Suara meringkik terdengar dari kejauhan. Kartajaya tahu jika pasukan Aswadana telah menyusul di belakangnya. Lima belas kuda dan Lima belas prajurit bersenjata. Mereka siap berburu Kartajaya dari belakang.
Itu artinya ada lebih banyak pasukan yang mengejar Arya!
Kartajaya berpikir sejenak, Bagaimana caranya Arya bisa keluar dari serbuan pasukan berkuda Aswadana yang banyak jumlahnya?
Pada akhirnya Kartajaya menepi dan berdiam diri selama beberapa menit. Mata Kartajaya terpejam dengan kedua telapak tangan yang menangkup di depan d4da, Kartajaya pun mulai membaca mantra pelindung bagi Arya agar tak terlihat selama dalam masa pelariannya.
Mantra-mantra itu tentu saja akan melemahkan diri Kartajaya sendiri. Ia telah menyelimuti seluruh kediaman Wicaksana beserta para penghuninya dengan mantra yang menghabiskan hampir sebagian besar energinya, dan kini ia pun melepaskan mantra pelindung bagi Arya – muridnya. Maka, sudah bisa dipastikan bahwa Kartajaya tidak memiliki banyak energi yang tersisa untuk melindungi dirinya sendiri.
Saat berhasil melindungi Arya dengan mantranya, Kartajaya pun kembali membuka mata kemudian melihat dari kejauhan. Pasukan berkuda Aswadana telah sangat dekat dengannya. Mereka bahkan sudah melihat keberadaan Kartajaya yang berada di perbatasan hutan terlarang yang memiliki kabut tebal.
Kartajaya melihat langit malam yang hitam. Bulan purnama telah sempurna di puncak dunia. Sinarnya begitu indah dan menghipnotis mata yang memandang. Tak ada satu cahaya bintang pun yang mampu mengalahkan keindahan sang purnama.
Sebuah kunang-kunang yang memancarkan sinar berwarna hijau melewati pandangan Kartajaya, mengalihkan perhatian pria itu dan menyadarkannya akan bahaya yang melanda.
Kartajaya gamang, pasukan Aswadana sudah begitu dekat dan bisa dipastikan bahwa dirinya akan tertangkap, haruskah dirinya mengakat pedangnya untuk melawan atau melarikan diri ke dalam hutan terlarang?
Pasalnya Kartajaya telah berjanji untuk tidak menumpahkan darah pada malam bulan purnama, namun jika ia tidak segera melarikan diri dan tertangkap oleh pasukan berkuda Aswadana, maka mungkin dirinya terpaksa harus menumpahkan darah mereka. Satu-satunya jalan menuju keselamatan adalah memasuki hutan terlarang, karena pasukan Aswadana pasti kesulitan mengejarnya di dalam kabut yang tebal.
Kartajaya menghela nafas banyak, matanya bergantian menatap Pasukan Aswadana dan Kabut tebal hutan terlarang.
“Serbu!!!” teriak Aswadana yang memimpin pasukan. “Tangkap pengkhianat itu!!”
Panglima perang Yang Mulia Ratu Prabawati itu menarik kekang hingga sang kuda meringkik sangat keras dan berlari semakin kencang. Apa yang dilakukannya itu membuat para prajuritnya melakukan hal yang sama hingga terdengar ringkikan kuda disaat bersamaan. Ringkikan sang kuda yang sangat keras dan penuh semangat, serempak dengan para pengendaranya yang meneriakkan kesetujuan atas perintah Panglima mereka.
Melihat kecepatan kuda yang semakin lama semakin membuat mereka berjarak dekat dengannya, Kartajaya pun mengepalkan kedua tangan, rahang mengetat dan mata memancarkan nekat.
“Tidak boleh ada pertumpahan darah. Malam ini kau harus menjaga kesucianmu…” pesan Mahaguru kembali terngiang di dalam benak Kartajaya.
Ini tentu saja adalah ujian baginya, ujian yang tidak mudah. Ia adalah Jenderal Perang Kerajaan Salaka, orang yang bisa dengan mudah mengalahkan pasukan Aswadana, namun ia telah terikat janji kepada Mahaguru untuk tidak membunuh siapapun di malam bulan purnama. Janji itu membuat Kartajaya tak berdaya melawan mereka.
Dengan satu tekanan keras pada telapak kakinya, Kartajaya melompat dan kembali berlari memasuki hutan terlarang. Ia memang nekat dan tidak memiliki banyak pilihan. Pasukan berkuda Aswadana telah sampai beberapa kaki di belakangnya.
Hutan itu sangat berkabut. Lapisan kabut yang sangat tebal dan sulit ditembus dengan pandangan matanya yang memiliki kemampuan yang sangat tajam. Bahkan tidak terdengar suara apapun di dalam hutan itu kecuali suara desau angin yang menerpa dahan pepohonan. Tidak ada suara binatang jenis apapun, baik pengerat, serangga maupun binatan buas. Semua hal normal di dalam hutan telah lenyap. Hanya ada kehampaan yang sesekali dihiasi desau angin yang membuat Kartajaya menggigil ngeri.
Benar-benar hutan yang mengerikan.
Namun semua hal itu tidak menghentikan langkah kaki Kartajaya, ia terus berlari sambil menerka-nerka apa yang ada di depannya. Ia tidak ingin tertabrak pohon atau jatuh ke dalam jurang, oleh karena itu semakin lama langkah kaki Kartajaya semakin melambat. Sementara suara ringkik kuda semakin terdengar jelas.
“Ternyata mereka berani mengikutiku di belakang!” pikir Kartanya.
“Jangan berhenti. Terus cari pengkhianat itu!” teriak Aswadana.
Dari suaranya yang nyaring, Kartajaya tahu jika posisi Aswadana sudah begitu dekat dengannya.
Lelaki yang memiliki dendam pribadi kepada Kartajaya itu ternyata mampu bertindak nekat dengan membawa pasukan berkuda memasuki hutan terlarang yang terkenal akan kengeriannya.
Beberapa orang berseru dengan gumaman tak jelas, Pasukan itu sepertinya tersesat dan terpencar karena asal suara mereka terpisah-pisah. Beberapa suara berasal dari sebelah kanan dan beberapa dari sebelah kiri. Mereka terdengar panik, namun berusaha mengikuti perintah Sang Panglima Aswadana.
Hingga tiba-tiba saja terdengar suara meringkik yang sangat keras dari para kuda itu di waktu yang bersamaan.
Ringkik ketakutan dan penolakan dari kuda-kuda perang yang tangguh milik Kerajaan Salaka. Mendengar suara ringkik kengerian yang keluar dari mulut kuda membuat kaki Kartajaya berhenti seketika. Ia menoleh ke belakang. Walau tak melihat apapun selain kabut, namun ia bisa menebak jika kini kedua kaki depan kuda terangkat tinggi dan mereka menolak untuk menelusuri hutan terlarang semakin dalam. Kuda itu mengamuk. Kemudian terdengar suara beban berjatuhan menimpa tanah, disertai teriakan para Prajurit Aswadana yang kesakitan setelah tubuh mereka berbenturan dengan tanah.
“Mereka terjatuh dari kuda!” seru Kartajaya di dalam hati.
Beberapa detik setelahnya, para kuda pun meringkik untuk ke sekian kalinya, ringkik yang sangat keras dan menggelegar memenuhi hutan hampa yang dipenuhi keheningan. Kemudian terdengar derap kaki kuda yang berlari menjauh meninggalkan tuan-tuan mereka di hutan tanpa tunggangan.
“Mereka sangat ketakutan…” lirih Kartajaya. “Hingga tidak memperdulikan tuan mereka yang tertinggal di belakang…”
Kali ini terdengar sumpah serapah dari Aswadana yang begitu marah atas apa yang menimpa dirinya dan juga seluruh pasukan berkudanya.
Mereka kini tak memiliki tunggangan untuk mengejar Kartajaya yang berada di depan mereka.
“Pasukan! Berkumpul!” teriak Aswadana.
“Panglima, kami buta arah. Kami tak bisa melihat apapun, bahkan keberadaan Anda sekalipun kami tak bisa menerkanya.”
“Ikuti asal suaraku! Tajamkan pendengaran kalian!”
Ditengah kepanikan pasukan Aswadana yang sudah tidak lagi berkuda, Kartajaya pun melanjutkan pelariannya. Ia berlari semakin cepat untuk menghindari kejaran Aswadana yang begitu gigih ingin menangkapnya.
Hingga tiba-tiba saja pandangan mata Kartajaya tidak tertutup oleh kabut tebal lagi. Matanya menemukan sinar bulan dan langit terang benderang di langit bumi. Tidak ada pepohonan yang menghalangi keindahan itu. Ia telah berhasil keluar dari hutan dan menghadapi langit membentang.
Saat Kartajaya menurunkan pandangannya, ia menemukan keberadaan danau yang luas. Danau itu mengeluarkan kabut putih yang sangat tebal dan mengudara. Walau begitu, Kartajaya masih bisa melihat permukaan air danau yang memancarkan cahaya biru dan hijau berkilauan. Cahaya itu menghipnotis Kartajaya hingga membuat kakinya melangkah tanpa sadar dan berhenti di tepi danau yang sangat indah.
Tangan Kartajaya terulur untuk meraih air bercahaya itu.
“Air ini sangat harum…” gumam Kartajaya, lalu membasuh wajah beberapa kali dengannya.
Mata Kartajaya membuka lebar saat kesegaran menyelimuti wajahnya. Kemudian ia kembali melangkah semakin dekat hingga kakinya terendam di dalam air menyegarkan yang memiliki harum yang sungguh luar biasa nikmat.
Pada saat mata kakinya terendam sempurna, Kartajaya memekik keras saat sebuah lilitan terasa mengikat kakinya.
“A – Apa ini!” seru Kartajaya saat melihat kakinya dililit sebuah tali cahaya berwarna biru. Ia hendak mundur dan melepaskan diri, namun terlambat, tali cahaya berwarna biru itu justru menarik Kartajaya hingga terjatuh sepenuhnya ke dalam danau.
Kartajaya meronta semampunya, namun lilitan tali cahaya itu begitu kuat hingga Kartajaya tak bisa menyelamatkan diri dan tenggelam di dalam danau misterius tersebut.
***