“Kisanak, mengapa engkau tinggal di tengah hutan seorang diri?”
Arya Wicaksana dan Sang Kisanak berbaring di atas dipan yang terletak di halaman gubuk sederhana itu. Mereka terlentang menghandap langit yang penuh bintang ditemani suara binatang-binatang yang sahut menyahut di sekitar mereka.
Kepala Sang Kisanak yang sedang berbantalkan lengan yang terlipat menoleh ke samping, ke tempat Arya sedang menatapnya dengan tatapan bertanya dan penasaran.
“Mengapa kau begitu penasaran denganku, Arya?”
“Untuk ukuran usia Kisanak, Anda adalah pria yang tampan, yah walaupun Anda memiliki jenggot yang tidak rapi dan terlihat seperti pengembara yang sudah lama tidak mandi, namun sekarang aku sedang melihat seorang pria tampan dan penuh kharisma. Anda pun memiliki tubuh yang sangat bagus, terlatih dan berotot. Lima bandit bersenjata pun bisa Anda kalahkan hanya dengan satu pukulan saja dengan tubuh kemampuan tubuh Anda itu.” Jelas Arya bertele-tele.
“Jadi?” Kedua alis Kisanak terangkat mendengar semua pujian Arya. Pujian yang seringkali dia dengar beberapa tahun yang lalu.
Arya berpaling dari tatapan intens Kisanak, dan kembali menatap langit.
“Jadi, mengapa Anda memilih tinggal di tengah hutan yang berbahaya ini? Anda bisa saja tinggal di pusat Kerajaan dan menjadi Prajurit hebat seperti Ayahku, lalu jatuh cinta pada putri bangsawan dan berhasil menikahinya, lalu memiliki anak yang tampan dan manis sepertiku. Lalu…”
“Intinya?”
Arya menoleh cepat, tak menyangka pidato panjangnya dipotong begitu saja oleh Sang Kisanak. Berani-beraninya dia memotong pembicaraan Arya Putra Wicaksana!
Namun melihat muka malas Kisanak, Arya hanya memutar mata dan cemberut.
“Intinya, Anda memiliki potensi yang sangat besar, kisanak. Tidak perlu tinggal di hutan berbahaya yang memiliki binatang buas seperti ini. Anda bisa tinggal di pusat kerajaan dan menikah. Mendapat pekerjaan yang layak dan beramah tamah dengan masyarakat. Disini, apa yang bisa Anda lakukan disini selain melihat bintang setiap malam, mencari makan dan minum dengan susah payah, Anda mau bilang Anda sibuk membuat patung… Ya, Patung buatan Anda memang sangat indah. Namun, sudah sejak pertama kali aku datang kemari rasanya patung itu belum juga selesai dibuat. Apakah Anda benar-benar sanggup menyelesaikannya?”
“Patung itu sebenarnya sudah selesai. Hanya saja, ada beberapa bagian yang ingin aku tambahkan. Kau tinggallah disini selama beberapa hari ke depan agar bisa membantuku memelehkan biji logam yang ayahmu berikan.”
“Bagaimana jika ibuku mencari?” tanya Arya dengan tidak sungguh-sungguh. Sebenarnya ia memang berencana untuk tinggal lebih lama karena sangat penasaran pada sang kisanak yang dikunjunginya. Pada saat pertama kalinya mendapat tugas untuk mengantar biji logam untuk kisanak misterius ini, Arya pasti dipenuhi ketakutan-ketakutan yang memenuhi jiwanya. Benaknya pasti dipenuhi tanya, namun ia hanya bisa diam saja. Kali ini, ia akan menggali informasi sebanyak-banyaknya. Mengapa seseorang seperti kisanak memilih tinggal di tengah hutan belantara.
“Ayahmu akan menenangkan Ibumu. Tidak udah khawatir.”
“Anda benar, Ayahanda pasti selalu bisa menenangkan ibuku. Uhm… Sebenarnya…” Arya menghela nafas kemudian kembali menoleh kepada Kisanak. “Ayahanda memintaku untuk diam dan tidak banyak bicara. Ayahanda pun menyuruhku untuk bersikap hormat, menunduk dan memperlakukan Anda dengan Agung. Aku jadi semakin penasaran, siapa Anda sesungguhnya, Kisanak? Mengapa Ayahanda memintaku menjaga sikap agar Anda mau menjadikan aku murid Anda.”
“Ayahmu berharap agar kau menjadi muridku?” tanya Kisanak, mengabaikan setiap pertanyaan penuh penasaran dari Arya Putra Wicaksana.
“Ya, Mengapa begitu? Padahal Aku ingin menjadi murid Guru Dharma di Kerajaan, agar aku tidak kalah saat harus beradu tarung dengan Pangeran Wiryaloka.”
“Wiryaloka?” seru Kisanak. “Putra Wiryasukma?”
“Anda mengetahui mereka?” seru Arya. “Mengapa Anda sangat tidak sopan menyebut nama mereka. Jangan karena Anda jauh dari Pusat Kerajaan, maka Anda bisa menyebut mereka dengan sembarangan, wahai Kisanak.” Tegur Arya. “Dan Ya, Pangeran Wiryaloka adalah Putra dari Putra Mahkota Wiryasukma. Cucu dari Yang Mulia Ibu Ratu Prabawati.”
“Usiamu berapa sekarang?”
Arya mengernyit mendengar pertanyaan yang sangat tiba-tiba dan tak berhubungan dengan penjelasan sebelumnya, “Tujuh belas.”
“Apakah kamu sebaya dengan Pangeran Wiryaloka?”
“Benar. Bagaimana Anda tahu semua hal itu!?”
“Artinya sudah lima tahun berlalu…”
“Lima tahun?”
“Ya, Sudah lima tahun Kerajaan Salaka, saya tinggal di gubuk tua ini.”
“Benarkah? Dan kisanak bertahan disini sendirian?”
“Tidak sendirian.”
“Oh ya, apakah keluarga Anda sering datang berkunjung.”
“Mereka berkunjung setiap malam.”
“Sungguh? Lalu mengapa malam ini mereka tidak datang?”
“Mereka datang. Lihatlah ke langit, Istriku sedang bermain-main di sana.”
“Bintang? Lintang? Kisanak, tolonglah berhenti berkhayal seperti itu. Jangan biarkan hal-hal seperti ini merusak masa depan Anda.”
“Apakah aku terlihat seperti sedang berkhayal dimatamu, Anak muda?”
“Tentu saja. Anda terlihat sangat menyedihkan. Tinggal sendiri di tengah hutan, tak berkeluarga dan memiliki harta. Aku kasihan pada Kisanak. Aku ingin Kisanak ikut bersamaku ke pusat Kerajaan dan tinggal bersama kami. Bagaimana? Apakah Anda mau?”
“Kau kasihan kepadaku dan ingin membawaku ke pusat ibu kota Salaka?”
“Ya, Tentu saja!”
Tawa sinis keluar dari mulut kisanak, “Apakah kau sanggup menghadapi resiko yang menghadangmu jika sampai berani membawaku ke pusat Kerajaan?”
“Resiko yang menghadangku?” Arya berbaring miring dan menatap Kisanak dengan penasaran. “Memangnya resiko macam apa yang harus aku hadapi nanti? Kisanak… kau tidak usah mengkhawatirkan ibuku. Akan kukatakan kepada Ibunda bahwa aku membutuhkan Anda sebagai guruku, dan Ayahanda pasti akan menyetujuinya secara langsung. Ayahanda sangat mengharapkan Anda agar mau mengangkatku sebagai murid.”
“Aku tidak mengkhawatirkan ibumu. Dia akan menuruti keinginan suaminya apapun itu. Yang aku khawatirkan adalah apa yang akan menimpa kalian sebagai resiko dari kepulanganku.”
“Dan apakah resiko itu, Kisanak?”
Kisanak bangkit dari baring. Sepertinya sudah bosan menatap langit malam yang penuh bintang.
Arya pun mengikuti gerakan kisanak dan duduk di atas dipan kayu yang cukup luas untuk mereka berdua.
“Apakah kau benar-benar ingin menjadi muridku?” tanya Kisanak tiba-tiba.
“Hmn…”
“Kau ingin Guru Dharma yang menjadi gurumu?”
“Ya, tapi Ayahku menginginkan Anda yang menjadi guru bagiku.”
“Aku tidak sembarangan menerima murid dan aku tidak pula menerima murid yang tidak menginginkanku menjadi gurunya. Katakan hal itu kepada Ayahmu.”
“Tapi Ayahanda memaksaku. Aku harus memohon dikaki kisanak agar mau menerimaku.”
“Jadi, apa yang kau mau, Anak muda?”
“Jadilah guruku, Kisanak.”
“Tidak.”
“Tidak?”
“Sudah ku katakan, aku tidak sembarangan menerima murid.”
“Ayahanda pasti akan memenggalku jika aku pulang tanpa ilmu baru yang kudapatkan darimu.”
“Begitu ancamannya?”
“Ya! Itulah mengapa aku sangat marah padanya.” Arya bangkit dari dipan dan berjalan kesal. Ia seperti menelan biji simalakama saat merendahkan diri untuk berlutut di depan Kisanak Tanpa Nama yang tak dikenalnya.
“Aku mohon, jangan biarkan kepalaku dipenggal Ayahanda. Jadilah guruku, Wahai Kisanak?” pinta Arya dengan sikap main-main dan seolah sedang mengejek.
“Wicaksana telah mendidikmu dengan sangat buruk. Kau sangat manja dan tidak tahu cara berkomunikasi dengan gurumu. Caramu memohon sangat tidak sopan!” tegur Kisanak dengan keras. Membuat Arya terperanjat dan terhuyung di tempat. “Kembalilah kepada orangtuamu, dan katakana pada mereka bahwa mereka perlu mendidikmu dengan keras dibawah Guru Champaka!”
“Guru Champaka! Tidak! Aku tidak mau! Dia sangat kejam!”
“Anak yang selalu dimanja ibu dan ayahnya lebih baik mendapat didikan Guru Champaka!”
“Tidak! Lebih baik aku menjadi murid Anda, Kisanak. Aku tidak mau menjadi murid dari Guru Sekejam itu.”
“Tidak mudah menjadi muridku. Kau tak akan sanggup!”
“Aku sanggup! Aku sanggup. Kumohon terima aku, lebih baik aku menjadi murid Anda daripada harus menjadi murid Champaka!”
***