10. Putri Tidur

1015 Kata
“Aww!” jerit Nicole keras ketika akhirnya tangannya menapak ke lantai yang keras. Shinichi buru-buru mengejar. Tapi terlambat karena kini Nicole sudah tengkurap dibawah anak tangga pesawat. Melihat Nicole yang kini menangis, dengan wajah khawatir Shinici berlutut di sebelah Nicole. Tangannya meraih tangan Nicole dan mengamati telapak tangan gadis itu yang lecet. “Hanya sedikit luka. Bisakah kau berdiri?” tanya Shinichi. Nicole mencoba menggerakkan kakinya, sebelum kemudian rasa menusuk kembali menyebabkannya menjerit kesakitan. “Tidak... Kakiku…. Kakiku sakit... Aw..aduh...,” Nicole merintih sambil meringis. “Sepertinya tulangku patah. A-aku perlu ambulance. Jangan-jangan aku perlu di gips atau dioperasi.” Shinichi menarik ujung celana jeans Nicole keatas dan memeriksa. Ia memiliki dasar pengetahuan tentang pengobatan dan bisa melihat bahwa gadis itu berlebihan. “Hanya sedikit terkilir, Missy-chan. Tidak ada tulang yang patah. Jangan berlebihan, kau tidak butuh ambulance. Aku akan meminta es untuk mengompres kakimu. Jangan khawatir, kau akan sembuh seperti sedia kala dan bisa menggunakan kakimu untuk menghentak-hentak ketika kesal.” Nicole melotot mendengar ucapan Shinichi. “Kau bahkan tidak akan membawaku ke rumah sakit?!” tanyanya. “Untuk apa? Hanya keseleo. Kau akan baik-baik saja.” “Ta-tapi aku tidak bisa jalan. Mungkin, carikan aku kursi roda atau usungan— Hey! Apa yang kau lakukan?” Nicole menjerit kaget ketika Shinichi mendadak meraih tubuhnya ke dalam gendongan. “Turunkan aku, Shin!” “Apakah kau bisa jalan sendiri?” “A…aku…” “Tidak bukan? Sudah diamlah jangan banyak bergerak. Kau cukup berat untuk gadis seukuranmu.” Nicole memukul da-da Shinichi keras, sambil setengah kaget karena kini tangannya sendiri yang terasa sakit karena kerasnya tubuh yang dipukulnya. Nicole mengamati wajah Shinichi yang berjarak tidak lebih dari 30 senti dari wajahnya. Dalam jarak sedekat ini, bisa di lihatnya tulang rahang kokoh Shinichi yang belum muncul ketika kecil. Terakhir ia melihatnya, pipi Shinichi masih menggembung bulat dan lebih pendek darinya. Sejak kapan Shinichi berubah dari seorang bocah menjadi seorang pria? Tanpa sadar, Nicole menjulurkan tangannya dan mengelus pipi Shinichi, membuat pemuda itu kaget dan langsung menoleh menatap Nicole dengan alis mengkerut. “Eh… oh… a… ada kotoran di pipi mu…,” balas Nicole cepat berusaha menutupi rasa malunya. Shinichi masih mengerutkan dahinya tapi sepertinya mempercayai alasan Nicole. “Benarkah?” tanyanya sambil mencoba mengusap wajahnya dengan bahunya. “Su…sudah hilang. Aku sudah membersihkannya,” sahut Nicole cepat. “Oh… Terima kasih.” Nicole mengangguk sambil mengalihkan pandangannya ke depan. Tidak terasa rupanya Shinichi sudah menggendongnya masuk ke dalam gedung bandara. Seorang petugas menghampiri mereka dengan mendorong sebuah kursi roda. Shinichi membungkukkan tubuhnya sambil berterima kasih dalam bahasa Jepang yang untungnya Nicole juga cukup fasih. Didengarnya pemuda itu meminta sekantung es dan plester untuk lukanya. Sambil menunggu, Nicole melayangkan pandangannya ke sekeliling bandara. Tidak seperti bandara Metro yang luas dan ramai, bandara itu terlihat kuno, lebih mirip sebuah stasiun kereta api daripada bandara. Beberapa toko berderet di satu sisi menjual berbagai macam jajanan dan majalah, sementara hanya terlihat segelintir penumpang yang berlalu lalang. “Dimana kita sebenarnya?” tanyanya kearah Shinichi. “Kita ada di Komatsu,” balas Shinichi singkat seakan Nicole paham dimana letak Komatsu di peta Jepang. “Jadi kita akan tinggal di kota ini?” “Tidak. Ini hanya bandara terdekat untuk menjangkau kota dimana aku tinggal. Dari sini kita akan naik bus menuju Kanazawa.” “Bus?” ulang Nicole dengan mata membelalak. Seumur hidupnya ia belum pernah sekalipun naik angkutan umum. Keluarganya memiliki segalanya, dan ketika kedua orang tua mu adalah gangster over protektif yang paranoid, tidak mungkin anak tunggal mereka dibiarkan mengendarai angkutan umum. Jangankan bus, taksi pun Nicole tidak pernah menggunakannya. “Ya, bus. Kau tahu kan, kendaraan beroda empat yang bisa diisi banyak orang—” “Aku tahu apa itu bus!” seru Nicole memotong. “Aku… hanya… Mana bisa naik ke kendaraan umum dengan kaki terkilir? Kenapa kita tidak mencari taksi saja.” Petugas bandara berlarian menghampiri keduanya dengan membawa sebuah kantong es dan beberapa pak plester. Pria itu menyerahkan semuanya ke Shinichi yang berterima kasih sambil membungkuk sopan. Shinichi berjongkok di depan kursi roda Nicole dan meletakan kantung es di kaki kanan gadis itu. Ia lalu meraih tangan Nicole, mengelapnya dengan sapu tangannya dan menempelkan beberapa plester ke luka lecet gadis itu. Wajah Shinichi yang telaten mengingatkan Nicole pada masa kecil keduanya, ketika dirinya terjatuh karena berlarian di dalam rumah dan tersandung ujung meja. Rupanya ada beberapa hal yang masih sama dari pemuda itu. “Nah selesai!” seru Shinichi sambil bangkit berdiri. Ia berjalan ke belakang kursi roda Nicole dan meneruskan, “Berbeda dengan Metro, ongkos taksi disini mahal. Bus jauh lebih murah dan ekonomis. Aku bisa menggendongmu naik dan turun, tidak masalah.” “Bagaimana dengan koperku?” “Aku bisa mengangkat mu, tas ku dan kopermu, tidak masalah. Berhentilah bertanya dan ikuti saja perintahku, Missy-chan. Atau kau sudah lupa bahwa aku masih menyimpan tali di tasku?” Nicole mengeratkan rahangnya dan memaki Shinichi dalam kepalanya dengan sangat lantang, betapa ia berharap pemuda itu bisa mendengar pikirannya. Tapi Shinichi sepertinya tidak memiliki kemampuan membaca pikiran. Dan jikapun pemuda itu bisa menebak apa yang ada dalam kepala Nicole, ia mengacuhkannya. Shinichi mulai mendorong menuju ke pintu keluar dimana petugas bandara yang lain sudah menunggu dengan koper bawaan milik Nicole. Pemuda itu baru sadar bahwa Nicole membawa dua koper bersamanya. Satu yang lebih kecil, yang dibawanya sekarang, dan satu yang rupanya ditinggal di dalam bagasi pesawat sejak kemarin. Shinichi menatap koper besar ditangan petugas bandara dengan tercengang. Ia tidak mengamati barang bawaan Nicole sejak berangkat, dan baru sadar bahwa koper berwarna pink itu setidaknya sama besarnya dengan tubuh pemiliknya. “Masih yakin ingin naik bus?” celetuk Nicole melirik ke belakang. Shinichi menggaruk dahinya, “Uhmm… baiklah, sekali ini saja. Kita sebaiknya mencari taksi.” Dengan taksi, perjalanan kedua mereka ditempuh dalam waktu 40 menit dari bandara. Seperti sebelumnya, baru 10 menit di dalam kendaraan, Nicole sudah kembali tertidur. Gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahu Shinichi dan tidak sadar bahwa pemuda itu sedang mengamati wajahnya yang terlelap pulas dengan mulut terbuka lebar lengkap dengan liur yang mengalir keluar. Benar-benar mirip putri tidur, pikir Shinichi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN