Langkah kaki Arya berhenti dan anak muda itu menopang kedua tangan pada salah satu pohon terdekat. Kartajaya yang melihatnya segera menghampiri Arya dan menepuk pundaknya. Nafas mereka berdua berderu sangat kencang hingga paru-paru terasa sakit bukan kepalang.
“Arya…” panggil Kartajaya.
Arya menelan ludah dan mencoba menetralkan nafas dengan susah payah, “Aku tak sanggup. Aku butuh istirahat sejenak, Yang Mulia.”
Kartajaya mengangguk, “Ambil waktumu, Arya.”
“Terima kasih, Yang Mulia.”
Arya memperhatikan Kartajaya dengan seksama. Ia tak menemukan pria itu merasa kesulitan seperti dirinya. Kartajaya memang bernafas dengan cepat, namun tak terlihat tersiksa sama sekali, seolah-olah ia baru saja berjalan cepat seperti biasanya.
Kaki Kartajaya melangkah ke samping, kemudian ikut bersandar pada pohon yang menopang tubuh Arya. Pria itu terdiam seraya melipat kedua tangan di depan d**a. Matanya menutup dengan damai dan nafas yang berangsur-angsur menjadi tenang.
Arya tak lepas memandang Kartajaya dengan matanya yang kini mampu melihat di kegelapan malam. Pria Agung itu terlihat sangat indah dan gagah. Tubuhnya tinggi dan tegap, Tubuh terlatih yang sangat kuat. Semetara wajahnya yang sebagian besar ditutupi oleh jenggot dan kumis itu selalu terlihat bercahaya. Alis matanya tebal seperti bulan sabit yang indah, mata hitam pekat nan cemerlang, bulu mata lentik yang cantik, hidung tinggi dan bibir yang sangat pas dengan seluruh penampilan maskulinnya. Kartajaya sangat luar biasa. Ini adalah pandangan Arya yang sangat berbeda dari sebelumnya. Jika dulu Arya melihat Kartajaya sangat berantakan bak gelandangan, kini Kartajaya justru terlihat berkali-kali lipat lebih kharismatik dari sebelumnya.
Bibir itu bergerak perlahan, “Suara kuda…”
Arya mengerjap, “Ya?”
“Suara pasukan berkuda sedang mengejar kita.”
“Anda bisa mendengarnya?”
“Ya, tutup mata dan atur konsentrasimu, Arya.” Jawab Kartajaya tanpa membuka mata.
“Baik, Yang Mulia.”
Arya pun menutup mata, mencoba mengendalikan nafas maupun konsentrasinya. Ia berusaha keras untuk memusatkan seluruh konsentrasi pada indra pendengarannya. Tak berapa lama, telinga Arya pun akhirnya bisa menangkap suara derap kaki kuda-kuda yang menginjak tanah dan semak-semak.
“Pasukan berkuda.” Lirih Arya.
“Ya, pasukan berkuda. Rupanya ini adalah jebakan yang telah mereka persiapkan dengan sangat matang. Mungkin mereka telah memantau sejak kedatanganmu ke tempat ini dan mengatur strategi dengan sebaik mungkin.” Kartajaya membuka mata, kemudian menoleh menatap Arya yang juga telah membuka mata, “Akan sulit bagi kita untuk keluar hidup-hidup dari tempat ini tanpa menumpahkan darah mereka sama sekali.”
“Benar. Akan sulit jika tanpa pertumpahan darah. Kecuali darah kita yang tumpah dan mati konyol tanpa perlawanan…”
“Kita harus menjaga pesan Mahaguru, kita tidak boleh berperang dan membunuh mereka ditengah bulan purnama. Kita tidak boleh m3mbunuh lawan.”
“Lalu bagaimana caranya agar bisa lepas dari semua jebakan ini, Yang Mulia?”
Kartajaya berdiri tegak dari sandaran pohon dan berbalik menghadap Arya.
“Bertahan pada rencana yang telah ditetapkan. Kita berpisah beberapa kaki di depan sana. Kau ke kanan dan aku ke kiri.” Jelas Kartajaya, “Dan seperti yang telah kujanjikan sebelumnya, kau akan menemukan keberadaan kuda perangku dan kau bisa menggunakannya untuk pulang ke rumah untuk menyelamatkan keluargamu, Arya.”
“Lalu bagaimana dengan Anda, Yang Mulia? Anda pasti membutuhkan kuda perang itu untuk Anda gunakan!”
“Tidak. Aku telah melepaskan seluruh kepemilikan dan ikatanku terhadap dunia. Aku akan mengembara hanya dengan pakaian dan senjataku saja.”
“Anda benar-benar akan pergi sesuai perintah Mahaguru?”
Kartajaya mengangguk, “Mereka sudah sangat dekat. Apa istirahatmu telah selesai?”
Arya mengangguk, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”
“Bagus.”
Keduanya telah sepakat dan kembali berlari meninggalkan pasukan berkuda di belakang. Kali ini Kartajaya dan Arya berlari dengan sangat cepat. Jauh lebih cepat dari sebelumnya hingga mereka sampai pada tempat yang pernah Kartajaya sebutkan.
Sebuah persimpangan ke kiri dan kanan.
Mereka tak bisa terus melangkah ke depan karena ada jurang yang membentang dan sangat mengerikan.
“Sampai di sini, Arya.” Ujar Kartajaya.
Arya mengangguk, matanya sayu dan sedih.
“Yang Mulia… Anda berhati-hatilah.” Arya berlutut di kaki Kartajaya. “Aku harap suatu saat kita bisa berjumpa lagi dan aku bisa menjadi murid yang menyertaimu dalam perjalanan.”
“Ya, Suatu saat kita akan berjumpa lagi. Aku akan mengajarimu banyak hal pada saat itu.”
“Terima kasih, Yang Mulia.”
“Berhenti memanggil seperti itu, bukankah aku adalah gurumu?”
Arya tersenyum senang, kemudian mendongak menatap Kartajaya, “Ya, Anda adalah Mahaguruku.”
Tangan kanan Kartajaya terulur, kemudian mengelus puncak kepala Arya dan menggumamkan doa untuk muridnya.
“Bangunlah, kau akan pulang dan menyelamatkan keluargamu. Bawa mereka keluar dari Salakanagara dan mulailah hidup baru dengan lebih baik.”
Arya pun bangun seraya bertanya, “Bagaimana jika keluargaku tidak ingin keluar dari Salakanagara?”
“Katakan pada Ayahmu jika ini adalah perintah dariku. Dan Kalian kembalilah ke Salakanagara ketika Ratu Prabawati dan seluruh keturunannya sudah tidak berkuasa.”
“Baik, Mahaguru.”
Kartajaya menyentuh kedua pundak Arya dan mengatur posisi anak muda itu untuk membelakanginya.
“Sekarang berlarilah secepat mungkin. Mereka sudah sangat dekat.” Ucap Kartajaya di samping wajah Arya.
Arya mengangguk, kemudian berucap, “Selamat jalan, Mahaguru.”
“Selamat jalan, Arya.”
Kartajaya mendorong Arya dan melepaskan anak muda itu berlari meninggalkannya. Kartajaya berdiam diri di tempat hingga punggung Arya menghilang ditelan oleh jarak yang membentang.
Pria agung itu menghela nafas kemudian berbalik menghadapi persimpangan jalan yang harus ditempuhnya.
Ia memiliki firasat jika persimpangan jalan itu akan terasa berat. Entah mengapa, namun ia merasa tak yakin bisa melewatinya. Padahal Kartajaya tahu jika itu adalah jalan menuju sungai tempat ia sering menimba air untuk minum dan seluruh keperluannya. Hanya saja, kali ini Kartajaya tidak melewati jalur seperti biasanya. Ini adalah jalur terjauh dan memutar, sehingga ia tidak benar-benar yakin dengan apa yang sebenarnya menghadang.
Kartajaya menarik nafas dengan berat hati, kemudian berlari menyusuri hutan dengan kecepatan tak tertandingi. Namun tiba-tiba saja, angin bergemuruh dengan sangat menakutkan. Suasana hutan menjadi begitu hening, tak terdengar suara binatang dan hanya terdengar nyanyian angin yang menggoyankan daun dan dahan pepohonan.
Hutan menjadi semakin gelap. Sangat gelap dan hanya terlihat cahaya bulan yang menerobos ke dalam hutan. Cahaya yang sangat terang dan indah.
Langkah Kartajaya terhenti. Ia terhenyak melihat pemandangan di depannya. Ia menggigil ketakutan. Terjebak di dalam kengerian yang sangat luar biasa.
Hutan terlarang!
Ia telah memasuki hutan terlarang!
Hutan tersembunyi yang tidak sembarang orang bisa memasuki.
Hutan ini penuh misteri dan kisah mistis. Semua masyarakat mengetahui desas desus mengerikan mengenai hutan ini dan tak satupun dari mereka berani memasukinya kalaupun tak sengaja melihat keberadaannya.
Hutan ini dipenuhi kabut putih dan kemerlap cahaya kunang-kunang berwarna hijau yang sangat indah. Cahaya itu akan menghipnotis siapapun yang melihat dan membawa mereka masuk semakin dalam hingga tak bisa keluar.
***