Ketegangan di wajah Julian semakin tergambar, ada banyak rahasia besar dalam diri Julian. Bahkan untuk menunjukan siapa dirinya yang sebenarnya di hadapan Yura, Julian tidak bisa. Julian tidak ingin Yura tahu sisi terburuk dan tergelap di dalam dirinya.
Julian menarik napasnya dalam-dalam memikirkan sesuatu yang bisa dia ucapkan sebagai jawaban. “Aku memiliki sesuatu yang tidak bisa aku tunjukan padamu. Dan aku akan menyimpannya sampai mati, aku akan mengatakan ini satu kali selama seumur hidup agar kau tidak lagi memiliki rasa penasaran pada hal yang tidak penting dalam hidupku.” Julian terdiam mulai menunjukan keseriusannya.
Kening Yura mengerut sedikit tidak mengerti, namun dia paham dengan keinginan Julian.
“Aku ingin kau melihatku seperti apa yang aku tunjukan sekarang, kau harus melihatku sebagai Julian Giedon yang mengesankan dan membuatmu terkadang jengkel, Julian Giedon yang tampan, sempurna, lucu, bersahaja, rendah hati. baik hati dan lemah lembut. Ingatlah aku sebagai Julian Giedon yang di ciptakan dewa dengan senyuman tampan, tubuh yang indah dengan cahaya bubuk berlian dan anugrah kehedonisan dalam semua hal yang membawa virus bahagia.” Ucap Julian dengan sedikit cengiran gelinya menertawakan dirinya sendiri, Yura sendiri yang awalnya mendengarkan begitu serius berubah ikut tertawa dengan jijik mendengarkan semua kehumoran Julian yang memiliki kenarsisan tingkat dewa.
Semua perbincangan serius mereka yang sudah di bangun harus hancur dengan cepat karena kepandaian Julian yang mengalihkan pembicaraan dan suasana.
“Aku tidak tahu, di mana kau berguru untuk menjadi orang sombong dan narsis. Tidak ada yang bisa mengalahkanmu dalam hal itu” komentar Yura dengan sedikit tekanan dan segera beranjak.
“Kau mau ke mana?. Kita belum selesai bicara, kenapa pergi?. Kau juga bisa berguru padaku, aku pria yang sombong dengan professional, kau tertarik?.” Tanya Julian masih dengan sedikit kekehan gelinya melihat Yura yang kabur pergi ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci wajahnya.
Julian bersedekap di tempatnya menatap arah jarum jam untuk menghitung berapa banyak waktu yang Yura gunakan di dalam kamar mandi.
Tidak berapa lama Yura kembali lagi untuk segera naik ke ranjang.
Yura mulai terbaring dengan melepaskan sedikit rasa penat dan lelahnya. Akir-akhir ini dia merasa pusing karena lelah jet lag, sangat menguras tenaga untuknya bepergian dari Negara satu ke Negara yang lainnya dalam kurun satu minggu ini.
Yura menarik selimutnya dan perlahan menutup mata hendak tidur. Namun, tidak berapa lama dia kembali membuka matanya begitu merasakan ada pergerakan di ranjang, di lihatnya Julian yang sudah terbaring di hadapannya dengan menumpukan kepalanya pada bantal yang terlipat.
Julian tersenyum lebar menunjukan rasa senangnya memperhatikan Yura.
“Kita datang ke Thailand untuk berbulan madu, bukan untuk menumpang tidur.” Komentar Julian dengan sedikit geli. Kesenangan di wajah Julian berubah menjadi serius dalam sekejap begitu teringat sesuatu. “Ngomong-ngomong, apa pria tadi itu orang yang pernah memandikanmu?.” Tanyanya lagi masih dalam rasa penasaran yang sama.
Kening Yura mengerut kecil, ibu jarinya mengusap permukaan cincin pernikahannya yang kini tersemat di jari manisnya. “Bukan” jawab Yura dengan jujur.
Mata Julian memicing tampak curiga “Apa kau serius?.”
Entah apa yang ada di kepala Julian, Yura selalu tidak bisa menebak apapun karena Julian tidak terduga dalam setiap waktu. “Julian, apa kau akan tetap dengan sifatmu meski kita telah menikah?.” Tanya Yura pada akhirnya.
Yura merasa penasaran karena walau bagaimanapun sekarang mereka menikah, Yura perlu tahu apakah Julian akan tetap menjadi pria yang di kelilingi banyak wanita dalam hidupnya atau tidak.
“Sifat yang mana?” tanya Julian dengan polos. “Aku yang murah senyum?. Sombong professional?. Dermawan, atau yang mudah terangs*ng padamu?. Kau harus spesifik agar aku paham.”
Yura yakin Julian memahami maksud dari pertanyaannya, namun pria itu mengujinya. “Bermain dengan wanita, kau dekat dengan semua wanita yang menghampirimu. Aku perlu tahu apa kau akan tetap seperti itu di masa depan.”
Yura membutuhkan kejujuran, jika Julian membenarkan akan dekat dengan semua wanita yang menghampirinya dan mengajak mereka naik ke ranjang. Yura harus sudah bersiap-siap untuk tidak sakit hati dan dia tidak akan menyukai Julian sebagai mana mestinya.
“Memangnya kau tidak akan cemburu?” cemberut Julian seraya mengusap dadanya. “Aku sangat tersinggung dan sakit hati mendengarnya Nyonya Julian. Meski aku malu untuk berdo’a dan berbicara kepada Tuhan, namun janjiku saat kita menikah itu adalah janji pria sejati. Aku akan setia padamu meski nanti kulit hingga payudar*mu mengendur keriput menua, kejantan*nku akan tetap berdiri dengan kokoh untukmu.”
Yura melongo kehilangan kata-kata seketika. Namun jawaban Julian setidaknya mengatakan jika pria itu akan setia setelah menikah.
“Kenapa kau diam?. Kau tidak tersentuh dengan ucapan romantisku?.”
Seulas senyuman perlahan menghiasi bibir Yura, Yura menatap Julian yang merubah posisi tidurnya, pria itu tidur terlentang menatap langit-langit kamar. Julian terlihat tampan dan memiliki aura yang kuat, Julian memiliki banyak bayangan warna dalam sifatnya. Mata Julian menunjukan keceriaan seperti mahluk suci yang tidak pernah di sakiti sama sekali.
Terkadang Julian menyebalkan dan sangat arogan, dalam satu waktu dia mempesona dengan wibawa dan kecerdasannya, namun Julian juga memiliki sisi kekanak-kanakan sekaligus menakutkan. Yura merasakan tekanan kuat auranya yang tidak bisa di jelaskan dengan baik bagaimana Julian yang sebenarnya.
“Kenapa kau malu berdo’a kepada Tuhan?. Apakah melukai harga dirim juga?.”
Wajah Julian memerah malu, Julian malu untuk mengakui jika dia malu berdo’a karena dirinya memiliki segunung kejahatan dan dosa yang mungkin tidak akan pernah bisa di ampuni Tuhan. Julian malu untuk meminta sesuatu kepada Tuhan sementara dia belum meminta maaf atas dosa yang dia buat.
“Mereka bilang aku tidak pantas berada di hadapan Tuhan.” Jawab Julian terlihat malu. Semua orang yang mengenal Julian yang sesungguhnya, mengatakan hal itu kepadanya.
“Pantas dan tidaknya seseorang, dosa atau tidaknya tindakan seseorang. Semuanya tidak bisa di atur oleh manusia, bahkan oleh manusia yang melakukan dosa itu sendiri. Masing-masing manusia memiliki rahasia dengan Tuhan di mana orang lain tidak mengetahuinya, dan rahasia itu bisa sebuah kebaikan ataupun dosa di mana tidak seorangpun berhak menghakiminya.” Ucap Yura yang tanpa sadar membuat Julian terdiam seketika.
“Ketika aku membenci Zicola dan Thomas. Aku menyadari sesuatu” Yura bergerak kecil dan tidur terlentang menatap langit-langit kamar. “Aku menyadari, kebencianku yang berlebihan membuat kebaikan apapun yang Zicola dan Thomas lakukan akan tetap salah di mataku. Begitu pula saat kita terlalu mencintai dan menyukai orang secara berlebihan, apapun kesalahan yang orang itu, kita akan tetap membelanya. Kita hidup harus dengan hati dan logika yang seimbang. Semua orang pantas mendapatkan kesempatan.” Yura berhenti berbicara dan membuang napasnya dengan lega.
Tubuh Julian menegang, pria itu menatap Yura dalam keterdiaman. Tanpa sadar apa yang Yura katakan adalah apa yang selama ini menjadi masalah dalam hidup Julian. Yura memiliki banyak pemikiran dengan apa yang telah dia lewatkan dalam hidupnya agar tidak melakukan kesalahan yang sama.
“Nasihat yang sangat bagus Nyonya Julian. Bagaiamana jika sekarang bercinta untuk mengisi waktu kosong kita sampai besok. Bulan madu artinya tidur untuk bercinta” tawar Julian seraya mendekat mengikis jarak di antara mereka, kaki Julian langsung menindih kaki Yura agar wanita itu tidak kabur.
Tangan Julian segera menjangkau tubuh Yura dan menariknya kedalam pelukannya. Tubuh Yura terlihat sangat kecil mungil dan rapuh bila harus berdampingan dengan tubuh Julian.
Kedua tangan Yura melurus dalam pelukan erat Julian yang tidak membiarkannya bergerak sedikitpun. “Lepaskan aku Julian, ini sesak.”
Kepala Julian tertunduk menatap gemas Yura yang mendongkak menatapnya, “Tidak, sebelum kau setuju kita bercinta sampai pagi aku baru akan memelepaskannya” tolak Julian dengan penuh tekad.
Wajah Yura sedikit memerah merasakan perutnya menekan milik Julian yang sudah mengeras. “Tanganku sakit.” Bisik Yura sedikit mengalihkan rasa malunya.
Pelukan Julian sedikit mengendur dan memberikan sedikit celah pada Yura untuk bergerak, dan tanpa terduga Yura membalas pelukan Julian. “Julian apa kau tahu bagaimana sebuah hubungan yang sehat?.”
Tanpa sadar Julian menggeleng tidak memahaminya sedikitpun, pria itu bergerak kecil turun ke bawah mensejajarkan posisi wajahnya dengan Yura tanpa melepaskan belitan kakinya. “Kau menginginkan hubungan yang sehat?.” Tanyanya masih berada dalam kebingungan.
Bola mata Yura bergerak dalam kedipan. “Kebahagiaan itu akan datang jika kita tidak memiliki masalah.”
“Aku sudah bahagia” jawab Julian dengan cepat, tidak ada hal yang tidak Julian bahagiakan semenjak dia menikah dengan Yura. Julian sudah menemukan rumahnya tempat dia pulang, Julian sudah merasa lebih baik lagi dan perlahan keluar dari kegelapan dunianya selama ini. Lantas apa lagi yang Julian butuhkan untuk bahagia?.
Melihat kebingungan Julian yang sama sekali tidak mengerti, membuat Yura merasa miris menyadari bagaimana dia dan Julian memiliki banyak kesamaan. Namun, semenjak Yura mengalami luka serius karena Nately, dan mendapatkan bantuan dari Zuko, Yura sudah tidak lagi memiliki bayangan menyakitkan di masa lalunya.
Seakan semua hal yang menyakitkan pada diri Yura di masa lalu di kunci begitu saja, kini hanya menyisakan kenangan-kenangan indah yang tersimpan di memorinya. Karena itu pula Yura bisa menerima Julian dengan lebih cepat .
“Julian, sering kali aku berbuat kasar dan keras kepala. Itu semua karena aku tumbuh dengan keluarga angkatku yang selalu membiasakan aku menjadi sasaran pukulan dan kemarahan mereka. Secara alamiah aku mencontoh apa yang mereka tunjukan padaku. Dan kau memiliki hubungan yang buruk dengan ayahmu, aku memahami jika ada saatnya kau pernah merasa kesepian, atau tidak memahami apa arti sebuah hubungan. Sama sepertiku.”
Wajah Julian memucat, entah ke mana arah pembicaraan Yura saat ini, yang jelas Julian merasa sedikit waspada. “Kenapa kau mengatakan itu?.”
“Aku ingin hubungan kita tidak seburuk orang tua kita Julian. Tidak masalah jika kau membutuhkan banyak rahasia untuk di simpan di hatimu, namun kau bisa mengatakannya jika kau tidak mampu menahannya sendirian. Jangan biarkan kau memendam lukamu sendirian. Meski kau tidak percaya pada siapapun, namun kau harus percaya pada teman hidupmu.”
Julian tertegun, jarang sekali mereka berbicara serius seperti sekarang, Julian tidak menyangka jika Yura akan berkata demikian kepadanya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Julian selain tarikan napas kasarnya, Julian menarik tengkuk Yura dan meraup bibirnya berada dalam ciuman lembut mereka.
Hati Julian menghangat, tidak ada yang pernah mengatakan hal itu kepadanya sebelumnya. Julian merasa tersentuh, meski pada kenyataannya dia tidak akan pernah mau membagi apapun luka yang pernah di alami dalam hidupnya dan menyimpannya sendirian.
“Bicara seriusnya sudah selesai?” bisik Julian dengan suara dalamnya memandangi Yura yang mengambil napasnya dengan cepat, bibirnya yang sudah basah sedikit membengkak berada dalam sentuhan Julian. “Sekarang aku ingin kau mendesah.”
Wajah Yura kembali memerah, namun dia tidak menolak dengan apa yang Julian inginkan darinya.
***
“Kenapa kau menatapku seperti itu Yu” senyum Stefan menggenggam secangkir kopi hangat di atas meja. Semalam dia sudah mendapatkan penanganan yang baik, untungnya Stefan tidak harus sampai di rawat meski dia masih bisa merasakan sakit di ulu hati higga wajahnya. Stefan harus menerima perawatan di giginya yang bergeser, itu sangat membuatnya kesakitan hingga susah untuk makan dan minum.
Sudah hampir lima menit mereka duduk, namun tidak ada ucapan apapun yang keluar dari mulut Yura selain rasa bersalah dan kesedihannya melihat luka pada Stefan.
“Aku minta maaf Stef, aku sangat malu menemuimu lagi. Aku harap kau tidak salah menilai Juls, dia bukan pria bertempramen buruk seperti itu, dia pria baik dan lembut meski terkadang bersikap aneh dan berbicara menyebalkan. Aku harap kau percaya dengan kata-kataku. Sifatnya memang seperti itu, tidak ada yang bisa merubahnya, semalam dia kehilangan kendali. Aku sendiri baru pertama kalinya melihat Julian berbuat kasar seperti itu.”
Mendengarkan keseriusan Yura dalam meyakinkan dirinya, Stefan hanya menggeleng kecil seraya menyesap kopinya sedikit demi sedikit karena rasa ngilu di giginya yang sangat mengganggu.
Bohong, jika Julian tidak pernah berkelahi, jelas-jelas dari pukulannya yang sangat tepat sasaran dan sangat keras menunjukan jika dia petarung professional.
Yura selalu berbicara jujur kepadanya, Stefan sendiri tidak mempermasalahkannya meski dia merasa curiga dengan Julian. Namun, kejadian semalam membuka mata Stefan jika Julian memang benar-benar mirip dengan Raymen.
Seberapa besarpun Yura menyangkal, Stefan sangat yakin jika jauh di lubuk hati Yura dia mengakui bahwa sesungguhnya Julian sangat mirip dengan Raymen, karena itu Yura bisa berangsur-angsur menerima kehadiran Julian di sisinya. Sejatinya Yura tidak bisa melupakan sosok Raymen.
Suasana pagi di Bangkok sangat cerah dan membuatnya teringat Tuen Mun, Hong Kong yang selalu panas.
Ada setitik rasa sakit di hati Yura teringat bagaimana dulu dalam waktu empat belas tahun lamanya mereka selalu bersama-sama bertiga. Mata Yura bergetar melihat ke sisi di mana ada kursi kosong, andaikan Raymen masih hidup, kursi itu akan di duduki olehnya sekarang.
Pupil mata Yura sedikit panas menahan air mata, melihat bayangan kecil Raymen yang duduk di sampinya melengkapi kekosongan. Wajahnya yang tampan itu di hiasi senyuman nakal dan sorot mata hijaunya yang tajam seakan memperhatikan semua yang terjadi dalam hidup Yura dengan Stefan setelah kepergiannya.
“Kau tidak perlu meyakinkanku seperti itu Yu, aku memahaminya. Yang tidak aku pahami adalah wajah dan sifatnya yang posesif padamu seperti reingkarnasi Raymen.” kata-kata Stefan mengembalikan lamunan Yura.
Kali ini Yura terdiam, meski dirinya mengakui perkataan Stefan. Namun Yura tidak ingin membahasnya karena dia tidak menyamakan Julian dengan Raymen lagi sama seperti yang pernah dia lakukan dulu.
Yura pernah melukai Raymen, dan sekarang dia memiliki Julian. Yura tidak ingin melakukan kesalahan yang sama. Julian mencintainya, Yura tidak akan menyia-nyiakannya.
“Apa yang kau lakukan sekarang Stef?” Yura mengalihkan topic pembicaraan di antara mereka.
“Aku belajar memasak beberapa makanan di berbagai Negara, karena itu aku kesini. Untuk satu bulan kedepan aku les memasak disini” cerita Stefan dengan penuh semangat, “Aku harap kau juga tidak berhenti melukis Yu.”
“Aku tidak berhenti. Tanganku sempat terluka, aku kembali melukis secara perlahan dan ingin melakukan pameran pertamaku setelah lukisanku di kenal. Ada banyak hal yang ingin aku tunjukan kepada dunia mengenai perasaanku” Jawab Yura dalam kebingungan, “Bagaimana kabarmu dengan ayahmu?.”
Stefan menggeleng, dia mengusap tengkuknya dan terlihat bingung untuk berkata-kata. “Kami bertengkar” jawab Stefan dengan malu melihat tatapan menyelidik Yura yang ingin mengetahui alasannya.
“Katakan padaku Stef” tuntut Yura dengan tegas.
“Aku pikir aku akan menemukan kembali keluargaku meski ibuku sudah tiada. Namun semuanya tidak ada yang sama lagi Yu, semuanya berubah. Aku merasa lebih bahagia denganmu dan Raymen, aku bahagia dengan Nyonya Elma dan Paman Andrian, aku bahagia bersama nenekku. Kalian membuatku merasa menjadi orang yang penting. Ketika aku mendapatkan hak dari harta ibuku, aku memutuskan untuk pergi setelah bertengkar.”
“Kau bertengkar dengan ayahmu?. Bukankah kalian sudah baikan?.”
“Aku tidur dengan anak ibu tiriku. Kami menjalin hubungan dan ketahuan.” Cerita Stefan dengan sedikit terbata.
“Astaga, itu sangat memalukan Stef. Kau terjerat sister complex?.”
“Saat aku di Madrid, aku harus menata hidup baru lagi. Dia menemaniku. Aku jatuh cinta kepadanya, namun aku tidak tahu harus berbuat apa jika orang tua kami tidak memberikan kami izin untuk bersama. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan keluarga mereka, karena itu aku juga harus pergi. Setelah aku pergi, aku mulai menyadari jika itu cinta sesaat.” Ceritanya lagi dalam kesedihan.
“Bagaiamana sekarang dengan gadis itu?.”
“Aku sudah melupakannya. Sekarang aku memiliki kekasih orang Amerika.”
Bola mata Yura membulat sempurna, “Stef, itu cerita yang buruk. Kau pria kotor”
“Aku tahu Yu.” Jawab Stefan dengan sedikit cemberutan malunya tidak menyangkal apapun. “Aku bertemu temanku Rikan di Amerika” tambah Stefan lagi merendahkan suaranya memperhatikan ekspresi di wajah Yura yang bingung.
“Siapa Rikan?.”
“Temanmu semasa sekolah. Kau lupa?.”
“Aku tidak ingat Stef. Bukankah aku hanya memilikimu dan Raymen saja?.”
“Yu, apa maksudmu?. Dia temanmu” jelas Stefan bingung, “Kau tidak mengingatnya?. Baguslah. Kau dan Raymen yang menolongnya dari ibunya yang brings*k itu. Tapi sekarang dia memilih jadi pelac*r seperti ibunya. Sangat sia-sia kau meloloskannya dari ibunya yang m*******i, sekarang dia memilih menjadi pelac*r seutuhnya.”
Yura menggeleng bingung, “Sejujurnya, aku pernah mengalami sesuatu yang buruk, banyak hal yang aku lupakan. Bagusnya aku tidak lagi ingat masa-masa sulitku dimasa lalu meski terkadang aku sering melihat bayangan aneh.” Cerita Yura seadaanya, Yura memang kehilangan banyak ingatan menyedihkan dimasa lalunya, dia hanya mengingat semua hal-hal yang menyenangkan untuk di ingatnya.
Stefan hanya diam terpaku tidak memahami maksud ucapan Yura, namun dia memilih tidak bertanya lagi karena kebahagiaan Yura lebih penting dia ketahui dari apapun. “Bagaimana perasaanmu sekarang, kau menikah dengan pria yang sangat wow Yu, bahkan kau bisa membeli semua makanan yang ada di kota Bangkok hari ini juga jika kau mau.”
“Tidak seperti itu Stef, aku tidak bisa menggambarkannya. Julian memang gila, terkadang aku belum siap menerima gaya kehidupannya menjadi orang kaya. Meski aku terlahir sebagai anak bangsawan dan sudah cukup kaya sejak lahir. Bersama Julian, aku seperti fakir miskin” Ungkap Yura dengan jujur. Stefan langsung tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
Yura masih merasa risih dengan rombongan pengawal bersenjata yang mengikutinya, bahkan untuk bepergian ke berbagai Negara, Julian membawa Dokter yang siap siaga bila ada sesuatu yang tidak di inginkan terjadi, penerjemah khusus, orang yang menata pakaian, hingga chef pribadi yang berlisensi, makanan dan bahan makanan yang di bawa sendiri. Yura tidak nyaman meski dia memahami jika Julian adalah orang penting dan pria itu adalah seorang bangsawan sekaligus cucu kesayangan seorang Ema Giedon.
“Aku paham, tapi mungkin mulai sekarang aku harus memanggilmu Nyonya dan tidak bisa sembarangan menyentuhmu.” Keluh Stefan berpura-pura sedih, seketika Yura mengambil sendok dan melemparkannya pada kepala Stefan karena marah.
“Aku tidak berubah. Itu semua milik Julian, bukan milikku” geram Yura dengan pelototannya. Stefan hanya tertawa geli mendengarnya, dia hanya bercanda karena dia tahu Yura tidak akan pernah berubah hanya karena status dan uang.
Jika sahabatnya itu memang wanita yang bisa berubah karena uang, mungkin sejak dulu Yura kembali ke Neydish dengan status bangsawannya dan uang berlimpah yang sudah tersedia, namun Yura tetap setia bersama Raymen dan Stefan.
Yura mengambil cangkir kopinya dan ikut meminumnya, perbincangan kecil mereka terasa hangat dan meredakan semua rindu yang bertumpuk. Sudah sangat lama Yura tidak pernah seterbuka ini, karena selama di Neydish dia tidak memiliki waktu untuk bersama Zicola, kakak kandungnya. Terlebih, hubungannya dengan kakak iparnya pernah mengalami masa yang buruk.
***
“Kenapa dia lama sekali” gerutu Julian melihat jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul Sembilan lebih, pagi-pagi sekali Yura berpamitan untuk pergi menemui Stefan. Julian membiarkannya pergi karena merasa bersalah dengan insiden semalam.
Namun rupanya kepergian Yura yang lama sedikit membuat Julian merasa uring-uringan, namun gengsi di dalam dirinya menahan diri untuk tidak bersikap posesif. Julian harus tetap menunjukan dirinya seperti biasa, di mana dia adalah pria yang menghormati kebebasan dan selalu menang dalam segala hal, termasuk perasaan.
Julian sudah menyelesaikan beberapa pekerjaannya dan sebentar lagi mereka akan segera pergi meninggalkan Thailand menuju Amerika.
“Robin!” Teriak Julian pada Robin yang masih bekerja dan merapikan beberapa dokumen yang baru selesai di kerjakan Julian.
Mendengar panggilan tuannya yang menyelak, Robin langsung berlari melewati satu ruangan dan menuju keberadaan Julian. “Ya, Tuan”
“Telepon Yu dan tanyakan dia di mana, bilang aku membutuhkan pendapatnya sekarang juga. Aku dalam keadaan darurat.” Titahnya sambil bersedekap angkuh menatap keluar.
“Anda bisa meminta pendapatkan saya Tuan.”
“Kau bisa memberiku pendapat setelah operasi kelamin. Dan merubah wajahmu menjadi seperti Yu” Geram Julian dengan pelototan.
Kaki Robin langsung merapat, pria itu tertunduk menutupi daerah pribadinya dengan kengerian.
“Cepat Robin, ini darurat.” Titah Julian sekali lagi mulai tidak sabar.
Bibir Robin sedikit terbuka karena tidak mengerti bagaimana harus menyampaikan pesan konyol Julian kepada Yura.
“Anda tidak memiliki masalah apa-apa Tuan” katanya dengan samar. Robin tidak tahu bagaimana harus berkata kepada Yura untuk mencari alasan jika pada kenyataannya tuannya tidak kenapa-kenapa.
“Tidak memiliki masalah katamu?. Lihat aku Robin, aku selalu memiliki jalan keluar dalam masalah hidupku. Jika aku tidak memiliki jalan keluar, bahkan jika aku tidak bisa memilih jam tangan yang harus aku pakai hari ini. Itu artinya aku dalam masalah darurat. Kepalaku yang berharga ini sedang ada dalam masalah darurat.” Tekan Julian dengan omelan frustasinya.
Perlahan Robin nyengir dan sedikit mundur mendengarkan omelan tuannya, dia sudah terbiasa mendengarkan apapun keluh kesah Julian, sekecil apapun itu, bahkan untuk sesuatu yang tidak penting, tidak berfaedah sama sekali.
Pernah sekali, Robin di mendapat panggilan darurat dari Julian di malam hari ketika dia berada dalam perlanan pulang. Robin segera datang ke restorant tempat Julian nongkrong, Julian hanya menyuruh Robin untuk mencicipi makanan yang di pesannya apakah rasanya enak atau tidak. Karena itu Robin sudah terbiasa.
Robin bersabar karena dia tahu bagaimana kejiwaan Julian yang sesungguhnya.
“Tuan, apa Anda butuh obat?. Sudah lama Anda tidak minum obat. Saya selalu membawanya” Tawar Robin dengan sedikit hati-hati.
Julian menarik napasnya perlahan, kepalanya terangkat angkuh dengan kaki melangkah perlahan mendekati Robin. Tangan Julian langsung bersedekap, “Sekali lagi kau mengeluarkan suara tanpa menuruti perintahku. Akan aku pastikan hari ini kau mendayung menuju Amerika.”
To Be Continue . . .