“Mari ikut bersamaku…”
Makula berdiri, kemudian mengulurkan tangan kepada Kartajaya.
“Ikut bersamamu? Kemana?” tanya Kartajaya seraya menerima uluran tangan Makula.
“Oh, boy! Yang jelas bukan ke danau mistis itu lagi!” jawab Makula sambil menepu-nepuk pundak Kartajaya.
“Sepertinya danau itu menimbulkan trauma di dalam dirimu?” tanya Kartajaya.
Mereka berjalan beriringan keluar dari ruang latihan, lalu berbelok menuju lorong panjang yang ada di bangunan bawah tanah yang tersembunyi di tengah hutan belantara yang paling lebat di Kerajaan Skars.
“Trauma? Tidak! Hanya saja…” Makula menggumam.
“Hanya saja?” sambung Kartajaya.
“Aksata, kau pernah melihat kabut tebal hingga tak bisa membuatmu melihat semua yang yang sebelumnya kau lihat?” Makula menoleh penuh tanya.
“Kabut tebal?” pekik Kartajaya.
Satu-satunya kabut tebal yang pernah Kartajaya hadapi, kabut yang membuatnya buta arah dan tersesat lalu berakhir di tepi danau misterius. Tentu saja Kartajaya ingat. Kabut itu adalah kabut yang ditemuinya di kedalaman hutan terlarang di salah satu area pegunungan di Kerajaan Salaka.
“Ya, kabut tebal yang menutup pandangan. Saat berada di sana, aku merasa seperti masuk ke wilayah asing yang persis seperti itu. Aku seperti dibawa ke tempat yang sangat jauh dan tak terjamah. Seorang diri. Dan seperti tak ada kehidupan. Tak ada kalian semua. Sebab itu, aku hilang konsentrasi lalu hilang kesadaran. Jadi, aku tidak ingin mengulanginya. Aku tidak suka memasuki tempat asing yang membuatku hilang kendali kepada diriku sendiri…”
“Jadi kamu… mungkin telah memasuki wilayah lain dengan kemampuanmu itu? Teleportasi?”
“Tidak, itu bukan teleportasi, tubuhku tidak berpindah tempat, tapi jiwaku lah yang memasukinya…”
Kartajaya terdiam, ia berpikir jika Makula memiliki kemampuan seperti Mahaguru yang bisa membelah raga hingga sosok astralnya bisa berpindah dan mengunjungi tempat-tempat yang diinginkan. Bedanya, Mahaguru sangat ahli dalam mengendalikan dirinya, sedangkan Makula tidak mengerti cara melakukan semua itu. Atau justru Makula hanya sedang berhalusinasi sehingga berpikir yang tidak-tidak.
Pria itu tidak bisa menyimpulkan dengan sembarangan atas kemampuan yang dimiliki Makula, jika Makula sendiri tidak bisa mendefinisikan apa yang dialaminya dengan benar, maka Kartajaya tidak bisa menyimpulkan dengan sembarangan.
“Aku harap kau mendapatkan jawaban atas segala kebimbanganmu, kawan.” Simpul Kartajaya.
“Aku harap begitu…”
Mereka berbelok lalu memasuki sebuah Lorong tua yang cukup Kartajaya kenal.
“Kita akan menuju gedung tua terbengkalai itu lagi?”
“Kau masih ingat dengan lorong-lorong ini?”
“Ya, tentu saja aku masih ingat. Walau kunjungan singkat, namun Lorong dan gedung tua itu sangat membekas di dalam hatiku!”
Makula tertawa nyaring, “Kau sangat sentimental…”
“Aku… aku hanya mencoba untuk menyentuh sisi perasaanku, mungkin dengan begitu aku bisa lebih betah disini dan tidak berpikir ingin kembali ke tempat lama… Entahlah!”
“Ck! Sudah, jangan berpikir tempat lama, mustahil untukmu kembali!” cetus Makula.
“Mustahil?”
Makula terdiam selama beberapa saat, Pandangannya menunduk hingga Kartajaya ikut menunduk untuk melihat apa yang sedang kawannya lihat.
“Bukankah pertambangan tempat kau menjadi b***k sudah diberangus oleh Tuan Yasa? Lagipula pertambangan itu sudah sangat tua, bobrok dan ditinggalkan. Terlalu bahaya untukmu tinggal disana…”
Makula mendongak, menatap Kartajaya.
Kartajaya mengangguk kecil walau ada sebersit kekecewaan di dalam dadanya. Ia mengira jika Makula akan mengatakan sesuatu yang dia “ketahui” dengan kemampuan hebatnya itu, namun ternyata pemuda itu memilih untuk menyembunyikan maksud katanya.
“Atau ini hanya pikiranku saja yang berlebihan? Terlalu sensitive terhadap kata-kata mustahil pulang?” pikir Kartajaya.
“Ada alasan mengapa bumi ada di galaxy ini…” gumam Makula.
“Ya?” seru Kartajaya tersadar dari lamunannya. “Apa yang kau katakan?”
“Ada alasan mengapa bumi ada di galaxy ini, mengapa aku terlahir dengan kemampuan ini, dan mengapa kau terlahir disini…” jawab Makula. “Seperti air yang mengikuti arus sungai, ikutilah jalan hidup ini tanpa melawan arus.” Jelas Makula.
“Ikuti jalan hidup tanpa melawan arus? Bukankah itu adalah sikap pasrah orang-orang yang tidak memiliki keinginan besar?”
“Pasrah dan bukan menyerah. Jika kau memiliki keinginan besar, lakukanlah, lawan arus ini jika kau bisa… lagipula…”
“Lagipula?” sela Kartajaya tak sabaran.
“Aksata, asal kau tahu, ada dua hal yang terjadi pada orang yang melawan arus kehidupan. Jika tidak babak belur, ya pasti kamu akan hanyut tanpa bekas yang berarti. Kau ingin pergi dari tempat ini tanpa meninggalkan makna lebih atas kelahiranmu?”
Kartajaya termenung mendengarkan nasehat Makula yang penuh makna dan sangat dalam. Ia merenungi setiap kalimat yang anak muda itu sampaikan dengan penuh bijaksana.
“Meninggalkan makna lebih atas kelahiranku…” pikir Kartajaya. “Jadi maksudnya aku terlahir disini? Aku terlahir di tubuh ini? Atau kelahiran Aksata lah yang Makula maksud? Ah! Sungguh memusingkan!”
“Tidak usah terlalu banyak berpikir. Ikuti arus ini… akuti arah angin berhembus dan hati berkata. Mungkin dengan begitu, kau bisa menemukan kebahagiaan sejatimu…” pesan Makula.
Kartajaya mengangguk, kini ia yakin sepenuhnya jika Makula bisa membaca isi kepalanya. Walau tak ingin mengakuinya, tapi pria itu menunjukkan banyak sikap yang menandakan bahwa dia memiliki kemampuan seperti itu.
Mereka menyusuri lorong yang panjang hingga sampailah pada ujungnya. Di sana mereka tidak menemukan kehadiran siapapun dan sangat sepi. Hanya ada mereka berdua.
Keduanya menaiki anak tangga satu persatu dari permukaan dasar Lorong bawah tanah tersebut, kemudian berhenti di permukaan gedung yang gelap dan sepi hingga membuat bulu kuduk dua anak muda itu berdiri.
“Kita belum meminta izin Lord Yasa untuk keluar pagi ini…” seru Kartajaya, ia khawatir membuat semua orang mencari mereka.
“Tidak perlu khawatir, Lord Yasa sudah bangun pada dini hari dan pasti sedang mengawasi semua alat pengintai bersama tim yang berjaga malam. Aku yakin, Lord Yasa sudah mengetahui kepergian kita…”
“Tidakkah dia akan marah?”
“Setelah apa yang terjadi kemarin, dia tidak akan marah. Dia pasti membebaskanku pergi kemanapun. Dia tidak akan melarangku melakuka hal-hal yang aku butuhkan… Dia tidak bisa mengikatku.”
“Itu berlaku untukmu, bukan untukku!”
“Tentu saja itu berlaku untukmu juga…”
“Mengapa bisa begitu?”
“Karena kau pergi bersamaku…”
“Apakah itu akses khusus?”
“Ya, Akses khusus. Lagipula, Lord Yasa tahu jika kita tidak akan membahayakan mereka semua, kecuali kamu bertemu dengan pasukan Jenderal Irish dan tertangkap, itu baru sangat bahaya! mengingat kau sangat lemah, jadi mungkin hanya dengan sedikit siksaan saja sudah mampu memancingmu membuka rahasia.”
“Aku bukan orang yang seperti itu! Aku bisa menjaga rahasia!” bantah Kartajaya cepat.
Kartajaya mengernyit mendengar pekikan suaranya yang seperti gadis remaja, “Bocah Aksata ini belum tumbuh dewasa dengan baik, bahkan suaranya masih seperti anak gadis!” Keluh Kartajaya dalam hati.
“Sudah, jangan mengkhawatirkan banyak hal. Mari ringankan pikiran dan mensyukuri hidup dengan melihat matahari terbit. Sebentar lagi matahari akan muncul di ufuk…”
***