6 : Desa Quoying

2400 Kata
Hangnim menatap suasana pedesaan yang begitu asri, desa ini tidak begitu luas tapi mampu menampung rakyat yang cukup ramai. Senyuman tak henti-hentinya merekah dari bibir manisnya, ia merasa bebas tanpa beban.   Dihadapannya sudah banyak penduduk desa yang sedang melakukan aktivitas, ada yang berkebun dan ada juga yang sedang mengurusi anak-anak mereka. Sungguh tentram dan damai.   "Fai, Mai. Lihatlah mereka! Mereka begitu tenang, tak memikirkan perang antar saudara demi mendapatkan tahta ataupun jabatan. Berusaha mencari sesuap nasi demi keluarga dirumah, saling bercengkrama antar penduduk." Gumam Hangnim yang masih menatap kesibukan di pedesaan tersebut.   Faizu dan Maizu mengiyakan, mereka pernah merasakan kedamaian ini kala belum menjadi dayang kediaman Huosheng. Dua kakak beradik yatim piatu itu memutuskan untuk berkelana mencari pekerjaan, dan yah.. mereka bertemu dengan mendiang Ibu dari Hangnim, mereka diangkat menjadi teman bermain bagi Hangnim.   Baik Faizu ataupun Maizu sama-sama sungkan, mereka merasa tidak pantas berteman dengan Hangnim secara cuma-cuma. Oleh sebab itu, Faizu dan Maizu memilih merangkap menjadi dayang pribadi Hangnim, gadis yang baik dan juga menghargai orang lain.   Dalam benak kakak beradik itu, mereka akan terus setia terhadap anak cucu dari Ibunda Hangnim dan juga Hangnim sendiri.   Saat melihat Hangnim yang terpuruk karena kehilangan sang Ibu, membuat Faizu dan Maizu turut bersedih. Apalagi semenjak Selir Yuen menunjukkan taringnya, Hangnim selalu diperlakukan semena-mena dan berusaha untuk disingkirkan dari kediaman Huosheng. Syukurlah, saat ini Hangnim mampu bangkit melawan ketidakadilan yang selama ini ia dapatkan.   "Ya, Hangnim. Aku jadi merindukan desaku dan mendiang keluargaku." Balas Maizu sembari mengelap setitik air matanya.   Hangnim menoleh, ia memanyunkan bibirnya. "Aku adalah keluargamu, kau tak menganggapku?"   Maizu terkekeh. "Tentu saja kau adalah keluargaku, atau lebih tepatnya adalah adikku." "Kita adalah keluarga." Tambah Faizu, gadis itu kembali ceria setelah melupakan kejadian tak mengenakkan tadi.   Maizu berusia dua puluh tahun, sedangkan Hangnim dan Faizu sama-sama berusia sembilan belas tahun. Hangnim bersyukur, setidaknya usianya sama seperti dirinya di zaman modern. Ia tidak bertransmigrasi ditubuh bocah kecil seperti yang sering ia baca dinovel-n****+, karena pasti ia akan merasa aneh jika menempati tubuh yang jauh lebih kecil darinya.   "Ayo kita berkeliling lebih jauh." Seru Hangnim bersemangat.   "Tentu saja." Jawab Faizu dan Maizu serentak.   Ketiganya berjalan menyusuri pedesaan Quoying, desa yang terkenal akan tanah suburnya. Maka dari itu mayoritas penduduknya adalah petani, mereka menggarap sawah atau kebun yang ditanami berbagai macam tumbuhan.     Hangnim mendapati seorang wanita baya sedang menggendong tanah basah dalam karung yang dipanggulnya, sosok itu terlihat susah payah karena punggungnya bungkuk termakan usia.   Melihat itu pun Hangnim segera mungkin mendekatinya, diikuti Faizu dan Maizu di belakang.   "Permisi Nenek, bolehkah aku membantumu?" Hangnim menghentikan wanita baya itu tepat didepannya guna menawarkan bantuan.   Wanita itu menyipitkan matanya guna meemfokuskan pandangan, dilihatnya sosok gadis manis mengenakan pakaian sederhana nan rapi.   “Itu merepotkanmu, Nak.” Balasnya.   Hangnim menggeleng kecil lalu berkata, “Sama sekali tidak merepotkan, mari ku bantu.”   "Baiklah kalau begitu, terimakasih telah membantuku."   Dengan segera Hangnim mengambil alih karung tersebut dan memanggulnya. Sontak saja Faizu dan Maizu membulatkan matanya, keduanya segera mendekati junjungannya.   "Hangnim, biarkan aku saja yang membawanya." Faizu menawarkan dirinya.   "Kau tidak pantas melakukan ini, biarkan salah satu dari kami yang membawanya." Maizu juga menyahut, mana mungkin mereka diam saja melihat junjungannya melakukan pekerjaan berat.   Hangnim mendengus, ini hanya tanah yang beratnya tak seberapa. Bahkan sosok Lea Hangnim sering mengangkut tubuh lawannya untuk dibantingkan ke matras pertandingan, ia sangat kuat untuk itu.   "Kalian berisik sekali. Lebih baik kalian memapah tubuh Nenek ini, bantu ia berjalan." ujar Hangnim.   Terlihat Nenek tersebut sedang berusaha berjalan dengan tegap dengan punggung bungkuknya.   "Eumm kau yakin? Itu sangat berat." Maizu ragu-ragu.   "Ya, Maizu, ayo!" Hangnim mulai berjalan.   Baru beberapa langkah berjalan, Hangnim menghentikan langkahnya.   "Tujuan Nenek mau kemana? Dan kalau boleh tahu, siapakah nama Nenek?" Ia lupa menanyakannya.   "Kebun milikku, letaknya tidak jauh dari sini. Kalian bisa memanggilku Nenek Shin." Jawabnya.   Hangnim mengangguk. "Baiklah, mari kita kesana."   Faizu dan Maizu menjalankan perintah dengan baik, keduanya membantu Nenek Shin untuk memapah tubuh ringkihnya.   Sepanjang perjalanan Hangnim tersenyum menyapa orang-orang yang ditemuinya, mereka tidak mengenali Hangnim sebagai anak Menteri Huosheng. Selain karena Hangnim yang jarang keluar rumah, juga karena Hangnim berdandan layaknya orang biasa.   Jalanan menuju kebun dipenuhi oleh kubangan air dan juga bebatuan terjal, Hangnim meringis karena tidak ada aspal di zaman ini. Sungguh, sangat menyedihkan.   Sederetan perkebunan mulai terlihat, di sana ada lahan luas yang sedang digarap oleh penduduk. Hangnim semakin menambah laju langkah kakinya, tak sabar untuk ikut terjun membantu mereka.   “Sudah sampai, kalu bisa meletakkan karungnya di sini saja.” Nenek Shin menunjuk pohon apel, meminta agar Hangnim meletakkan karung di sana.   “Baik, Nek.” Hangnim segera menurunkan karung yang ia panggul.   "Terimakasih, Nak. Ayo kalian ke gubuk itu."   Ketiganya hanya mengikuti, mereka digiring menuju gubuk yang tak jauh dari lahan. Mereka disuguhi air mineral dan juga buah-buahan.   "Aku hanya memiliki ini untuk dihidangkan, semoga kalian suka." ujar perempuan baya itu.   "Ahh, ini sudah lebih dari cukup." Jawab Hangnim, gadis itu meraih kendi air lalu menuangkannya pada gelas perak.   Perempuan baya tersebut tersenyum di antara pipi keriputnya. "Nama kalian siapa, dan tinggal di mana?"   "Namaku Hangnim. Mereka adalah teman-temanku, Faizu dan Maizu, kami tinggal tak jauh dari sini." Hangnim sengaja menutupi tempat tinggalnya, ia tak mau orang-orang tahu bahwa dirinya adalah Jia Hangnim anak dari Menteri Huosheng.   Hangnim mengedarkan pandangannya melihat penduduk yang sedang menanam biji-bijian. Mereka terlihat kesusahan dan juga ekspresi tak puas dari wajahnya.   "Biji apa yang mereka tanam?"   "Itu biji tomat, beberapa bulan ini sering terjadi gagal panen. Panen yang dihasilkan sangat buruk kualitasnya, mereka tidak bersemangat karena itu."   “Bukankah Desa Quoying terkenal memiliki tanah yang subur?” tanya Hangnim lagi, ia sangat penasaran.   Nenek Shine menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. “Memang, tapi entah kenapa akhir-akhir ini musibah gagal panen menghampiri desa Quoying.”   "Apa sudah menggunakan pupuk?"   "Pupuk? Apa itu?" Tanya Nenek Shin.   Hangnim menepuk pelan dahinya, ia lupa bahwa kini bertransmigrasi ke era kuno, bahkan pupuk pun tidak diketahui.   "Pupuk adalah bahan tambahan yang digunakan untuk menyuburkan tanaman." Hangnim mengetuk pelan dagunya, ia memikirkan suatu ide.   "Ahh ya, apa di sini ada yang memiliki banyak kuda?" Tanyanya.   Maizu mendekatkan bibirnya di telinga Hangnim. "Di kandang kediaman Menteri Huosheng banyak kuda."   Secercah harapan muncul, Hangnim akan membuat pupuk organik dari kotoran kuda. Melihat Hangnim yang senyum-senyum sendiri tidak jelas membuat mereka bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan gadis itu.   "Nenek, beberapa hari lagi aku akan kemari lagi. Boleh?" Tanya Hangnim, ia menatap wanita baya itu.   "Tentu saja, aku setiap hari akan berada di sini. Dan jika kau tak keberatan, mampirlah ke rumahku, ada di sebelah sana." Nenek itu menunjuk rumah yang jaraknya cukup jauh dari kebun, tapi masih bisa terlihat oleh mata.   "Baiklah, kami undur diri terlebih dulu." Hangnim mengangguk sopan, disusul oleh Faizu dan Maizu.   Ketiganya berjalan menjauhi lahan, Hangnim masih memikirkan kemungkinan untuk melancarkan idenya. Harus berhasil! Kebetulan sekali jika kediaman Ayahnya ada kandang kuda, ia tidak perlu susah payah mencari-carinya. "Kau berniat kembali ke sini, Hangnim?" Tanya Maizu ditengah perjalanan mereka. "Tentu saja." Hangnim mengangguk kuat-kuat, tekadnya sudah bulat.   "Kau sudah tidak takut kulitmu terpapar sinar matahari?" Hangnim menggeleng.   "Kan sudah ku bilang, lupakan sifatku yang dulu. Aku telah berubah, Mai." Maizu terkesiap, benar. Ia bahkan sampai terkejut dengan perubahan Hangnim yang sekarang.   "Ya, Hangnim. Aku sungguh bahagia melihatmu seceria sekarang, aku sudah lama menunggumu untuk bangkit dan ceria seperti ini." Maizu menitikkan air mata bahagia.   Hangnim tersenyum lembut, ia mengelus punggung Maizu dengan perlahan. "Kalian akan menjadi orang pertama yang melihat perubahanku." Gumamnya, matanya menyorot ke depan dengan penuh keyakinan. *** Sesampainya di kediaman, Hangnim buru-buru menuju ke belakang. Benar saja, ia menemukan kandang kuda yang cukup luas. Terlihat ada tiga puluh ekor kuda di sana, tentu saja seorang Menteri harus memiliki banyak kuda berbagai jenis sebagai tunggangan, serta mengoleksi kuda-kuda terbaik. Faizu dan Maizu mengekori junjungannya, keduanya belum mengetahui tentang apa itu pupuk, dan kenapa Hangnim mencari-cari kandang kuda. "Hangnim, sebenarnya apa yang akan kau lakukan dengan kuda-kuda ini?" Tanya Faizu memecah keheningan. Ketiganya sudah berada di kandang kuda, sedangkan Hangnim bahkan menunduk mencari-cari letak kotoran hewan tersebut. "Di mana tempat pembuangan kotoran kuda?" Tanya Hangnim sembari menegapkan tubuhnya, kandang tersebut telah bersih, yang berarti baru saja dibersihkan kotorannya. Faizu dan Maizu menautkan alisnya. "Untuk apa mencari kotoran kuda?" "Nanti akan ku jelaskan, ayo tunjukkan tempatnya." Maizu mengitari kandang luas tersebut, ia mencari di mana letak pembuangan kotoran. Kepalanya celingak-celinguk kesana-kemari, kakinya melangkah berbelok ke sudut kandang yang letaknya paling belakang lagi. "Itu di sana, syukurlah belum sempat dibuang." Ujar Maizu, ia menunjukkannya pada Hangnim. Hangnim mengikuti arah telunjuk Maizu, ia mendekati sebuah gunungan yang berisi kotoran kuda. Bau menyengat memenuhi hidungnya, tapi Hangnim tak merasa terganggu karena itu. Padahal Faizu dan Maizu sudah berusaha menutup hidungnya, sesekali ia melihat Hangnim yang malah menatap setumpuk kotoran itu dengan berbinar bagai harta karun. "Sekarang jelaskan padaku untuk apa kau mencari kotoran kuda?" Faizu tidak bisa menghentikan rasa penasarannya. Hangnim membalikkan badan, ia menatap dua kakak beradik tersebut. "Aku akan membuat pupuk organik dari kotoran kuda, untuk menyuburkan tanaman." Faizu dan Maizu menatap aneh junjungannya. "Kau menggunakan kotoran untuk menyuburkan tanaman? Bukankah itu errr menjijikkan?" Hangnim menghela napas panjang, ia harus menjelaskannya pada mereka agar tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik telinga. "Pertama-tama aku akan mengolah kotoran kuda ini menggunakan bahan-bahan tertentu, jadi tidak akan berbentuk kotoran sepenuhnya. Akan ada bahan campuran agar berhasil menjadi pupuk." "Begitu?" Hangnim mengangguk. "Ya, jika kalian keberatan membantuku tidak apa-apa aku mengerti, namanya juga kotoran pasti orang akan merasa jijik." Faizu dan Maizu gelagapan, bukan seperti itu maksud mereka. "Eh tidak-tidak, kami akan membantumu." "Kalian yakin tidak merasa jijik?" Hangnim menaik turunkan alisnya berusaha menggoda keduanya. "T-tidak, ya kan Mai?" Tanya Faizu pada kakaknya, yang langsung diangguki oleh Maizu. "Baiklah, ayo bantu aku mengangkutnya. Faizu tolong cari gerobak atau apapun itu terlebih dulu, Mai kau bawakan aku bubuk gergaji, di sini ada pengrajub kayu ‘kan?" Hangnim memberi arahan pada dua dayangnya. “Ada.” Dengan gesit Faizu dan Maizu segera melaksanakan perintah junjungannya. Ada banyak tumpukan kotoran kuda di pembuangan, daripada itu semua berakhir sia-sia lebih baik dimanfaatkan sebaik mungkin. Hangnim akan berusaha mengolahnya agar dapat bermanfaat bagi penduduk desa.   Faizu datang terlebih dulu membawakan gerobak berukuran sedang, Hangnim mengapresiasi gerak cepat gadis itu. Ia membantu Faizu untuk mendorong gerobak tepat disamping tumpukan kotoran, setelahnya Hangnim mencari-cari sekop atau cangkul untuk memindahkannya. "Ahh, gotcha!" Pekiknya senang ketika mendapati cangkul teronggok di sudut kandang. Hangnim mengarahkan cangkulnya pada kotoran tersebut dan ia menaruhnya pada gerobak yang telah disediakan Faizu, ia mengulanginya beberapa kali hingga keringat menetes dari dahinya. Sedangkan Faizu masih diam mencerna kegiatan Hangnim, ia masih tidak paham cara kerjanya. "Apa Mai belum kembali?" Tanya Hangnim pada Faizu, matanya menatap sekeliling dan belum mendapati kepulangan Maizu. Faizu tersentak lalu menjawab, "Sepertinya dia belum kembali." Hangnim mengangguk, ia kembali mencangkul kotoran kuda untuk terakhir kalinya hingga benar-benar habis tak bersisa. Ia mengulas senyuman sembari mengelap keringat yang sudah berjatuhan, kerja yang baik Hangnim! "Kita bawa ke belakang paviliunku, kita kerjakan di sana saja." Tukas gadis itu, Hangnim meletakkan cangkul ke atas gerobak. Hangnim dibantu Faizu untuk mendorong gerobak tersebut, dalam perjalanan keluar kandang ia bertemu dengan beberapa pengawal yang menatapnya dengan heran. Untuk apa seorang gadis sepertinya mengangkut-angkut segerobak kotoran, antara jijik dan penasaran mereka sesekali melirik anak dari junjungannya. Hangnim mengabaikan tatapan itu, ia terus saja menarik gerobak keluar kandang. Ia berada di depan, sedangkan Faizu di belakang. Jika mereka penasaran, mereka bisa langsung bertanya kan? Semudah itu. Menuju paviliun Hangnim harus melewati beberapa ruangan lain, yaitu paviliun Huosheng beserta sang selir, dan juga paviliun-paviliun lain yang menjadi tempat tinggal beberapa orang kepercayaan Huosheng. Paviliun Hangnim berada paling belakang, yang langsung berbatasan dengan tanah lapang luas. Hangnim tidak keberatan akan hal itu, ia malah senang karena di sana tak terlalu ramai oleh lalu lalang orang-orang. Dipertengahan jalan Hangnim bertemu dengan Riuyu, ia hanya diam dan masih melanjutkan kegiatannya. Namun, Suara Riuyu terdengar menggaung di telinga. "Seorang sampah sedang mengangkut sampah, ups kotoran!" Sarkasnya, Riuyu melirik gerobak dan Hangnim bergantian. Hangnim memutar bola mata jengah. "Fai, kau mendengar suara iblis tapi tak berwujud?" Faizu mengangguk. "Ya, kau benar Hangnim." "Ahh, baiklah kita lanjutkan saja perjalanan kita." Ucap Hangnim yang langsung melanjutkan langkahnya, disusul Faizu yang sedang menatap Riuyu dengan sengit. Saat ini Hangnim tidak berselera berdebat dengan Riuyu, mungkin besok-besok saja. "Heh pelayan sialan, berani-beraninya kau menatapku seperti itu." Riuyu berteriak-teriak menggila, tapi baik Hangnim ataupun Faizu sama-sama tidak menanggapinya. Riuyu mengibaskan tangannya dengan kesal, ia berjalan menjauh dari tempat itu. Sedikitnya kini Faizu sudah berani membantah orang-orang yang menindas junjungannya, ia akan membela Hangnim mati-matian. "Kau lihat ekspresinya tadi, Fai?" Hangnim bergumam pada Faizu, rasanya puas sekali melihat Riuyu kesal. "Dia benar-benar kesal, hahaha." Faizu menyemburkan tawanya. "Seharusnya aku melempar kotoran ini ke wajahnya tadi, kenapa aku bisa lupa." Hangnim memukul dahinya pelan, akan menyenangkan jika ia melempar kotoran ini pada Riuyu. "Kapan-kapan lagi aku akan mengingatkanmu. Kau tahu, Riuyu sering berlaku buruk padamu sejak dulu. Saat ini kau mampu melawannya, dia pasti benar-benar kesal." Masih diingatnya dengan jelas bagaimana Riuyu dan Selir Yuen memperlakukan Hangnim dengan buruk, bahkan Hangnim diperlakukan lebih rendah dari seorang pelayan. Saat ini Faizu turut merasa bahagia karena Hangnim mampu bangkit melawan orang yang ingin memprovokasi dirinya. Hangnim lebih kuat dan tegar, Hangnim baru sangat berani dibandingkan yang dulu lemah dan lugu. Tanpa terasa mereka sudah sampai di paviliun Hangnim, gadis itu meletakkan gerobaknya pada tanah lapang di sana. Ia kembali mencangkulnya untuk ia taruh di bawah, kali ini Faizu membantu junjungannya karena Hangnim tak pantas melakukan pekerjaan kasar ini. "Biarkan aku saja yang melakukannya, kau istirahatlah." Ujar Faizu pada Hangnim, ia takut jika junjungannya kelalahan dan bisa jatuh sakit. "Tidak apa-apa, kita kerjakan bersama saja." Hangnim memahami kepedulian dayangnya, tapi ia juga tidak bisa berdiam diri. Jangan lupa bahwa Lea Hangnim adalah gadis yang super aktif. Keduanya semakin semangat memindahkan kotoran tersebut dari gerobak ke tanah, tak berselang lama sebuah suara seorang gadis lain menginterupsi kegiatan mereka. Maizu datang dengan terengah-engah. "Aku mencari kalian kemana-mana, tak tahunya sudah ada disini." "Ya, kami memindahkan kotorannya ke mari." Jawab Faizu yang masih berkutat dengan kegiatannya. "Kau mendapatkan barangnya?" Tanya Hangnim, ia menegapkan punggungnya yang terasa nyeri. Maizu mengangguk, gadis itu menunjukkan sekarung bubuk gergaji. "Ini, tapi tidak banyak." Hangnim memeriksanya sejenak. "Tak apa, ini sudah lebih dari cukup. Sekarang kalian beristirahatlah, besok kita akan mengerjakannya, membuat pupuk untuk tanaman." "Baiklah, ayo kita masuk ke dalam.” Mereka telah menyelesaikan kegiatan memindahkan kotoran, ketiganya berniat istirahat dan melanjutkannya lagi esok hari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN