34. Princess Stary

1142 Kata
Mereka berdiri bersisian di atap gedung terbengkalai persis seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Memandang jauh ke depan dengan tatapan kosong karena pikiran keduanya dipenuhi oleh beban hati masing-masing. Menelusuri momen pergantian antara dini hari dan pagi yang sebentar lagi akan terjadi. Langit begitu gelap, dunia terasa hening dan hanya angin dingin yang berhembus di sekitar mereka. Membuat bulu kuduk mereka berdiri spontan akibat perbedaan suhu yang sangat jelas. “Katanya, langit sebelum matahari terbit berada pada titik tergelapnya. The dawn…” gumam Makula. “Ya, benar. Dulu, aku sering menunggu matahari pagi bersama Dewi…” “Dewi?” potong Makula. “Maksudku, Dewi adalah temanku di pertambangan. Kami sering melihat matahari terbit bersama dan sangat menikmati momen tergelap langit sebelum cahaya matahari muncul dari ufuk. Momen yang membuat kami hening dan saling menggenggam tangan. Momen yang membuat merinding seperti ini…” Makula mengangguk, senyum jahil muncul di bibirnya, “Apakah kau membutuhkan genggaman tanganku?” Kartajaya mengernyit, membuang muka, “Tidak. Kau bukan Dewi Lintang.” “Mungkin dialah yang membuatmu ingin kembali ke tempat sebelumnya, bukan?” tanya Makula. Spontan, Kartajaya menoleh menatap Makula yang sedang tersenyum penuh arti. Pria itu terheran-heran, terkadang Makula seperti orang yang mengetahui segalanya, namun ada masa-masa dimana Makula seperti manusia pada umumnya yang penasaran pada detail kecil dalam sebuah percakapan. “Ya, aku ingin kembali ke tempat lamaku dan bertemu kembali dengannya. Tapi hal itu sangat mustahil…” “Mengapa begitu?” “Karena dia sudah meninggal.” Makula menepuk pundak Kartajaya, “Aku turut berduka cita, Aksata.” Pria aneh yang memiliki sejuta kelebihan itu duduk di permukaan lantai, kemudian menarik Kartajaya untuk duduk di sampingnya. Usai keduanya duduk memandang langit yang membentang, Kartajaya mengangguk, “Dia sudah lama pergi, namun aku belum mampu melupakannya sama sekali. Kepergiannya adalah kesalahanku…” Makula menggeleng, “Sama seperti pertemuan kalian, kepergiannya adalah takdir yang sudah dituliskan. Bukankah, kau percaya kepada takdir?” Kartajaya termenung, pandangannya menerawang ke depan, membayangkan Dewi Lintang yang sangat jelita sedang tersenyum begitu mempesona di depannya. “Aku percaya kepada takdir.” “Sebab itu, tak perlu putus harapan. Siapa tahu kamu akan menemukan Dewi mu yang lain…” bisik Makula di telinga Kartajaya. Hal itu berhasil mengagetkan lamunan Kartajaya hingga terperanjat dan menoleh ke samping dengan cepat. “Apa maksudmu?” tanya Kartajaya. “Tidak akan ada Dewi yang lain. Dia tidak tergantikan!” “Tidak boleh berkata seperti itu, kau adalah manusia biasa yang tidak tahu apa-apa. Siapa tahu…” “Aku tidak akan mencari penggantinya. Aku akan setia kepada kekasihku!” potong Kartajaya tak sabaran. “Ya, Okay. Kita lihat saja nanti jika kau bertemu wanita super cantik di Kerajaan ini. Apakah kau mampu berkutik? Kudengar dari Arsen, kau bahkan menangis saat melihatnya terakhir kali…” “Menangis? Aku menangis melihat wanita cantik?” “Ya, kau menangis saat melihatnya!” “Mungkin Aksata yang menangis…” pikir Kartajaya. “Tunggu sebentar, sebelum kau mengejekku, aku membutuhkan detail cerita ini. Aku bahkan lupa pernah menangis saat melihat seorang wanita…” “Ck! Apa saja sebenarnya yang tersisa dalam ingatanmu itu, Aksata!?” keluh Makula. “Begini ceritanya, Kau dan Arsen bertemu dengan Princess Stary yang jelita itu. Arsen berkata, saat hendak menuangkan racun itu, kau justru menangis, benar-benar menangis karena kedua matamu melelehkan cairan bening yang sangat banyak dan tidak mau berhenti…” “Kenapa bisa begitu?” pekik Kartajaya. “Mungkin kau terlalu terpesona kepadanya.” “Mungkin Aksata jatuh cinta kepada kecantikan Princess Stary.” Simpul Kartajaya dalam hati. “Lagipula, mengapa aku harus menuangkan racun kepada wanita cantik seperti dia? Apakah aku ada dendam pribadi kepadanya?” tanya Kartajaya. Ia masih sangat bingung dengan situasi yang terjadi. “Kau, Arsen dan lainnya memang dikirim untuk meracuni Princess Stary, bukan karena dendam pribadi, namun karena misi yang diberikan oleh kelompok kami.” “Tapi kenapa harus membunuh seorang wanita?” Kartajaya tak terima. “Asal kau tahu, ubahlah cara pandangmu tentang wanita yang ada di dalam istana kerajaan. Disana terdapat ratu yang sangat arogan, jenderal Irish yang merupakan psikopat wanita mengerikan, dan Princess Stary yang adalah symbol kekuatan kerajaan ini. Dia adalah anak angkat Raja Istvan yang merupakan pembawa keberuntungan. Untuk menjatuhkan dinasti Skarsgard, kita harus melenyapkan symbol kekuatan dan keberuntungannya, yaitu Princess Stary.” “Lalu mengapa aku menangis saat melihatnya? Padahal bukankah seharusnya aku membunuhnya dengan hati yang dingin?” “Entahlah. Kau menangis seperti orang bodoh menurut cerita Arsen. Bahkan pipimu merona, mungkin kau jatuh cinta padanya dan merasa bersedih karena harus membunuhnya pada saat itu juga…” “Aksata… jatuh cinta?” pekik Kartajaya. Kartajaya menggeleng heran, “Selama ini aku hanya mendengar penjelasan tentang misi yang gagal kulakukan, namun tidak pernah mengetahui ada detail aneh dibalik kegagalan itu…” jelas Kartajaya. Pria itu menarik nafas berat, “Aksata, apakah kau ada di dalam tubuh ini? Atau kau telah…” tanya Kartajaya pada dirinya sendiri di dalam hati, ia menelan ludah, tak sanggup melanjutkan pertanyaannya. “Aksata, jika aku bertemu dengan wanitamu, aku bersumpah untuk tidak akan jatuh cinta kepadanya… Dia adalah wanitamu, aku akan menghormatinya dengan cara seperti itu…” PLTAKKK!! “ACK!” teriak Kartajaya. “Apa yang kau lakukan, Makula!?” Kartajaya melotot galak, ia tak terima dijitak begitu keras oleh Makula. Kepalanya terasa sakit dan berdenyut-denyut. “Jangan sembarangan bersumpah!” marah Makula, “Kau tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya dan mungkin kau akan menyesali sumpahmu itu! Tarik kembali sumpahmu!” teriak Makula benar-benar marah. “Kau mendengar isi kepalaku, bukan?” tuduh Kartajaya. “Jangan mengelak! Aku tahu kau bisa mendengar isi hati dan kepalaku. Jangan bilang kau hanya membaca raut wajahku saja! Akui saja, Makula!” “Kalau aku bisa membaca isi kepalamu, lalu kenapa? Kau tidak terima?” “Isi kepalaku adalah otoritas wilayahku. Kau tidak bisa mengganggu gugatnya! Dia bukan otoritasmu!” “Tapi aku bisa meluruskan isi kepalamu yang bodoh itu! Cih! Raja macam apa yang bodoh seperti ini…” “Raja?” pekik Kartajaya. “Ups!” Makula menutup mulutnya dengan kedua tangan. Jelas saja dia telah kelepasan bicara sesuatu yang tidak seharusnya. “Apa yang kau katakan? Apa kau tahu…” Kartajaya terdiam, ia tidak tahu kalimat macam apa yang tepat untuk menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Makula menggeleng keras. “Jangan salah sangka! Aku memanggilmu begitu karena kau memiliki warna aura seorang Raja. Hanya itu!” jelas Makula. “Jadi, kau bisa membaca warna aura juga?” “Ya, Warna auramu emas dan kau memiliki mahkota di aura itu. Tapi orang bodoh sepertimu mana bisa menjadi Raja, cepat tarik kembali sumpahmu itu atau kau akan menyesal setengah mati karena telah memutuskannya!” “Aku tidak akan menarik sumpahku! Kecuali kau bicara yang sejujurnya!” “Aku akan bicara yang sejujurnya, asal kau menarik sumpahmu!” “Baik! Aku menarik kembali sumpahku dan tidak menganggapnya valid! Puas, kau?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN