20. Apapun Yang Terjadi, Mereka Siap

1885 Kata
Hari ini adalah hari pertama Nicole masuk ke sekolah barunya. Berlokasi tidak jauh dari rumahnya, ia dan Shinichi kini sedang berjalan kaki bersebelahan. Shinichi mengenakan seragam sekolahnya, sebuah setelah lengan panjang berwarna gelap yang dibiarkannya tidak terkancing. Nicole sementara itu, masih belum memiliki seragam, memutuskan untuk mengenakan jeans dan kaos putih polos. “Ceritakan tentang sekolah. Seperti apakah suasana di sekolah?” Nicole bertanya sambil menenteng tas sekolah di punggungnya. Nicole sebenarnya tidak terlalu khawatir tidak bisa beradaptasi. Ia adalah murid populer di sekolah lamanya. Bukan hanya karena kecantikannya tapi juga karena kepandaiannya. Selalu berada di peringkat atas dari sisi akademis, Nicole adalah model poster murid teladan. Salah satu alasan, mengapa Jayden yang di incar oleh hampir seluruh murid perempuan di sekolahny, memilihnya sebagai kekasih. “Entahlah. Tidak jauh berbeda dengan sekolah mu kurasa,” Shinichi mengedikkan bahunya. “Apakah kau memiliki kekasih?” celetuk Nicole. “Aku masih tidak paham apa artinya menjadi... apa namanya?” “Shikomi.” “Iya itu. Shikomi. Apakah artinya aku adalah kekasihmu? Apa kah kau kekasihku? Apa artinya semua ini?” Shinichi tergelak mendengar pertanyaan Nicole. “Artinya kau milik ku, Missy.” Nicole mengerutkan dahinya. “Apakah kau juga milik ku?” “Tidak. Shikomi tidak bisa memiliki.” “Apa? Jadi aku semacam barang? Properti? Ternak? Apakah aku seperti seekor sapi bagimu? Semua ini pasti melanggar undang-undang hak asasi manusia. Dijaman modern seperti ini tidak boleh menjadikan seseorang sebagai properti. Tahu tidak?” Omelan Nicole membuat tawa Shinichi makin berhamburan. “Hei… tidak ada pemaksaan diantara seorang Shikomi dan Danna. Kau bisa menolak jika keberatan. Tapi kusarankan demi menjaga kedok kita agar tetap aman, kau bersedia untuk mengikuti aturan yang sudah ada.” Nicole memajukan bibirnya. Semua ini terasa terlalu di paksakan. Walau pura-pura, ia tidak suka harus terlihat tunduk pada Shinichi. Ia di besarkan bukan untuk menjadi seorang gadis yang lemah dan akan diam saja ketika seseorang memberinya perintah. Ia dididik oleh kedua orang tuanya untuk menjadi kuat. Kritis. Berani. Tapi ia akan melakukannya. Demi menutup kedoknya rapat-rapat dan demi kedua orang tuanya, Nicole akan melakukannya. Ia akan mengganggap semua ini sebuah sandiwara, semacam permainan atau drama. Ya. Ia pasti bisa. Pintu gerbang sekolah sudah terlihat. Nicole merapatkan badannya ke arah Shinjiro membuat pemuda itu melirik sekilas dan baru sadar bahwa wajah Nicole sedikit pucat. Disadari Shinichi, walau Nicole berusaha menyembunyikannya, gadis itu pasti ketakutan. Tentu saja, Shinichi bisa melihat ketidak pastian di mata Nicole yang mengamati ke segala arah. Menatap gadis-gadis sebayanya yang berlarian masuk bersama dengan teman-temannya. Terlihat lepas tanpa tanggungan. Shinichi meraih lengan Nicole dan menyelipkan jemarinya ke tangan gadis itu. “Sini. Kita ke ruang administrasi dulu,” pria itu berkata sambil menarik tangan Nicole ke dalam gandengannya. Beberapa kepala menoleh ke arah keduanya. Diikuti dengan bisik-bisik dan gumaman penasaran yang berusaha diabaikan oleh Nicole. “Siapa yang di gandeng oleh Shin?” “Oh… itukah gadis yang dijadikan Shikomi olehnya?” “Kudengar begitu.” “Huu! Aku heran, mengapa Shin tidak memilih gadis jepang saja,sih?” “Kudengar, karena ia menyukai da-da mereka yang besar.” “Shh! Jangan keras-keras!” "Ah, toh gadis itu paling tidak paham bahasa Jepang. Ia hanyalah seorang gaijin. Orang Amerika." Suara tawa cekikikan terdengar diantara siswi-siswi yang bergerombol itu. Sialan. Nicole mengumpat dalam hati. Ia mungkin gaijin. Tapi ia mengerti dengan jelas apa yang perempuan-perempuan itu katakan. Tapi kekesalannya bukan hanya karena celotehan mereka tentang dirinya, yang membuatnya heran, mereka rupanya cemburu padanya. Banyak dari gadis itu menginginkan posisinya sebagai Shikomi Shinichi. Mengapa? Nicole melirik ke arah pemuda yang menyeretnya masuk. Dengan kerah baju tertutup hingga ke leher menyembunyikan tatonya, Shinichi berjalan dengan wajah membeku. Ia pasti mendengar semua bisikan yang di tujukan padanya, tapi memutuskan untuk mengabaikannya. Dengan satu tangan menggandeng Nicole, tangan yang lain terselip di saku baju, Nicole akhirnya bisa melihat apa yang membuat banyak murid ingin menjadi dirinya saat ini. Shinichi jangkung. Dan kekar. Dan pemuda itu memiliki aura misterius yang sudah pasti merupakan daya tarik bagi kebanyakan gadis. Belum lagi ia memiliki nama belakang Goto yang sudah pasti di agungkan di kota Kanazawa tempat mereka tinggal. “Hei, Shin,” Nicole membisik pelan. “Hm?” Gadis itu merapatkan badannya ke Shinichi sambil mempercepat langkahnya, berusaha mengimbangi kecepatan langkah kaki Shinichi yang lebar. Bersandingan begini, Nicole hanya mencapai d**a pemuda itu. “Apakah kau anak populer?” desis Nicole. Shinichi menoleh dengan bibir mulai terangkat, seolah ingin tertawa. “Apa?” tanyanya. “Semua orang melihatku dengan aneh. Dan apakah kau mendengar desas desus yang mereka bisik kan satu sama lain? Siapa yang mengira menjadi Shikomi mu adalah sebuah kehormatan.” Kini Shinichi benar-benar tertawa. “Yah… Karena tidak biasanya ada orang seumuranku memiliki Shikomi. Kebanyakan Danna adalah om-om yang sudah berumur.” Shinichi menarik Nicole masuk ke dalam ruangan dengan tulisan “administrasi” di depannya. Ia memberi salam kepada seorang wanita yang berjaga di dalam ruangan dan memperkenalkan Nicole sebagai murid baru. Wanita itu menyerahkan beberapa formulir yang harus diisi Nicole dan mencarikan seragam yang sesuai dengan ukuran tubuh gadis itu. Mereka meminta Nicole untuk mengganti bajunya dengan seragam yang baru mereka berikan. Shinichi mengantarkan Nicole ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Sementara berada di dalamnya, suara bel berbunyi. “Hei, Missy-chan!” Shinichi menjerit dari luar. “Aku masuk dulu ya ke kelas. Aku tidak ingin kena tegur lagi hari ini.” “Eh… Shin, tunggu!” Nicole berteriak dari dalam kamar mandi sambil mengancingkan atasannya yang terasa sempit di bagian d**a. Selama ini Nicole tidak merasa memiliki p******a yang besar, tapi rupanya jika di bandingkan dengan kebanyakan orang Jepang, bisa dibilang ukuran dadanya melebihi rata-rata. “Apakah kita sekelas?” Nicole melanjutkan teriakannya. “Ya kita sekelas. Jangan khawatir, aku siapkan tempat duduk tepat di sebelahku. Aku