Hangnim menghirup udara pagi yang terasa sejuk, saat ini ia berada di luar kamarnya yang langsung berbatasan dengan kolam luas milik kediaman Huosheng. Di sebrang kolam terdapat gazebo yang indah, itu pun harus dilalui dengan menyebrangi jembatan kecil.
Dalam ingatan pemilik tubuh, kolam itu lah yang membuatnya mati dan rohnya digantikan oleh Lea Hangnim. Kematian yang lebih buruk dari dirinya. Jika Lea mati karena terpapar virus corona, maka Jia mati karena tenggelam di kolam.
Selain taekwondo, Lea Hangnim juga menyukai olahraga renang. Sungguh betapa malunya ia harus menempati tubuh tak berguna ini, kenapa ia tidak ditaruh pada tubuh nona bangsawan elit yang mampu mengendalikan semua bidang.
Oke, terus mengomel tak akan ada habisnya, karena ini sudah menjadi nasibnya.
Segerombolan dayang tiba-tiba muncul dari arah samping Hangnim, mereka bertiga sedang tertawa kecil diselingi dengan obrolan-obrolan tak penting. Saat mereka ingin berjalan menuju jembatan, langkahnya terhalang oleh tubuh Hangnim yang sedang berdiri di ujung jembatan tersebut.
"Heh, minggir kau!" Seru salah satu dari mereka.
Hangnim memutar tubuhnya, menatap mereka bertiga dengan pandangan datar. Dari ingatannya, mereka adalah orang-orang yang pro terhadap Selir Yuen, tentu saja mereka membenci Hangnim. Bahkan dari gelagatnya saja mereka tidak memiliki sopan santun terhadap dirinya, malang sekali nasib si pemilik tubuh yang tak dihormati oleh sekelas pelayan rendahan sekalipun.
"Bukankah ini adalah jam kerja, kenapa kalian malah membolos?" Setahunya, pergantian jam kerja masih beberapa jam lagi, dan dengan seenaknya dayang-dayang itu berniat membolos dan bermalas-malasan.
"Bukan urusanmu, lagipula sejak kapan kau berani berbicara, kau hanyalah putri yang tak berguna." Kini seorang dayang yang berada ditengah menambahi.
Baiklah, sudah cukup berbasa-basi. Lea Hangnim akan memberi mereka pelajaran.
Kakinya menuruni jembatan tersebut, ia melangkah mendekati dayang itu. Mata setajam elang, gigi saling menggertak, ekspresi wajah yang bengis mampu membuat ketiga dayang itu terdiam.
"Tentu saja aku berani berbicara, apalagi hanya dengan pelayan rendah seperti kalian. Ah, lemah ya? Maka akan ku tunjukkan sekuat apa diriku untuk membalasmu." Senyuman sinis Hangnim mampu menghantarkan rasa ketakutan pada mereka.
Pertama-tama Hangnim menarik tatanan rambut salah satu dari mereka hingga memekik kesakitan, sedangkan dua orang disampingnya mencoba untuk membantu.
"Bergerak sedikit saja, kepala temanmu akan botak." Peringatan Hangnim terdengar kejam, tidak ada yang boleh membantu pelayan sialan ini.
Entah kenapa berada di zaman ini membuatnya senang karena bisa leluasa menyiksa orang lain yang berani macam-macam terhadapnya, tidak ada hukum yang adil, oleh sebab itu Hangnim akan membalas perbuatan orang-orang jahat ini setimpal mungkin.
Hangnim adalah putri, sedangkan mereka hanya lah pelayan, tentu saja pelayan-pelayan itu akan kesulitan mencari keadilan.
"Argh.. lepaskan aku, Bòdoh! Akan ku laporkan perbuatanmu pada Selir Yuwen, gadis kurang ajar." Jerit Dayang itu lagi, ia benar-benar tidak kapok memprovokasi Sang Putri.
PLAK!
Hangnim menampar bibir dayang tersebut hingga terhuyung. "Kau mengataiku 'hah? Aku adalah Putri di sini, derajatku lebih tinggi darimu. Laporkan saja pada wanita sialan itu, aku tidak takut."
Kedua dayang lain yang menyaksikan itu langsung terdiam, mereka heran dengan sikap Hangnim yang baru. Sepertinya mereka sudah tidak bisa memprovokasi Hangnim lagi, Hangnim yang sekarang sangat mengerikan.
Hangnim melirik ke kolam, seringaian terbit di sela-sela bibirnya. Ia menarik pakaian dayang tersebut dengan kasar, lalu melemparkannya ke kolam.
BYURRR
Dayang itu megap-megap di kolam, ia berusaha mencari-cari pegangan tapi sulit.
"Hahahaha.. Rasakan, kau pantas untuk mati." Aura yang dikeluarkan Hangnim begitu menyeramkan.
Rasanya puas sekali, Lea membayangkan bagaimana tersiksanya Jia ketika ia tercebur di kolam itu bahkan tak ada yang berniat menolongnya sama sekali. Katakan lah Lea pendendam, ya ia memang dendam dan akan membalaskan rasa sakit si pemilik tubuh ini.
Lea menganggp bahwa pertukaran jiwa ini adalah takdir, mungkin Tuhan mengirimnya ke sini agar bisa mencarikan keadilan bagi Putri Jia Hangnim. Tidak masalah dengan identitas, Lea Hangnim sukarela bersedia menggantikan posisi Jia.
Kedua dayang yang tersisa meneguk ludah susah payah, Hangnim memutar badan untuk menatap mereka.
"Aku masih ingat dengan perlakuan buruk kalian, tunggu pembalasanku selanjutnya." Kata Hangnim, ia berjalan santai meninggalkan kolam tersebut.
Dengan segera dua dayang itu menolong temannya yang sudah menggigil dan hampir tenggelam di dalam sana. Mereka saling bertatapan sejenak, memikirkan kejadian tak terduga hari ini.
Setelahnya Hangnim memilih untuk berjalan-jalan mengitari kediaman Huosheng. Ia menatap bangunan kokoh yang mayoritas terbuat dari kayu, sisanya ada yang terbuat dari batu. Ia mengetuk pelan dagunya, merasa bahwa bangunan ini sangat indah jika dipadukan dengan kehidupan modern.
Sekitarnya juga ditumbuhi bunga-bunga anggrek berwarna kuning, sangat cantik di lihat oleh mata. Tempat semenakjubkan ini sayang sekali jika harus dihuni oleh orang-orang jahat.
"Huh, aku bosan." Desahnya, ia tidak memiliki kegiatan apapun.
Hangnim berpikir untuk mencari aktivitas yang positif, ia tersenyum lebar tatkala sudah mendapatkan ide cemerlang. Langkah kakinya berbalik menuju kamarnya, ia akan menemui Faizu dan Maizu untuk mengajak mereka.
Sebelum sampai di dalam kamarnya, ia melihat Faizu sedang diomeli oleh kepala dayang, sedangkan Faizu sendiri sedang berjalan dengan posisi jongkok, sesekali ia merunduk takut kala mendapati bentakan demi bentakan.
Faizu memang lebih melow dibandingkan sang kakak, Maizu.
"Ayo cepat! Jangan lelet, dasar pelayan bòdoh." Bentak seseorang yang berdiri angkuh di samping tubuh Faizu yang sedang ia hukum. Benar-benar mengganggu telinga.
Hangnim berjalan mendekati kedua orang itu, matanya melirik kepala dayang yang tak menyadari kehadirannya.
"Ada apa ini?" Faizu dan kepala dayang mendongakkan kepala menatap Hangnim, Faizu seakan memberi kode untuk Hangnim pergi dari sana agar tak mendapat omelan juga.
Kepala dayang mengangkat dagu tinggi-tinggi. "Pelayan rendahan ini berulah, tentu saja aku harus menghukumnya."
"Fai, apa kesalahanmu?" Hangnim langsung bertanya pada Faizu, mengabaikan tatapan arogan dari kepala dayang tersebut.
Faizu tersentak lalu buru-buru menjawab, "Ha-hamba tidak sengaja menjatuhkan beberapa jemuran, tapi hamba sudah mencucinya lagi."
"Hanya itu kesalahannya? Dan kau mengomelinya sampai telingaku berdengung, siapa dirimu bisa menghukum orang seenaknya." Kini Hangnim menunjuk-nunjuk kepala dayang dengan jarinya, menatap wanita paruh baya itu dengan geram.
Kepala dayang itu menatap Hangnim dengan sengit, merasa tak terima dengan ucapan gadis itu.
"Aku adalah kepala dayang disini, tentunya aku sangat berhak atas bawahanku. Kau tidak usah ikut campur." ujarnya berlagak.
Ia pikir Hangnim adalah putri lemah yang dulu mudah untuk ditindas? Oh tidak.
"Pertama-tama, aku adalah putri dari pemilik kediaman ini, derajatku lebih tinggi darimu. Kedua, Faizu adalah dayang pribadiku, kau sama sekali tidak mempunyai hak untuk menghukum seorang dayang pribadi. Ketiga, dia sudah bertanggung jawab dengan mencuci pakaian itu lagi, dan kau masih menghukumnya? Kau taruh di mana otak udangmu itu."
Kepala dayang yang melihatnya pun dibuat menganga tak percaya, sejak kapan Hangnim si lemah mampu membalikkan ucapan. Begitupun dengan Faizu, ia tidak menyangka jika junjungannya telah berubah.
"Kau-" Belum selesai kepala dayang berbicara, Hangnim lebih dulu memotongnya.
"Minta maaflah pada Faizu," tukas Hangnim menyuruh kepala dayang.
Wanita paruh baya itu membulatkan mata, mana sudi ia merendahkan harga dirinya dengan meminta maaf pada Faizu.
"Aku tidak mau, jangan berlagak sombong karena kau adalah putri. Lagipula, kau hanya putri yang tak dianggap." Kepala dayang tersenyum puas tatkala mengucapkan kalimat penghinaan pada Hangnim.
Hangnim maju selangkah, ia memiringkan kepalanya menatap wanita itu. Satu detik kemudian tangannya berhasil mencengkram erat pipi kepala dayang, membuat sang empunya berteriak kesakitan.
"Lakukan perintahku atau ku bunuh kau saat ini juga." Hangnim melepas tusuk rambut miliknya, mengarahkan benda tajam itu di leher si kepala dayang.
Hangnim tidak main-main dengan perkataannya, egonya sebagai Putri telah disentil oleh pelayan rendahan.
"P-putri, jangan lakukan itu." Faizu bergumam amat pelan, ia benar-benar kaget melihat tingkah Hangnim yang di luar akal.
"Diam, Faizu! Siapapun yang telah berani menyentuh orang-orang kepercayaanku, akan ku habisi dengan tanganku sendiri."
Wanita itu semakin kaget saja, nyalinya mulai menciut ketika melihat mata Hangnim yang berkobar penuh amarah. "B-baik, aku akan melakukannya."
Hangnim langsung melepaskan cengkraman di pipi wanita itu, sembari mendorongnya ke belakang.
Kepala dayang itu menatap Faizu dengan takut-takut. "Faizu, aku meminta maaf padamu."
Faizu buru-buru mengangguk mengiyakan. "Aku memaafkanmu, Kepala Dayang."
Hangnim puas melihatnya.
"Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini, jika kau berani menghukum seseorang seenaknya lagi, maka aku sendiri yang akan menghukummu balik. Camkan itu!" Hangnim menepuk-nepuk pelan pipi kepala dayang, membuat sang empunya menelan ludah susah payah.
"Baik, Putri." jawabnya dengan takut-takut.
"Fai, ayo berdiri! Lain kali jika ada orang yang memperlakukanmu dengan buruk, balas saja." Hangnim berjalan mendekati Faizu, mengulurkan sebelah tangannya untuk membantu gadis itu berdiri.
Faizu segera menerima uluran tangan Hangnim, lalu berterimakasih padanya. "Terimakasih, Putri."
"Tentu saja, kau adalah dayang pribadiku, semua yang berkaitan denganmu adalah tanggung jawabku." ujar Hangnim.
Faizu merasa terharu dengan perlakuan majikannya, Hangnim benar-benar sudah berubah.
Keduanya melenggang pergi dari tempat kejadian, meninggalkan si kepala dayang yang masih mematung karena syok. Hangnim mendengus kesal, seharian yang penuh masalah!