21. Tawuran Di Sekolah

2373 Kata
Seisi kelas menoleh ketika melihat Nicole melangkah masuk, termasuk guru mereka yang berdiri di depan kelas. “Ah… Kau pasti Nicole Smith,” wanita itu menyebutkan nama samaran Nicole. “Kau bisa berbahasa Jepang?” Nicole yang masih berdiri di depan pintu masuk mengangguk. “Bagus sekali, Nicole,“ Wanita itu melambaikan tangannya. “Masuk. Masuk.” Nicole menurut. Ia berdiri di depan wanita itu dan menyerahkan formulir yang baru saja di berikan oleh pihak administrasi. Wanita itu melihat kertas yang diberikan Nicole sekilas sebelum meletakkannya diatas meja. “Namaku Ms. Tomiko,” wanita itu berkata ke arah Nicole. “Dan aku akan menjadi wali kelasmu. Sekarang… Ceritakan tentang dirimu di depan kelas, Nicole.” Mulut Nicole membuka. Ia tidak mengira guru barunya akan memintanya untuk memperkenalkan diri. Apa yang akan dikatakannya? Tidak mungkin ia menyebutkan bahwa dirinya adalah anak dari mafia Amerika yang berada di Jepang untuk bersembunyi. Nicole mengalihkan pandangannya ke wajah-wajah yang duduk di depannya untuk mencari Shinichi. Tidak susah untuk menemukan pemuda itu. Satu-satunya murid yang ada di kelas itu dengan rambut panjang yang terikat ke belakang, Shinichi tampak menonjol walau duduk di bagian belakang. Pemuda itu juga sedang menatap ke arah Nicole tanpa berkedip. Pemuda itu seakan sedang mengirimkan telepati kepada Nicole. Wajahnya yang tegang terlihat beku. “Uhm… Na-nama saya Nicole,” gadis itu memulai dengan bahsa Jepangnya yang sempurna. “A... aku… uhm... aku baru saja pindah kemari karena… uhm… karena...,” Nicole melirik lagi ke wajah Shinichi yang sepertinya menahan nafas. Tangan pemuda itu terkepal diatas mejanya. “Karena Shinichi membiayaiku untuk menjadi Shikomi,” Nicole akhirnya melanjutkan penjelasannya dalam satu hembusan nafas. Sontak gumaman langsung terdengar di dalam kelas. Walaupun mereka sudah bisa menebak, tapi mendengar langsung dari bibir Nicole, cukup mengagetkan seisi kelas. Apalagi ketika mereka mendengarkan logat Jepang Nicole yang bagus walaupun gadis itu bukan orang Jepang, semua orang sepertinya hanya kian penasaran. Suara dehaman dari Tomiko meredakan dengungan bisik-bisik dari murid-murid di dalam kelas. “Baiklah, Nicole,” Tomiko berkata. “Duduklah di tempat yang kosong. Buku pelajaranmu belum ada, jadi pinjam saja pada teman sebelah.” Nicole mengangguk dan langsung berjalan ke arah kursi kosong di sebelah Shinichi. Gadis itu menghempaskan tubuhnya ke samping Shinichi sambil membisik, “Semua orang mengamatiku. Apakah yang kukatakan ada yang salah? Shinichi menggeleng dengan wajah nyengir, “Tenang saja. Mereka hanya kaget melihat aku bisa membiayai gadis secantik dirimu.” Kini giliran Nicole yang nyengir. “Awww... kau memujiku cantik?” “Eh… maksudku…uhm….” Shinichi mengelus tengkuknya berusaha menarik kembali ucapannya. “Semua gadis cantik. Bukan hanya dirimu.” Nicole mencebir. Tapi belum sempat ia membalas, guru mereka memulai pelajaran dan Nicole memutuskan untuk melupakan pujian yang baru saja di dengarnya. Pelajaran berlangsung dengan lancar. Tidak ada hambatan sama sekali bagi Nicole untuk mengikuti mata pelajaran hari itu. Apalagi dengan Shinichi mengiringinya kemana-mana, tidak ada yang seorangpun yang mengganggu. Bahkan mendekatinya pun mereka terlihat segan. Hingga, jam makan siang tiba. Shinichi ada pertemuan di Dojo Kendo yang diadakan di sekolah dan harus meninggalkan Nicole sendirian. Sesuatu tentang persiapan pertandingan antar dojo atau hal semacam itu, entahlah, Nicole tidak terlalu paham. “Pertemuan mungkin berlangsung hingga jam pulang sekolah. Temui aku di ruang dojo yang ada di dekat aula setelah jam pelajaran berakhir, ok?” Shinichi berpamitan setelah selesai menghabiskan makan siangnya dengan buru-buru. “Tunggu, kau akan meninggalkanku sendirian?” Nicole bertanya dengan mata membelalak. “Bagaimana jika ada penjahat yang hendak...” Gadis itu mendelik, “Kau tahu... menculikku,” Nicole melanjutkan sambil berbisik. Shinichi mengucek-ucek rambut Nicole sambil tertawa. Membuat gadis itu menampik tangan Shinichi sambil cemberut karena kini rambutnya acak-acakan. “Tenang saja, Missy-chan,” Shinichi menjawab. “Selama kau di kota ini, tidak akan ada orang asing yang bisa masuk tanpa sepengetahuan Paman Kiyoshi. Kujamin.” Pria itu kemudian melambai dan tidak ada yang bisa Nicole lakukan selain diam sambil menatap punggung pemuda jangkung itu menjauh. Nicole sebenarnya bukan takut akan adanya orang yang menculiknya jika Shinichi pergi, ia hanya tidak ingin pria itu meninggalkannya. Setelah beberapa hari bersama pria itu, ada rasa kehilangan kini ia tidak bisa melihat wajah pemuda berambut hitam itu. Tunggu, apakah ia merindukan pria baka itu? Tidak. Tidak mungkin. Semua ini pasti karena ia belum memiliki teman di kota itu selain Shinichi. Ya. Bukan Shinichi yang diperlukannya, melainkan seorang teman. Masih duduk di kursi panjang seorang diri, Nicole mengalihkan pandangannya ke sekeliling kantin. Ia dan Shinichi duduk di sudut ruangan, jauh dari yang lain. Gerombolan pemuda yang duduk di dekatnya tampak sedang berkerumun sambil tertawa terbahak-bahak. Beberapa dari mereka duduk diatas meja dengan kancing baju agak terbuka. Ia bahkan mengenali salah satunya sebagai Botan yang dilihatnya kemarin di rumah Kiyoshi. Hm… para berandalan sekolah, tebak Nicole. Ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dari kerumunan itu, terlebih ketika kini Botan mulai menyadari kehadirannya yang tanpa Shinichi dan mulai menatapnya dengan pandangan yang membuat Nicole tidak tenang. Agak ke sebelah kiri, ada tiga murid wanita yang sekelas dengannya, kini sedang duduk sambil berbisik-bisik. Dari dandanannya yang modis yang bahasa tubuh mereka yang percaya diri, Nicole bisa menyimpulkan bahwa ketiganya pastilah anak populer di sekolahnya. Ketiga gadis itu memiliki rambut hitam lurus dengan kulit wajah putih dan tubuh ramping. Mendadak salah satunya menoleh dan menatap ke arah Nicole. Gadis berambut panjang sepunggung itu dikenali Nicole sebagai salah satu teman sekelasnya. Nicole ingat benar. Mengapa? Karena di kelaspun gadis itu beberapa kali terlihat melirik ke arahnya. Nicole mengangkat bibirnya ke atas, membentuk sebuah senyuman ke arah gadis itu. Bukannya membalas, perempuan itu malah melengos dan membalikkan badannya kembali ke arah teman-temannya. Cih! Gerutu Nicole dalam hati. Sok cantik. “Hei!” Sebuah sapaan tiba-tiba terdengar di sebelah Nicole. Ia menoleh ke samping dan menemukan dua orang gadis sudah mendudukan diri di sebelahnya. Satu kurus jangkung, berkacamata, sementara yang lain pendek, dan berisi. “Hei…?” Nicole membalas sapaan gadis itu dengan suara tidak yakin. “Aku Miya,” gadis jangkung yang berkacamata menunjuk dirinya sendiri sebelum menunjuk ke arah temannya yang gemuk. “Dan ini Sany Miya memiliki rambut yang halus dan tipis, sementara Sany memiliki rambut tebal, kasar dan pendek. Keduanya langsung bisa ditebak oleh Nicole sebagai murid ‘pinggiran’ yang pasti sering diejek. Bukan jenis teman yang biasa di miliki oleh Nicole. “Oh. Aku Nicole,” Nicole membalas sedikit ketus. Ia tidak ingin terlihat akrab dengan keduanya. Berteman dengan murid ‘pinggiran’ hanya akan membuatnya sasaran. Ia perlu berteman dengan gadis-gadis populer tadi. Nicole mengalihkan pandangannya kembali ke arah ketiga gadis di meja seberang yang kini sedang cekikikan sambil melirik kearah nya. Ah sial, mereka sudah menyadari kehadiran Miya dan Sany di mejanya. Bubarlah rencananya untuk berteman dengan salah satu dari mereka. “Itu Yui, Sara, dan Sakura,” Miya yang duduk di sebelah kanan Nicole berbisik. “Berhati-hatilah pada Sakura. Ia sudah mengincar Shinichi sejak lama.” Nicole mengerutkan keningnya dan menoleh ke arah Miya yang ada di sebelahnya. “Yang mana Sakura? Dan mengapa aku harus berhati-hati? Lalu apa maksudnya ia mengincar Shinichi?” “Yang duduk membelakangi kita,” Miya menunjuk ke depan dengan dagunya. “Itu Sakura.” Sany yang duduk di sebelah Miya menambahkan, “Ia adalah anak Jinro-san dan geishanya. Ia juga dilatih untuk menjadi seorang geisha sepertimu. Sepertinya ia berharap, Shinichi akan memilihnya dan bukannya membawa wanita asing sepertimu.” Miya yang terjepit diantara Sany dan Nicole meringis. “Ihh… Sany! Kau menggencet ku!” Gadis itu berteriak sambil mendorong Sany dengan bahunya. Seakan tidak terpengaruh oleh protes temannya, Sany melanjutkan, “Yang pasti, jauhi mereka. Mereka sudah membencimu bahkan sebelum kau datang. Kudengar mereka hendak merencanakan sesuatu untukmu.” Miya ikut mengangguk dan menatap Nicole, “Ya, berhati-hatilah.” “Apa?” Nicole mengedip kebingungan. Bagaimana mungkin baru juga beberapa jam berada di sekolah baru, seseorang sudah membencinya? Bukan hanya itu, gadis-gadis itu bahkan merencanakan hendak melakukan sesuatu kepadanya? Apa-apaan? “Rencana apa yang kau maksud?” Nicole bertanya dengan wajah bingung. Miya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku bukan termasuk golongan mereka. Jadi mana aku tahu.” Nicole menggigit bibir bawahnya. Bisakah ia mempercayai keduanya? Jangan-jangan mereka hanya sekedar iseng. Tapi keduanya tidak terlihat seperti gadis yang suka mem-bully. Justru Sakura dan teman-temannya lah yang patut di waspadai. Nicole akhirnya memutuskan ada baiknya berhati-hati. “Oke. Thanks sudah memperingatiku kalau begitu,” Nicole berkata. “Mengapa kalian menolongku?” “Entahlah,” Miya mengedikkan bahunya sambil melirik ke arah Sany. “Kau tampak seperti anak anjing yang tersesat begitu Shinichi pergi. Lagipula, bisa kulihat bahwa kau butuh teman.” “Ya,” Sany kembali mendekatkan tubuhnya ke arah Nicole, menggenjet Miya yang ada di tengah-tengah. “Gadis-gadis kutu buku seperti kita harus bersatu agar bisa melewati SMA secara utuh.” Gadis-gadis kutu buku. Nicole menghela nafas. Terbanglah sudah harapannya untuk menjadi salah satu dari murid populer di sekolah barunya. “Omong-omong, bagaimana ceritanya hingga kau dimiliki oleh keluarga Goto?” Miya bertanya dengan wajah penasaran. Nicole mengedikkan bahunya. “Entahlah.... Hutang keluarga?” Nicole menyebutkan alasan pertama yang muncul dalam benaknya. Untung saja jawabannya sepertinya cukup masuk akal karena kini Miya dan Sany menganggukkan kepala mereka bersama-sama. “Hm… pasti susah ya harus meninggalkan keluarga dan hidupmu yang lama?” Pertanyaan Sany membuat Nicole mendadak memikirkan kedua orang tuanya. Terakhir Nicole menelepon ayahnya, ia terlalu sibuk melaporkan Shinichi, ia sampai lupa tidak menanyakan kapan ayah dan ibunya. Apakah mereka baik-baik saja? Bagaimana dengan orang-orang yang mengincar mereka? Bagaimana dengan paman-pamannya? Ice, Phyton, Tiger, Potter, Kid. Apakah mereka semua baik dan sehat-sehat saja? Nicole menelan ludahnya berusaha untuk menahan air matanya agar tidak keluar. Melihat mata Nicole yang mulai berkaca-kaca, Sany langsung menambahkan, “Maafkan aku, bukan maksudku untuk membuatmu bersedih, Nicole-san. Lagi pula, Shinichi adalah pria yang cukup baik, kok. Ia akan merawatmu dengan benar. Lagipula kudengar dari kakak ku, Kiyoshi-sama mengumumkan bahwa Shinichi akan menjadi penerus ketua klan Goto. Jika nanti kau menikahinya, bisa di pastikan dirimu akan menjadi wanita terkuat di kota ini. Bukan begitu, Miya?” Miya mengangguk, “Ya, kudengar koneksi klan Goto sampai ke negara Barat.” “Benar. Tapi wajar jika mereka memiliki kawan di Barat. Ayah Shinichi kan tinggal di sana cukup lama.” “Ah ya, kudengar ada mafia yang berhutang nyawa pada ayah Shinichi, seorang mafia wanita kalau tidak salah. Bahkan karena itulah Shinichi kehilangan ayahnya. Pria itu meninggal karena melindungi wanita itu.” “Hm... apakah mereka saling jatuh cinta atau semacamnya?” “Entahlah. Mungkin. Satu-satunya alasan seseorang mengorbankan nyawa, bukan?” Nicole hanya membungkam. Ia tahu siapa yang kedua teman barunya sedang bicarakan. Ibunya dan Shinjiro. Kejadian yang mereka ceritakan sudah lama terjadi, sebelum ia lahir. Tepatnya ketika ibunya sedang hamil dirinya. Tapi, yang hingga sekarang tidak dipahami oleh Nicole, jika keluarganyalah yang menyebabkan hancurnya keluarga Shinichi. Mengapa pemuda itu masih berniat melindunginya? Entahlah. Mungkin suatu saat ia bisa bertanya kepada Shinichi. Ketika keadaan sudah lebih memungkinkan. Bel usai istirahat berbunyi. Karena Miya dan Sany tidak satu kelas dengan Nicole, ketiganya berpisah. Nicole berjalan masuk ke dalam kelasnya seorang diri sambil masih memikirkan tentang keluarga Shinichi ketika seseorang mendadak mendorong tubuhnya dari belakang. Tidak siap dan sedang dalam keadaan melamun, Nicole langsung jatuh tersungkur ke depan. Untunglah kedua tangannya dengan sigap terjulur menahan kepalanya agar tidak terantuk ubin. “Cih! Jalan lihat-lihat donk!” Suara seorang perempuan terdengar dari balik punggung Nicole. Baru saja Nicole hendak menoleh, beberapa orang melangkahi tubuhnya dan berjalan berlenggang menuju kelas sambil tertawa cekikikan. Sakura dan antek-anteknya. d**a Nicole terasa panas. Ia langsung bangun dan menjerit, “Heh, bakayarou. i***t! Kau yang menubruk ku dari belakang. Sepertinya, dirimulah yang tidak memiliki mata!” Sekarang, orang Jepang adalah salah satu dari orang yang paling sopan di dunia, Nicole tahu. Mereka jarang memaki atau marah-marah di tempat umum. Jadi bagi seorang pendatang baru seperti Nicole, seorang gaijin dan wanita, memaki Sakura di lorong kelas yang ramai, tentu saja langsung membuat beberapa orang yang ada di sekitar mereka menarik nafas. Sayang, Nicole tidak peduli. Darah yang mengalir di dalam nadi gadis itu bukanlah darah gadis biasa, melainkan darah panas ibunya. Jadi bisa dipastikan, ia tidak akan tinggal diam jika di tantang. “Apa katamu?” Sakura menggeram perlahan dan membalikkan tubuhnya. Matanya yang sipit kini membelalak menatap ke arah Nicole. “Kataku. Pakai. Matamu. Bakayarou,” Nicole mengulang dengan penuh penekanan pada setiap katanya. Kini terdengar gemuruh suara bisik-bisik dari teman sekelasnya. Kedua teman Sakura, Yui dan Sara bahkan kini sudah merapatkan barisan di sebelah Sakura layaknya geng powerranger yang hendak bertempur melawan musuhnya. Wajah mereka serius, dengan mata melotot dan tangan terkepal. Sakura melangkah lebar ke arah Nicole hingga hanya berjalan beberapa senti sebelum kemudian mendorong, “Kau berani menantangku, hah? Murid baru?” Nicole terdorong kebelakang tapi tidak menjawab. Ia hanya mengingat ajaran ibunya. Ketika dirimu berada di posisi lemah, efek kejut, bisa membantumu membela diri. PLAK! Tanpa aba-aba, Nicole melayangkan telapak tangannya melintasi wajah Sakura. Keras. Hingga wajah gadis itu terhuyung ke samping layaknya seorang yang sedang mabuk alkohol. Bekas tapak merah langsung terlihat di pipi Sakura yang putih. Tidak menunggu Sakura membalas, Nicole mengeratkan kepalan tangannya dan menariknya kebelakang. Terima kasih pada ajaran ayahnya, Nicole paham cara memukul yang baik dan benar. DUAG! Kepalan tangan Nicole menghantam tepat ke hidung Sakura. “Aww!” Jeritan Sakura menggema di dalam lorong sekolah yang kini ramai. Perempuan itu menelungkupkan tangannya ke depan bibir sambil menoleh ke arah kedua temannya. “Jangan diam saja. Balas!” Kedua teman Sakura, yang awalnya hanya mampu melongo kaget, kini saling berpandangan satu sama lain. Mungkin ragu untuk ikut campur melawan seorang gaijin yang bertubuh lebih tinggi dan lebih nekat dari mereka. Tapi melihat pelototan mata Sakura, Yui akhirnya memutuskan untuk menyerbu. Perempuan itu meraih lengan Nicole, mungkin dengan niat hendak memeganginya agar temannya bisa membalas. Tapi Nicole mengelak dan dengan mudahnya melandaskan kepalan tangannya ke wajah Yui yang langsung terjengkang ke belakang. Lorong mulai ramai. Teriakan terdengar. Sebagian menertawakan Yui dan Sakura yang kalah orang murid yang baru saja masuk, sementara sebagian mulai menyoraki Nicole. Suara keributan membawa guru wali kelas mereka muncul. “Apa-apaan ini?!” Tomiko berseru dengan tangan di dahi dan mata terbelalak lebar. Wanita itu menatap bergantian kearah Sakura, Yui, Sara dan Nicole bergantian sebelum kemudian mengangkat telunjuknya ke arah ujung lorong. “Kalian berempat, ruang kepala sekolah. Sekarang!” *** ***

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN