalan menuju kopernya dan menarik keluar kaos ganti yang dibawanya masuk kembali ke kamar mandi. Mereka berbenah dengan cepat dan sejam kemudian, mereka akhirnya berada kembali di dalam pesawat pribadi yang akan membawa mereka ke tujuan awal. *** “Hei, Missy? Bangun... Kita sudah sampai di Komatsu Airport.” Suara berat Shinichi membangunkan Nicole dari tidurnya. “Luar biasa,” Shinichi kembali berkomentar. “Luar biasa apanya?” Nicole mengusap matanya sambil menguap, setengah linglung akan keberadaannya. “Luar biasa mudahnya kau tertidur,” Shinichi menjelaskan. “Baru sepuluh menit pesawat berangkat, kau sudah terlelap.” Nicole meregangkan tubuhnya dan melepas sabuk pengaman yang ada di pangkuannya. “Ya... well... aku suka tidur. Anggap saja semakin aku stress, maka semakin mudah aku tertidur.” “Kebanyakan orang stres akan susah tidur, tapi kau justru kebalikannya?” Pertanyaan Shinichi lebih mirip sebuah komentar daripada pertanyaan. “Sungguh gadis yang unik dirimu, Missy-chan.” Shinichi kini tergelak, suara getaran rendah dari tenggorokan pemuda itu terdengar layaknya sepotong dark coklat bertaburan kacang almond, legit dan renyah, membuat jantung Nicole berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Sadar wajahnya akan kembali memerah, Nicole menghentakkan kakinya berdiri. “Berhenti mengejekku, Shin. Dan berhenti memanggilku dengan sebutan itu! Aku tidak menyukainya! Kau tahu?” Nicole membentak sambil berjalan penuh kemarahan keluar. “Sebutan apa?” Shinichi ikut berdiri dan meraih tas jinjing berisi pedangnya dari bawah. “Sebutan itu.... Missy-chan.” “Tapi aku suka memanggilmu dengan panggilan itu,” Shinichi menyahut. “Wajahmu jadi memerah mirip tomat matang ketika aku memanggilmu dengan sebutan itu.” Nicole semakin merengut. Gadis itu menuruni tangga pesawat dengan langkah lebar. Bahkan saking lebarnya, tanpa sengaja kaki Nicole tersandung sepatunya sendiri dan gadis itu langsung terjungkir ke depan. Nicole menjulurkan kedua tangannya di depan tubuhnya berusaha menahan kepalanya dari hantaman aspal hangar bandara. GUBRAK!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN