Kedatangan rombongan Hangnim di kediaman menggemparkan semua penghuni yang ada di sana, bagaimana tidak? Kereta kuda yang seharusnya ditumpangi gadis itu justru mengangkut para jasad prajurit yang berguguran, mereka semua penasaran dengan apa yang terjadi selama perjalanan.
Air muka Hangnim sudah keruh, gara-gara orang yang membencinya, kini banyak prajurit yang harus kehilangan nyawa. Ia bersumpah akan mendapatkan pelakunya dan menuntut keadilan seadil-adilnya.
Menteri Huosheng bergegas menuju halaman paviliunnya, di sana ia melihat Hangnim yang berlumuran darah pada pakaiannya. Mata pria baya itu membelalak seketika, bagaimanapun juga sebagai Ayah, ia khawatir jika anaknya kenapa-apa.
“Ada apa ini?” tanya Huosheng tanpa basa-basi.
Hangnim berhenti tepat di depan Huosheng, ia melirik ayahnya tanpa minat. Tatapan mata Huosheng menilai putrinya dari atas hingga bawah, tidak ada yang lecet dari diri Hangnim. Hanya saja, darimana asalnya darah-darah yang menempel di gaun indah putrinya?
Salah satu pengawal yang tersisa memberanikan diri untuk maju ke depan memberi laporan pada sang majikan.
“Sekelompok bandit menghadang perjalanan pulang kami, beberapa pengawal tewas di tangan mereka. Namun, Putri Hangnim berhasil membunuh balik mereka, tersisa satu bandit untuk dijadikan saksi.” Pengawal itu memberikan keterangan.
Huosheng terkejut mendengarnya, Hangnim membunuh bandit-bandit itu? Bagaimana bisa?
Hangnim menghela napas kasar, dilihatnya orang-orang yang hadir di sini. Hangnim berusaha mencari orang dengan gerak-gerik mencurigakan, matanya memincing sempurna tatkala menemukan sosok wanita berusia sekitar tigapuluhan tahun, wanita itu berdiri di balik pilar seakan-akan sedang mengintip situasi kacau ini dari sana.
Hangnim berusaha menggali ingatannya, wanita itu lah yang bernama Ghuanwei, adik sepupu ayahnya. Apa jangan-jangan Ghuanwei yang mengutus para bandit untuk menyerangnya? Kemungkinan besar ya, karena wanita itu termasuk golongan orang yang membenci Nyonya Suzie beserta anak turunnya.
Hangnim perlu penyelidikan lebih lanjut untuk membuktikan dugaannya, sehingga bisa menyeret Ghuanwei ke penjara.
“Kau yang membunuh bandit-bandit itu?” Huosheng menatap putrinya dengan kaget.
“Kalau ya, kenapa? Nampaknya ayah tidak suka melihatku pulang dengan selamat.” Perkataan Hangnim sarat akan sarkasme.
Lagi-lagi Huosheng dibuat kaget oleh tingkah putrinya, sebelum ini Hangnim tak pernah berkata sekasar itu. Jujur saja, hatinya sakit mendengar perkataan Hangnim.
Hangnim hanya tidak habis pikir kenapa Huosheng menyimpan pengkhianat-pengkhianat dalam kediamannya? Jika pria tua bangka itu cerdas, sudah seharusnya ia membersihkan rumahnya dari orang-orang jahat.
“Berikan pengawal-pengawal itu tunjangan karena telah mempertaruhkan nyawanya,” lanjut Hangnim.
Tanpa diminta pun, Huosheng akan melakukan itu.
“Pengawal! Kuburkan rekan-rekan kalian dengan layak, kabari keluarga mereka dan aku akan memberikan tunjangan yang pantas bagi seorang pejuang.” Huosheng memberikan titah dengan nada tegasnya.
“Baik, Menteri.”
Setelahnya Hangnim langsung berbalik untuk melenggang pergi, ia mengibaskan gaunnya yang terdapat noda darah. Ia perlu membersihkan dirinya lalu cepat-cepat menginterogasi satu bandit yang tersisa.
Sementara itu, Huosheng masih tidak menyangka jika putrinya yang terkenal pendiam bisa mengalahkan para bandit, sedangkan pengawal-pengawal yang mengawalnya justru jatuh bertumbangan.
“Dayang, aku ingin bertanya padamu.” Huosheng menghentikan salah seorang Dayang yang hendak pergi, Dayang itu lah yang turut mengawal perjalanan putrinya.
“Hamba, Menteri?”
“Apakah Hangnim benar-benar melawan bandit?”
“Benar, saat para pengawal sudah berjatuhan, Putri Hangnim mengambil inisiatif untuk melawan musuh. Bahkan noda darah yang terciprat di gaunnya merupakan darah para bandit yang berhasil dikalahkan.” Jelas Dayang itu sesuai dengan fakta yang ada.
Huosheng terdiam sejenak, ia masih ragu-ragu untuk memercainya. Namun, sepertinya pengawal dan dayang itu tidak bohong dengan kesaksian yang mereka ucapkan.
“Kau tidak berbohong demi menaikkan nama Hangnim ‘kan?” tanyanya lagi.
Dayang itu menggeleng dengan cepat. “Hamba tidak berani berbohong pada Anda, memang benar Putri Hangnim lah yang mengalahkan para bandit, karena Putri Hangnim yang menjadi target penculikan mereka.”
Kening Huosheng mengkerut. “Target, maksudmu?”
“Ya, bandit-bandit itu menginginkan Putri Hangnim.”
“Baiklah, kau boleh pergi.” Ujar Huosheng pada akhirnya.
Siapa yang menargetkan putrinya untuk diculik? Bukankah selama beberapa tahun belakangan Hangnim tidak keluar rumah sama sekali, orang bodoh mana yang membenci putrinya itu.
Huosheng ingat jika ada satu bandit tersisa, ia perlu menginterogasinya untuk mencari dalang dibalik musibah ini.
***
Hangnim masuk ke dalam kamarnya, ia melepaskan pakaiannya satu per satu. Dilihatnya tidak ada tanda-tanda keberadaan Faizu dan Maizu di sekitar kediaman, sepertinya dua pelayannya itu masih mengurusi pupuk yang akan dibagikan pada penduduk desa Quoying.
Pintu kamar Hangnim terbuka secara tiba-tiba lalu muncul lah dua orang gadis yang tergesa-gesa, deru napas mereka tersengal-sengal.
"Hangnim, aku mendengar gosip dari para dayang bahwa kau telah diserang?" Maizu segera menanyai majikannya.
"Ya, tapi aku tidak apa-apa, jangan khawatir." Balas Hangnim dengan santainya.
Sementara itu Faizu dan Maizu memelototkan matanya dengan sempurna kala mendapati gaun Hangnim yang sudah berlumuran darah tersampir di tengah-tengah ranjang.
"I-ini darah? Kau terluka? Hangnim, aku akan mengobatimu." Faizu panik, gadis itu memutari kamar guna mencari obat merah.
Hangnim menatap kepolosan Faizu sambil menepuk dahinya pelan. “Fai, sudah-sudah, aku tidak terluka. Itu adalah darah para bandit yang ku bunuh.”
Sontak saja Faizu menghentikan langkahnya, ia berbalik menatap Hangnim. “Kau membunuh bandit?”
Hangnim mengangguk asal.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Kini giliran Maizu yang bertanya.
“Saat aku melakukan perjalanan pulang dari istana Dongyin, bandit-bandit itu menghadang kami. Tahukah kalian, ternyata bandit-bandit itu sengaja menjadikanku target, aku berpikir bahwa mereka adalah orang bayaran yang disuruh oleh tuannya.” Hangnim mulai melakukan analisis, berdiskusi pada Faizu dan Maizu.
Dua pelayan pribadi Hangnim pun mendekat pada majikannya, mereka ikut penasaran dengan teka-teki di balik penyerángan ini.
“Jadi, menurutmu mereka adalah orang-orang suruhan?”
“Ya, tadi aku juga melihat gerak-gerik Ghuanwei yang mencurigakan, aku curiga padanya.” Hangnim menopang dagu dengan kepalan tangannya.
“Tunggu dulu…” Maizu menjentikkan tangannya, ia ingat sesuatu.
“Tadi pagi saat aku hendak membawa pupuk-pupukmu menggunakan gerobak, aku melihat Nyonya Ghuanwei berbicara dengan orang-orang asing, semuanya laki-laki, sayangnya aku tidak bisa melihat rupa mereka karena membelakangiku.” Lanjut Maizu.
“Ada berapa orang?” Sepertinya di titik inilah Hangnim memulai bukti kejahatan Ghuanwei.
Maizu mengingat-ingat lagi jumlah laki-laki yang berbincang dengan Ghuanwei, saat itu dirinya tergesa-gesa mengangkut pupuk-pupuk sehingga tidak terlalu memperhatikan.
“Ingat-ingat lagi, Mai.” Faizu mendesak kakaknya.
Maizu memejamkan mata, mencoba mengulang memori otaknya.
“Satu, dua, tiga, empat… ya, empat orang.” Maizu menjentikkan jarinya setelah berhasil mengingat jumlah orang-orang itu.
Hangnim menegapkan badan, tidak salah lagi, Ghuanwei lah dalang dibalik serangan sore tadi.
“Dia harus membayar nyawa yang telah terenggut!”
Hangnim lantas berdiri dengan cepat, ia meraih salah satu pakaian baru di lemari lalu buru-buru mengenakannya.
“Eh, mau ke mana?” tanya Maizu pada Hangnim.
“Aku akan menginterogasi bandit yang tersisa. Ohh ya, bagaimana dengan pembagian pupuk tadi?” Hangnim bahkan melupakan kegiatan pembagian pupuknya, sayang sekali ia tidak bisa ikut ke desa Quoying.
Faizu dan Maizu mengangkat jari jempol mereka dengan serentak, lalu disusul dengan senyuman lebar.
“Berjalan dengan lancar, penduduk sangat berterimakasih padamu.”
“Syukurlah kalau begitu, kalian tidak mengatakan identitas asliku ‘kan?” tanya Hangnim lagi. Bukan apa-apa, ia ingin menolong penduduk atas nama pribadi, bukan karena kedudukannya sebagai anak Menteri.
“Aman, tidak ada yang curiga dengan itu.”
“Bagus, aku bangga dengan kalian.” Hangnim menepuk-nepuk pundak kedua kakak beradik tersebut.
“Maafkan kami karena tidak ada di saat kau sedang diserang, andai saja saat itu aku ada di rombongan.” Maizu menghela napas kasar.
Hangnim tersenyum menenangkan lalu berujar, “Tidak apa-apa, yang terpenting aku sudah berada di sini bersama kalian ‘kan?”
“Hangnim, aku ingin ikut denganmu, aku mau melihat bandit jahat yang berusaha mencelakaimu.” Sungut Faizu, siapapun yang hendak melukai majikannya, maka ia akan berdiri paling depan.
“Boleh, ayo.”
Ketiganya pun menuju ke penjara milik kediaman Huosheng, penjara itu terletak di paling ujung wilayah ini.
Sesampainya mereka di sana, Hangnim mendengar sedikit perdebatan, gadis itu semakin mempercepat laju langkahnya.
“Aku adalah pemilik kediaman, kenapa kalian melarangku masuk?” Suara seorang pria baya terdengar, ia tidak terima ketika dilarang masuk ke penjara untuk menginterogasi tawanan.
“Putri Hangnim meminta kami untuk melarang siapapun yang hendak masuk, karena beliau sendiri yang akan menginterogasi tawanan.” Balas pengawal yang berjaga di sana.
“Apa yang dikatakan pengawal benar, aku tidak ingin tawananku mendapat tekanan dari orang lain, terlebih lagi jika sampai majikannya tahu bahwa anak buahnya sudah tertangkap.” Hangnim muncul dari balik belokan, ia berkata dengan tatapan datar miliknya.
Huosheng membalikkan badannya, mendapati putrinya ada di sana. Ia merasakan aura perbedaan yang amat kental, Huosheng bahkan ragu jika gadis didepannya kini adalah anaknya.
“Kau tidak mencurigai ayahmu sendiri ‘kan?”
Hangnim bersedekap tangan di d**a. “Bukan tidak mungkin semua orang di istana ini adalah dalangnya, aku hanya ingin mengantisipasi.”
“Aku mencemaskan keadaanmu, aku tidak ingin kau dicelakai.” Huosheng akhirnya mengakui kegelisahannya, ia tidak akan membiarkan Hangnim disakiti oleh siapapun. Hangnim adalah harta peninggalan Suzie satu-satunya, bahkan wajah gadis itu menuruni sang ibu.
Hangnim menatap tajam mata ayahnya. “Bukankah selama ini justru kau sendiri yang menyakitiku? Kau mengabaikanku, kau lebih menyayangi anak-anak dari Selir Yuen, bahkan ketika aku mati tenggelam, ada di mana dirimu?”
Perkataan Hangnim bagaikan ribuan pisau yang menghujam jantungnya, Huosheng terdiam kaku. Ia menyesal karena telah mengabaikan Hangnim selama ini, hari-harinya disibukkan dengan pekerjaannya sebagai Menteri, serta Selir Yuen yang terus menghasut Huosheng agar menjauhi Hangnim.
Huosheng ingin memperbaiki semuanya, tapi tampaknya ia terlambat. Hangnim lebih dulu membencinya.
Faizu dan Maizu yang ada di sana pun terdiam dengan agak mengigil, sebelumnya Hangnim tak pernah semengerikan ini.
“Menyingkir lah, jangan halangi jalanku.” Tukas Hangnim tanpa ada nada lembut sedikit pun.
Huosheng pun menyingkir, memberikan jalan tuk putrinya. Ia harus sabar dengan perubahan Hangnim sekarang, perlahan-lahan ia perlu membenahi segalanya.