masuk dulu ok?” “Oh… ok baiklah,” Nicole tidak punya pilihan selain buru-buru menyelesaikan ganti bajunya. Ia menjejalkan baju lamanya ke dalam backpack sebelum keluar dari bilik kamar mandi. Sejenak, Nicole mengamati dirinya sendiri di cermin yang terpasang di dalam ruangan. Rambut coklatnya terkepang dua terlihat masih rapi. Tubuhnya yang ramping terbalut seragam berwarna biru tua, jas lengan panjang dan rok pendek yang cukup modis. Nicole menarik nafas dalam-dalam dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia siap. Apapun yang terjadi, ia siap. *** *** Lucia mencengkeram ponsel yang di pegangnya. Walau sudah mengira isi pembicaraannya tidak akan berubah, tetap saja ia merasa tidak siap dengan jawaban yang di dengarnya. “Bisakah kau ulangi sekali lagi?” tanyanya sambil melangkah menuju kebun belakangnya. Tomas sudah berangkat ke ring tinju sejak pagi. Kini hanya ada Maria di rumah, menyiapkan sarapan baginya. Lucia menutup pintu geser yang membatasi kebun, tidak ingin ada seorangpun yang mendengar pembicaraannya dengan sang dokter yang ada di sambungan telepon. “Hasil tes menunjukkan kanker otak stadium akhir, Nyonya Salazar,” dokter itu mengulang lagi apa yang baru saja diucapkannya kepada Lucia. Suaranya yang lembut dan penuh perhatian tetap saja tidak bisa membuat jantung Lucia berhenti berdebar. “Kanker?” Hanya itu yang berhasil keluar dari bibir Lucia. “Benar, Nyonya Salazar. Pusing yang terus anda rasakan, hanyalah gejala awal. Saran saya, segeralah menjalani perawatan. Kita bisa melakukan chemoteraphy atau radioterapi—” “Berapa persen kemungkinan aku bisa sembuh dengan tingkat penyakitku?” Lucia yang berhasil melepaskan dirinya dari kekagetan, bertanya. “Uhm… sekitar 5 persen anda mungkin bisa bertahan hidup selama 5 tahun.” “Dan jika tanpa perawatan?” “Sekitar setahun, kurang lebih.” Lucia menjatuhkan tubuhnya keatas kursi. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Hal yang ditakuti terjadi. Sudah beberapa bulan ini rasa sakit di kepalanya bertambah parah. Selama ini ia hanya mengira mungkin bekas peluru yang pernah bersarang di otaknya adalah penyebabnya. Namun ketika obat-obatan tidak juga menghentikan pening di kepalanya, Lucia memutuskan untuk memeriksakan diri. Jadi inikah rupanya yang menyebabkan rasa sakit itu tidak juga berhenti? Kanker? Lucia tahu kematian akan datang bagi semua orang, dan dirinya tidak kebal. Dalam pekerjaannya dan dalam pekerjaan Tomas, Lucia tahu bahaya selalu mengintai di setiap sudut. Ia tidak takut akan kematian. Bagi wanita itu, kemarian hanyalah bagian dari kehidupan. Sesuatu yang mutlak dan percuma untuk ditakuti. Bahkan sejak kecil, Lucia sudah berteman dengan kematian. Ia sudah merangkul kematian dan menjadikannya teman baiknya. Justru kadang, Lucia menemukan dirinya mengharapkan kedatangan temannya. Terbukti dari tingkah lakunya yang sering gegabah dan tidak berpikir panjang. Yang di sesalkannya dari datangnya kematian hanyalah orang-orang yang akan ditinggalkannya. Missy masih sangat muda, dan sedang dalam keadaan bahaya. Belum lagi Tomas. Siapa yang akan merawat mereka jika dirinya tiada? Tomas mungkin tampak kuat, tapi Lucia tahu pria itu sebenarnya rentan. Tanpa dirinya, siapa yang akan menjadi pelabuhan bagi Tomas ketika badai kehidupan menerpa? Itulah mengapa ia mengajukan permintaan konyol itu semalam kepada suaminya. Itulah mengapa ia menghubungi adik tirinya yang ia tahu masih mencintai suaminya. Pedihkah ia mencoba menjodohkan suaminya dengan Ada-Mae? Tentu saja. Tapi, sekarang bukan dirinya yang dipikirkannya. Sekarang ia perlu memikirkan keluarganya. Sudah menjadi tugasnya untuk menjaga Tomas dan Missy. Dan jika ia sudah tidak bisa melakukannya, sudah tugasnya mencari seseorang untuk menggantikan tempatnya. “Nyonya Salazar… Halo?” Suara di dalam ponsel yang dipegangnya membuyarkan lamunan Lucia. “Eh… ya. Uhm… tidak… aku tidak ingin perawatan,” Lucia membalas cepat. “Tapi jika tidak, saya takut—” “Aku tahu resikonya, Dokter,” Lucia memotong. “Tapi kemoterapi, radiasi, segala jenis perawatan yang akan kalian lakukan hanya akan menyebabkanku terlalu lemah untuk menikmati hidup. Tidak. aku tidak ingin umur pinjaman. Jika memang aku hanya diberikan setahun. Maka setahun akan kugunakan sebaik-baiknya. Terima kasih, Dokter. Selamat pagi.” Tidak menunggu balasan dari sang dokter, Lucia mematikan sambungan. Setelah meletakkan ponsel ke atas meja, tangan Lucia meraih ke bawah meja dimana ia menyembunyikan sebungkus rokok. Tomas selalu memarahinya setiap ia ketahuan merokok. Tapi sekarang, ia butuh benda itu untuk menenangkan diri. Dengan tangan gemtaran, dibukanya tutup kotak rokok dan dikeluarkannya sebatang yang kemudian di selipkannya ke sudut bibirnya yang terpoleskan lipstik merah. Dengan menggunakan pematik yang di simpannya di dalam kotak rokok, di sulutnya benda di yang terselip di bibirnya itu. Suara desisan rokok yang terbakar terdengar ketika Lucia menghisap ujungnya yang berfilter dalam-dalam. Disandarkannya punggungnya kebelakang sementara ia membiarkan asapnya yang pekat, memenuhi rongga paru-parunya yang sesak. Setelah beberapa detik, ia pun menghembuskan nafasnya keluar perlahan. Kepulan asapnya yang meluncur keluar mengingatkan wanita itu akan seluruh hidup yang sudah dilaluinya. Kehidupan indahnya yang tidak akan ditukarnya dengan apapun. Tidak untuk semenit pun ia menyesal sudah memilih apa yang dipilihnya. Keluarganya. Bisnisnya. Kehidupannya. Salazar. Semuanya akan menjadi legasinya ketika ia sudah tiada. Genangan air mata mulai memenuhi pandangan Lucia. Wanita itu menelan ludahnya dengan keras dan memejamkan matanya. Tidak Ia tidak akan menyerah. Ia belum mati. Ia masih memiliki waktu untuk memastikan orang-orang yang disayanginya akan terurus setelah kepergiannya. Lucia mengangkat kembali ponsel yang ada di atas meja dan menekan sebuah nomor. Ia mendekatkan benda itu ke telinganya dan menunggu. Begitu terdengar jawaban dari dalamnya, ia berkata. “Ada? Datanglah ke Metro. Aku memerlukanmu.” Selesai menelepon, Lucia menjatuhkan rokok yang baru setengah di hisapnya dan menginjaknya dengan sepatunya. Sudah terlalu lama dirinya terlena dan membiarkan kemarahannya menyusut. Ia masih memiliki pekerjaan yang harus di selesaikannya. Siapapun Black Dragon. Mereka sudah bermain dengan api dengan mengusik keluarganya. Lucia berjalan masuk ke dalam rumah dengan kepala tegak. Apapun yang terjadi setelah ini, ia sudah siap. *** ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN