4. Kisanak Misterius

1563 Kata
Kartajaya terbangun di tengah hutan belantara seorang diri tanpa siapapun di sekitarnya. Hutan itu sangat rimbun dengan serbuan angin dingin yang menggoncang pepohonan sehingga dedaunan kering berjatuhan ke permukaan tanah subur yang menjadi tempat baringnya. Kartajaya bergerak dan duduk di permukaan tanah, wajahnya menunduk, memperhatikan penampilan tubuh yang masih menggunakan pakaian prosesi kenaikan tahta di singgasana Kerajaan Salaka. Pakaiannya masih lengkap, dengan kain menyampir sempurna. Keris yang terpasang rapi, dan tongkat berisi pedang yang tergeletak di sisi tubuhnya. Bahkan alas kakinya pun masih sama, terpasang begitu sempurna tanpa terlepas dari kakinya. Ia seolah baru saja tertidur di Istana Kerajaan Salaka, bukan di hutan belantara. “Kerajaan Salaka…” Desir hati Kartajaya. Kerajaan tempat keluarganya berada. Warisan turun temurun dari leluhur telah kacau balau oleh adu domba yang dibuat oleh adik iparnya – Pangeran Wiryasukma dari Kerajaan Tarum. Pangeran Wiryasukma adalah putra bungsu dari Raja Tarum yang menikah dengan Adik Kartajaya yang bernama Yang Mulia Puteri Purbaningrat. Mengingat-ingat karakter Purbaningrat dan ibunda selir Prabawati yang terkenal dengan iri, dengki dan banyaknya sifat buruk yang melekat pada mereka, Kartajaya membuat kesimpulan bahwa pemberontakan yang terjadi pada hari kenaikan tahtanya tidak dilakukan oleh Wiryasukma seorang diri, melainkan sebuah konspirasi yang dilakukan bersama  saudara dan ibu tirinya yang tidak ingin melihat Kartajaya naik tahta singgasana Kerajaan Salaka. Mereka semua telah berhasil mengecoh Kartajaya hingga tidak menyadari konspirasi yang terjadi. Malangnya, Prajurit, Yang Mulia Raja Dewawarman, dan Dewi Lintang Arum lah yang menjadi korban-korban tak bersalah atas ketamakan mereka. Kini tak tersisa apapun bagi Kartajaya, Ia tak ingin kembali ke Kerajaan Salaka dan mengulang semua kenangan atas pengkhianatan terburuk yang pernah didapatkannya. Istrinya, ayahnya dan bahkan seluruh prajurit setianya telah dibantai dengan sadis. Tahtanya telah direnggut, bahkan namanya telah rusak oleh fitnah yang dilayangkan Adik Iparnya. Sementara itu, Mahaguru bersikeras menghalangi upaya Kartajaya dalam membalaskan dendam pada Wiryasukma. Setiap kali Kartajaya menyerang pasukan Wiryasukma, Mahaguru akan menghalanginya dengan berada di sekitar calon korbannya. Mahaguru hanya menggeleng dan berkedip, yang artinya ia tidak setuju jika Kartajaya melepaskan diri pada hari itu, mengamuk tak terkendali dan membunuh semua orang yang telah memenggal orang-orang terkasihnya. Kartajaya tak berkutik karena larangan Mahaguru dan hanya bisa berpasrah ketika Mahaguru mendekapnya dalam cahaya putih yang menenangkan. Mahaguru telah mengucap mantra yang membuat Kartajaya dan semua orang mengantuk hingga tertidur begitu lelapnya tanpa bisa menolak sama sekali. Dan disinilah Kartajaya sekarang, di tengah sebuah hutan belantara yang jauh dari pemukiman. Seorang diri, tanpa bekal apapun kecuali pedang dan keris sakti di pinggangnya. Kartajaya melepas Mahkota dari kepala. Mahkota yang terbuat dari emas dan memiliki ukiran yang sangat indah. Mahkota itu merupakan sebuah mahakarya dari pengrajin logam terbaik di Kerajaan Salaka. Bobotnya berat, namun layak untuk digunakan atas keindahan yang dimilikinya. Salah satu tangan Kartajaya memeluk Mahkota di pinggangnya, sedangkan tangan yang lain mulai melepas ikatan rambut yang kencang dan membiarkannya tergerai di punggung Kartajaya. Ia pun menyugar rambut ke belakang. Merapikan anak rambut yang turun di pelipis dan terus merapikannya. Hingga rambut hitam dan panjang itu tergerai sempurna, menampakkan keindahan seorang bangsawan kelas atas di Kerajaan Salaka. Bagi Rakyat Salakanagara, Rambut adalah hadiah kehidupan, semakin panjang semakin memiliki nilai lebih di mata masyarakat. Kartajaya pun mulai berjalan membelah hutan dengan tangan kiri memeluk Mahkota Agungnya di pinggang, dan tangan kanan menggenggam erat tongkat pedang. Ia tak tahu harus kemana, namun yang jelas, ia harus memulai kehidupan baru sampai menemukan makna lain dari dirinya. *** Suara kuda meringkik dengan derap kaki yang berhenti di depan sebuah pondok kecil sederhana di tengah hutan. Seorang pria berpakaian hitam dengan topi caping yang besar   turun dari punggung kuda dan mengikat tali kekang kudanya dengan asal-asalan. Sang pemuda berjalan dengan sikap acuh sambil memanggul kain ikat di punggungnya. “Kisanak!” teriaknya. “Kisanak!!!” Tak ada jawaban yang diharapkannya. Pintu pondok kecil yang lebih cocok disebut gubuk itu tak terbuka sama sekali dan hanya terdengar suara benturan logam dari area belakang. Pria itu pun berjalan memutar, melewati area samping rumah dan terus melangkah sampai menemukan sumber suara. “Sebenarnya, apa yang sedang kau buat, kisanak?” tanya pemuda itu. “Istri.” Jawab kisanak yang sedang sibuk menempa. Pria itu berpakaian serba hitam dengan topi caping menutup kepala hingga wajahnya. Area belakang gubuk telah disulap menjadi tempat pengolahan logam yang sederhana. Tidak seperti pemilik pengrajin mahsyur dengan ketrampilan tingkat tinggi yang memiliki tempat pengolahan lengkap dan bagus, tempat pengolahan ini sederhana dan apa adanya. Lebih terlihat seperti tempat amatir yang baru mulai belajar. “Istri?! Anda membuat istri dari logam? Untuk menyapu kesepian di tengah hutan?” ejek anak muda itu. “Kau tidak tahu apa-apa anak muda…” “Ya, tentu saja. Tapi aku tahu jika menyentuh logam pasti berbeda rasanya daripada menyentuh tubuh wanita.” Sang Pemuda menjatuhkan kain ikat berwarna hitam di samping sang kisanak. “Kau terlalu kecil untuk mengerti rasanya menyentuh seorang wanita.” “Aku mengerti, tentu saja. Rasanya lembut seperti menyentuh sutra.” “Wicaksana sangat keterlaluan. Menyuruh anaknya datang kemari dan melantur tentang wanita.” “Ust! Kisanak, jangan beritahu ayahku tentang hal ini. Aku belum boleh menyentuh istri yang baru kunikahi, tapi aku sudah menyentuhnya sedikit demi sedikit tanpa sepengetahuan ayah dan ibuku.” “Aku tak peduli.” “Bagus. Lagipula, siapa kau sebenarnya, Kisanak? Mengapa ayahku repot-repot memberikanmu semua biji logam ini dan selalu menyuruhku untuk pergi diam-diam menemuimu!?” “Tidak perlu tahu siapa aku. Kau hanya perlu melakukan perintah ayahmu. Dan jangan sentuh istri yang masih terlalu kecil bagimu.” Anak muda itu mencebik dan mendengus, “Istriku adalah urusanku.” “Bagaimana kabar Wicaksana itu?” sang kisanak mengalihkan pembicaraan.   “Ayahanda masih menjadi tahanan dalam dan tidak bisa pergi jauh dari lingkaran rumah kami. Beruntung ibu kami masih memiliki kekerabatan dengan Ibu Ratu Prabawati. Sehingga Ayah tidak dihukum penggal seperti kawan-kawannya beberapa tahun yang lalu. Ayahpun sudah bersumpah setia pada ibu ratu namun memilih berhenti menjadi prajurit istana dan berdagang.” “Ayahmu adalah orang yang beruntung. Semoga kau memiliki keberuntungan dan keahlian seperti dirinya, Arya.” “Tentu saja, Kisanak.” Sang kisanak melihat biji logam di dalam kain dan mengangguk puas. Ia hanya membutuhkan sedikit lagi untuk menyelesaikan mahakaryanya yang berupa patung manusia. “Siapakah dia? Cantik sekali!” Arya Putra Wicaksana berjalan mengelilingi patung yang sedang dikerjakan oleh kisanak misterius di depannya. “Istriku.” “Istrimu?” pemuda itu menyeringai sinis, tatapannya penuh ejekan saat melihat pria di depannya. Menurut ayahnya, kisanak tak bernama ini adalah kawan dekatnya dimasa kecil, mereka berasal dari kampung halaman yang sama dan tumbuh bersama. Bedanya, sang ayah hidup Makmur di pusat Kerajaan Salaka sebagai prajurit kerajaan, sementara kisanak tersebut hidup gagal sebagai pecundang di tengah hutan belantara sendirian. Penampilan sang kisanak tanpa nama itu selalu terlihat lusuh, pakaiannya serba hitam, sering memakai topi caping besar yang hampir menutupi separuh wajah. Namun begitu, kisanak memiliki tubuh bugar dan bagus, jauh lebih bagus daripada tubuh ayahnya yang seorang mantan prajurit kerajaan, hanya satu yang tak bagus, jenggot-jenggot yang memenuhi wajah itu. Jenggot tak beraturan, sangat tebal dan panjang. Jenggot yang hampir membuat pria itu terlihat seperti gelandangan karena sangat tak terurus dengan baik. Pria dengan penampilan kacau seperti ini, tidak mungkin telah menikah dengan wanita cantik yang diabadikan dalam bentuk patung emas yang sangat indah ini. “Ya, istriku. Namanya Lintang.” “Apakah kau sedang berkhayal memiliki istri yang bernama Lintang seperti istri Yang Mulia Putra Mahkota Kartajaya? Konon katanya, putri Lintang sangat cantik dan menawan. Sayang sekali dulu aku tak sempat menemuinya karena aku masih sangat kecil.”   “Ada banyak nama Lintang di dunia ini. Bukan hanya dia yang memiliki nama Lintang. Dan ya, aku hanya sedang berkhayal memiliki istri yang bernama Lintang.” “Cih! Kau sangat menyedihkan, kisanak. Keluarlah dari gubuk ini, pergilah ke kota dan temui banyak wanita cantik disana, agar kau tidak gila dan b******u dengan patungmu saja!” Kisanak berdiri dan menatap Arya dengan tajam. Tatapan yang membuat Arya terpaku di tempat dan merinding ketakutan atas ketajaman yang sedang menghujam matanya. Kisanak tanpa nama itu memiliki aura menakutkan yang membuat Arya gemetar. “A – Aku hanya sedang bercanda.” “Aku tahu.” Kisanak berlalu, menuang segelas air dan menyerahkannya pada Arya. “Minumlah, dan terima kasih sudah mau datang jauh-jauh kemari.” “T – Terima kasih. Aku memang sudah berkuda selama seminggu dan banyak berhenti untuk istirahat. Aku sedang sakit saat menerima tugas ini.” “Kalau begitu, istirahatlah disini, sampai kau siap untuk perjalanan kembali.” “B – Baik, Kisanak.” Saat berhadap-hadapan secara langsung dengan sang kisanak, Arya selalu kalah telak dan tak bisa bicara banyak. Tubuh Kisanak sangat besar dan terlihat tangguh, walau penampilannya terlihat seperti gelandangan yang sangat berantakan, namun kisanak memiliki aura yang luar biasa kuat hingga membuat Arya tunduk hormat saat menatap wajahnya secara langsung seperti ini. Kisanak ini adalah orang yang sangat misterius. Beberapa kali Arya berkunjung ke tengah hutan yang ada di gunung ini, namun hingga sekarang Arya tak mengetahui nama kisanak sama sekali. Bahkan Arya meragukan dirinya sendiri, apakah benar seorang manusia yang dia datangi, atau penunggu gunung yang menakutkan? Entahlah!   “Kisanak, ayahanda selalu memintaku untuk tidak membicarakanmu selain dengan dirinya, Bahkan melarangku untuk membicarakanmu dengan Ibunda. Mengapakah begitu?” “Karena aku memang tidak penting untuk diketahui dunia…”   Kisanak duduk di atas dipan dan meminum air di gelas bambunya. “Ikutilah semua perintah ayahmu agar kau selamat di dunia ini.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN