Acara pertemuan Hangnim dengan anggota keluarga istana berjalan dengan lancar, ia bisa menguasai dirinya sendiri dengan baik. Tidak ada yang curiga mengenai identitas asli dirinya.
Matahari sudah mulai redup pertanda memasuki sore hari, saat ini Permaisuri Yinhan mengantarkan Hangnim sampai ke pintu gerbang utama istana, gadis itu akan kembali ke kediamannya bersama dengan para dayang beserta pengawalnya.
Permaisuri Yinhan sangat menyukai karakter dari Hangnim, sejak kecil keduanya memang sudah dekat selayaknya ibu dan anak.
“Hangnim, terimakasih sudah bersedia datang ke pertemuan ini, ku harap kau tidak kapok. Suasana istana masih tetap sama seperti dulu, penuh intrik dan persaingan.” Permaisuri Yinhan agak berbisik ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.
Hangnim mengangguk paham, ia memang tidak kaget sama sekali.
“Aku mengerti, Ibu Yinhan.”
“Mengenai waktu tepat pernikahanmu dengan Lizhuo, aku akan membahasnya lagi dengan Kaisar, kita akan mencarikan tanggal yang bagus untuk kalian.”
Ingin rasanya Hangnim menolak pernikahan ini, tapi apa daya?
“Baik, aku akan menunggu kabar baik itu.” Hangnim hanya bisa berpura-pura bahagia saja, ia tidak ingin mengecewakan wanita sebaik Yinhan.
Selama ini pastinya Permaisuri Yinhan sudah banyak memakan asam manisnya pengalaman tinggal di istana, terlihat juga bahwa Selir Sita sangat membenci sang permaisuri.
“Ibu Yinhan, kau adalah wanita yang kuat, aku takjub padamu karena bertahan di istana yang penuh dengan persaingan ini.” pujinya.
Permaisuri Yinhan mendekap lengan Hangnim, ia memang berusaha tegar dan kuat untuk tetap berdiri kokoh mendampingi suaminya. Berkali-kali Yinhan mendapat terror ataupun ketidaksukaan dari wanita harem suaminya, tapi dengan ketegaran luar biasa ia mampu bertahan hingga di titik ini.
Sebenarnya Yinhan bukan tipe permaisuri sombong, justru ia sangat rendah hati. Namun, wanita-wanita harem milik suaminya sudah dibutakan oleh iri dengki, sehingga apapun yang Yinhan lakukan, mereka akan membencinya.
“Aku bukan wanita sekuat itu, Hangnim. Orang-orang memang melihatku seperti itu, tapi dalam hatiku aku sangat rapuh.” Yinhan akan berpura-pura kuat dan selalu menebar senyum saat bertemu orang lain, tapi jika ia berada di dalam kesendirian, ia selalu menangis.
Hangnim semakin termotivasi oleh calon mertuanya. Orang yang selama ini terlihat selalu bahagia, juga menyimpan rasa kesedihan secara mendalam, hanya saja orang-orang itu tidak menampakkannya. Cukup bahagianya saja yang diketahui oleh orang lain, sedangkan kesedihannya biar lah dirinya sendiri yang menanggung.
Hangnim memeluk Permaisuri Yinhan dengan erat, menyalurkan kehangatan di sana. Hangnim sendiri merasakan ketulusan serta kasih sayang seorang Ibu dari diri Yinhan, ahh ia jadi merindukan ibu kandungnya di masa depan sana.
Apakah saat ini jasad Hangnim sudah disemayamkan? Lalu, apa kabar dengan virus corona yang merajalela.
“Mulai sekarang Ibu Yinhan bisa mengungkapkan segala kerisauan padaku, aku akan menjadi pendengar yang baik.”
Permaisuri Yinhan mengangguk dalam pelukan Hangnim. “Tentu saja, terimakasih banyak, Putriku.”
Hangnim melepaskan pelukan mereka, ia tersenyum sangat manis.
“Baiklah, hari sudah semakin sore, kau perlu pulang dan beristirahat di kediaman. Jaga kesehatanmu, aku tidak sabar untuk menunggumu menjadi menantuku.”
“Aku permisi, Ibu Yinhan juga selalu jaga kesehatan.”
“Ya, Hangnim, hati-hati.”
Hangnim pamit undur diri, entah darimana datangnya para dayang dan pengawal-pengawal Hangnim tadi, mereka sudah muncul di sana dan berbaris rapi.
Hangnim memasuki kereta kuda yang sama seperti pagi tadi, Kusir pun mulai memacu kudanya.
Meskipun pada awalnya Hangnim tidak menyukai acara ini, tapi semakin ke sini ia justru bersyukur. Hangnim telah dipertemukan dengan sosok hangat seperti Permaisuri Yinhan, di samping itu ia merasa perlu melindungi Yinhan dari Sinwara ataupun Selir Sita.
Dari tatapan mata Sinwara tadi, Hangnim yakin betul jika pria itu sangat membenci Permaisuri Yinhan beserta Lizhuo. Mungkin saja Lizhuo tidak mengetahui tekanan yang dipikul oleh Ibunya karena Yinhan tak pernah bercerita apapun, insting Hangnim menyuruhnya agar ia melindungi ibu mertuanya dari kejahatan orang-orang istana.
Jika sampai Sinwara menyakiti Yinhan, Hangnim sendiri yang akan menuntut balas.
Hangnim menyenderkan kepalanya ke samping jendela kereta, tubuhnya terasa mudah lelah, ia harus sering-sering melatih tubuh ini agar bisa digerakkan dengan lincah. Dulu Lea Hangnim sering olahraga setiap pagi dan sore hari, di sini ia tak pernah melakukannya sekalipun.
Roda kereta yang ditumpangi oleh Hangnim tiba-tiba terhenti mendadak, membuat kepala Hangnim terantuk pada kayu jendela.
“Kusir, ada apa?”
“Putri, ada bandit yang menghalangi perjalanan kita.”
Hangnim penasaran lalu membuka gorden sampingnya, benar saja di depan sana sudah berdiri sekelompok bandit yang menghadang jalannya.
Para pengawal pun segera melingkari kereta kuda milik Hangnim, pun dengan dayang-dayang yang mulai waspada.
Hangnim menghela napas kasar, lalu menyenderkan punggungnya pada kepala kursi. Ia benar-benar lelah dan ingin segera pulang, ada-ada saja yang menghalangi.
"Pergi kalian, jangan menghalangi jalan kami." Salah satu pengawal yang diutus untuk mengawal Hangnim pun maju ke depan, memberikan ancaman pada empat bandit di sana.
Tapi tampaknya ancaman itu sama sekali tak membuat mereka takut, justru keempatnya tertawa mengejek.
"Berikan Putri Hangnim pada kami, lalu kalian bisa pergi dengan selamat." Balas salah satu dari ke empat bandit itu.
Suara tadi terdengar sampai ke telinga Hangnim, membuat si empunya mengerutkan kening bingung. Jadi, bandit-bandit itu menargetkan dirinya?
Ahh, rupanya ada orang yang sudah bermain-main dengannya.
"Tidak akan, langkahi mayat kami!" Para pengawal pun mulai menyerang bandit itu.
Meskipun bandit itu hanya berjumlah empat orang, tapi mereka dengan lincah mampu menyerang balik para pengawal.
Keadaan mulai mendesak, para dayang pun meminta Hangnim untuk segera turun dari kereta lalu melarikan diri.
"Putri Hangnim, Anda harus melarikan diri segera."
Hangnim menaikkan alisnya lalu berkata, "Untuk apa aku harus melarikan diri?"
Dayang itu menjawab, "Mereka bandit-bandit berbahaya yang ingin mencelakai Anda, mari Putri."
Hangnim tidak menjawab, ia justru memperhatikan bagaimana bandit-bandit itu bertarung. Gadis itu berdecih pelan, bahkan gaya pertarungan di era ini sangat lah kuno, tidak ada apa-apanya dibandingkan teknik taekwondonya.
Sebagai atlet yang meraih banyak kejuaraan di berbagai Olimpiade, malu rasanya jika Hangnim kabur tanpa melawan, setidaknya ia perlu menjajal kemampuannya terlebih dulu. Sudah lama ia tak menggunakan pengalaman bela dirinya untuk berkelahi, sepertinya ini adalah momentum yang pas.
"Tidak, aku akan melawan mereka."
Perkataan Hangnim tentu saja membuat mereka semua syok, bagaimana mungkin Hangnim melawan bandit-bandit itu? Sedangkan para pengawal pun sebagian sudah tumbang.
Hangnim meregangkan otot-otot tubuhnya, bibirnya tersenyum miring.
"Putri, apa yang Anda katakan? Mereka berbahaya, terlebih lagi Anda tidak memiliki pengalaman bertarung." Dayang tadi menyahut lagi, ia mulai ketar-ketir saat salah satu dari bandit itu mendekat pada kereta.
"Enak saja, aku adalah atlet yang menyabet banyak gelar." Sungut Hangnim, ia tidak terima dikatakan tak memiliki pengalaman bertarung, justru prestasi di bidang bela dirinya sangat banyak.
"Minggir kalian, aku mau turun." Hangnim bersiap-siap untuk turun dari kereta.
Dayang-dayang di sana keberatan, jika sampai putri sang Menteri terluka, nyawa mereka lah taruhannya.
"Hamba mohon padamu, Putri. Jangan gegabah, keselamatan Anda dipertaruhkan."
"Berisik!" Balas Hangnim, tanpa menunggu lama lagi ia segera melompat dari kereta kuda.
Sontak saja hal itu membuat para bandit di sana mengalihkan atensi. Mereka menatap Hangnim dengan puas, keempatnya akan mendapat bonus berkali-kali lipat setelah berhasil menculik gadis itu.
"Ohh, jadi ini yang bernama Putri Hangnim? Cantik juga, kita bisa mencicipinya terlebih dulu." ujar seorang bandit yang berkepala pelontos, lalu disusul tawa-tawa menggelegar.
Harga diri Hangnim terasa dilecehkan, matanya berkobar penuh amarah.
"PUTRI!" Teriak para Dayang, jantung mereka hampir copot bersamaan tatkala melihat Hangnim justru menyerang bandit tanpa rasa takut.
Hangnim meraih dua pedang milik pengawal yang sudah tewas, tangan kanan kirinya sudah lengkap membawa senjata. Dengan segera ia menghunuskan pedang itu pada ke empat bandit secara acak, mendapat serangan tiba-tiba seperti itu membuat mereka terbelalak kaget.
Kenapa Hangnim dapat melawan balik?
Pertarungan tak terhindarkan, kaki-kaki Hangnim melompat maju seiring dengan pedangnya yang berhasil menggores satu leher.
Hangnim meliuk-liukkan tubuhnya dengan indah, kaki Hangnim menapak pada akar pohon, lalu ia melakukan gaya salto untuk memukul tengkuk lawannya dengan gagang pedang. Berhasil!
"Arghh..." Teriak bandit yang melecehkan Hangnim tadi, ia roboh ke tanah sambil memegang lehernya yang serasa ingin patah.
Tidak ada yang menyangka bahwa Hangnim bisa sepandai ini dalam bertarung.
Lagi, Hangnim berlari menuju satu dari dua orang yang tersisa, ia mengacungkan pedangnya tepat di leher pria itu.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Hangnim, ia memberikan kesempatan pada bandit untuk mengatakan tuan mereka.
Pria itu diam dengan napas memburu, dengan goresan sedikit saja maka nyawanya akan melayang di tangan gadis ini.
Tepat di belakang Hangnim ternyata ada satu bandit yang tersisa, pria itu ingin menyerang Hangnim dari belakang, tapi gagal. Hangnim lebih dulu melempar salah satu pedangnya ke belakang, tepat mengenai mata hingga tembus ke belakang kepala.
Darah pun terciprat di gaun indah Hangnim, gadis itu sama sekali tidak gentar.
"Astaga!" Dayang-dayang menutup mulutnya tak percaya, mereka syok.
"Jawab!" Hangnim menyentak satu bandit itu.
Karena tidak ingin membongkar siapa tuannya, buru-buru pria itu mengambil pil dari saku bajunya, ingin menegak racun. Mata Hangnim membelalak dengan kaget, ia tak boleh membiarkan saksi yang tersisa mati begitu saja.
Hangnim menendang tangan pria itu yang hendak memasukkan pil beracun ke mulutnya, alhasil pil itu pun menggelinding di tanah.
"Tidak semudah itu untuk mati, siapa tuanmu?" Hangnim mencengkram erat baju bandit itu.
Bandit itu sama sekali tidak mau membuka mulut, ia sudah bersumpah untuk tidak membocorkan segalanya, atau keluarganya yang berada di rumah dibunuh oleh sang tuan.
"Rupanya kau keras kepala." Hangnim menggeleng kecil.
DUG!
Hangnim memukul tengkuk pria itu, membuatnya pingsan dan akan diinterogasi di kediaman saja. Tiga bandit sudah mati, Hangnim menatap mereka semua dengan pandangan dingin.
"PENGAWAL!"
"Ya, Putri?" Prajurit yang tersisa pun menghampiri Hangnim dengan tergesa-gesa, sedikitnya mereka agak ngeri dengan tingkah Hangnim yang di luar kebiasaannya.
"Bawa jasad rekan kalian sesama prajurit, makamkan dengan layak, dan aku akan mengusulkan tunjangan mereka pada Menteri Huosheng." Hangnim tidak suka jika ada nyawa melayang karena melindungi dirinya. Namun, bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi.
"Ohh ya, satu bandit itu masih hidup, jebloskan dia ke penjara dan hanya aku yang akan menginterogasinya."
"Baik, Putri."
Hangnim berbalik untuk pergi, tapi para Dayang segera menghentikannya.
"Anda baik-baik saja?"
Hangnim mengangguk sekali. "Seperti yang kalian lihat."
"Syukurlah, Anda benar-benar hebat, kami takjub dibuatnya. Sekarang Anda bisa kembali ke kereta, kita harus melanjutkan perjalanan."
"Aku berjalan kaki saja, gunakan kereta kuda itu untuk mengangkut para jasad sesama prajurit." Finalnya.
"Eumm, begitu? Baiklah, kami akan mengawal Anda selama berjalan kaki."
Hangnim berjalan kaki mulai dari tempat kejadian perkara hingga menuju ke kediamannya, sepanjang jalan ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan orang yang ingin mencelakai dirinya.
Hidup di zaman ini memang keras, siapa yang kuat maka ia menang.