8. Malam Damai Terakhir

1148 Kata
“Anda sangat mencintainya?” Semakin malam hutan itu semakin hening. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang magis hingga menghipnotis Arya dalam suasana tentram yang mendalam. Untuk pertama kalinya sepanjang hidup, Arya merasa damai saat bersama dengan orang lain selain keluarganya. “Dia adalah duniaku.” Jawab Mahaguru. “Dunia Anda sudah menghilang, itukah sebabnya Anda menyepi disini?” Sejak mengetahui kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki pria dengan penampilan sangat berantakan itu, Arya tak lagi berani bersikap berantakan padanya, bahkan mengubah pola bahasanya menjadi sangat sopan. Dimatanya, Mahaguru bukanlah orang sembarangan. Ia bukan manusia biasa yang bisa diperlakukan dengan sikap urakan maupun kurang ajarnya. Mahaguru mendesah lelah dan menatap langit dengan pandangan yang kosong, seolah sedang membayangkan sesuatu yang berat dan penuh kesedihan, “Segalanya telah menghilang, direnggut paksa dan aku tak punya pilihan selain melanjutkan hidup seolah tak terjadi apapun sebelumnya.” “Dunia memang kejam.” Gumam Arya spontan. Mahaguru pun tersenyum sambil menatap Arya, celetukan anak muda itu berhasil membuatnya heran, “Anak muda bau kencur yang selalu hidup dalam perlindungan ketiak ayah dan ibu sepertimu, tahu apa tentang dunia yang kejam?”  “Tentu saja aku tahu!” seru Arya tak terima, “Aku mencintai Dewi Kencana Arum Sari. Namun aku justru dijodohkan dengan Dewi Naraya. Kenyataan itu pahit, Mahaguru!” “Kau mengenal Dewi Kencana Arum Sari?” Pikiran Mahaguru justru teralihkan oleh nama tersebut. “Ya, tentu saja aku mengenalnya. Apakah Anda tahu Dewi Kencana Arum Sari? Dia adalah adik bungsu dari mendiang Yang Mulia Putri Mahkota Dewi Lintang Arum Sari? Aku mencintai Kencana. Tapi dia menolakku…” Mahaguru terperangah sejenak setelah mendengar penuturan Arya. Kemudian ia menjawab, “Dimana kau bertemu dengan Dewi Kencana?” “Saat itu dia berkunjung ke Kerajaan Salaka bersama Ayahandanya. Mereka sangat marah mengetahui nasib Yang Mulia Dewi Lintang. Mereka hendak mengibarkan bendera perang, namun Ibu Ratu Prabawati berhasil meredam kemarahan semua orang.” Jelas Arya. Pikirannya melayang pada moment paling berkesan dalam hidupnya. “Saat pertama kali aku bertemu dengan Dewi Kencana, aku langsung jatuh cinta setengah mati, aku minta pada ayahanda dan ibunda agar menjodohkanku dengannya. Tapi mereka berkata bahwa Dewi Kencana adalah seorang Putri Raja, sementara aku hanya bangsawan kelas rendah. Jadi aku pasti ditolak oleh mereka.” “Lalu kau pasti bersikeras dan mendapat penolakan secara langsung, bukan?” terka Mahaguru. Hanya dengan sekali lihat, ia bisa tahu sikap anak muda ngeyel seperti Arya. “Ya, Aku bersikeras mendekati Dewi Kencana. Mengikuti kemanapun ia melangkah, dan membujuknya agar mau menjadi kekasihku. Tapi ternyata ia berkata bahwa ia takkan pernah menikahi pria dari Salakanagara. Ia menolakku… bahkan Yang Mulia Raja pun mengusirku.” Mahaguru mengangguk sambil menepuk pundak Arya penuh simpati, “Dunia memang kejam.” Arya mengangguk sambil cemberut membayangkan Dewi Kencana yang cantik jelita. Cinta pertama yang gagal didapatkannya. “Tapi kau berkata bahwa istrimu cantik dan memiliki kulit yang sangat lembut?” “Ya, Dewi Naraya tak kalah cantik dan memiliki kulit yang tak kalah lembut. Ia sama-sama dari kalanganku. Tapi ia bukan Dewi Kencana.” Rajuk Arya.   “Anak muda, Syukuri apa yang kau punya. Kelak ketika kau kehilangan milikmu, mungkin kau akan menyesal dan tak bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik darinya.” Arya terdiam sejenak, matanya tak lepas menatap Sang Mahaguru yang sangat bijaksana, “Baik, Mahaguru. Aku akan berusaha mensyukuri Istriku.” “Dan hidupmu…” sambung Mahaguru. “Ya, dan hidupku. Aku akan mensyukuri segalanya.” “Apakah Dewi Naraya memperlakukanmu dengan baik?” “Dia sangat baik. Dia tergila-gila padaku. Menurutnya aku sangat tampan dan aku setuju dengan pendapatnya. Aku memang tampan, hanya Dewi Kencana bodoh yang tak melihat ketampananku.” Tawa kecil terbit dari Mahaguru, namun ia menghentikannya segera setelah Arya menoleh dan menatap penuh tanya. “Apakah ada yang lucu dalam kata-kataku?” tanya Arya dengan raut polosnya. “Dia tidak bodoh. Dewi Kencana Arum Sari adalah gadis kecil yang sangat pintar. Dia tahu potensimu dan menolak segala jenis resiko yang datang bersamamu…” “Aku tidak mengerti maksud Anda, Mahaguru?” Arya terbengong-bengong menatap Mahaguru. Benaknya dipenuhi tanya, potensi macam apa yang dilihat oleh Dewi Kencana di dalam dirinya sehingga lebih memilih menolak tawarannya. “Dewi Kencana memiliki kakak yang berakhir buruk di tanah Salakanagara. Sudah pasti, Ia tak akan mau mengulang nasib buruk yang menimpa kakaknya. Apalagi Anak muda yang mendekatinya adalah pria dengan mulut manis dan penuh godaan sepertimu. Ia takkan menerima pria yang pandai merayu…” “Anda mengetahui banyak hal di ibu kota padahal Anda selalu menyepi di sini, bagaimana bisa? Oh ya, dan aku bukan pria yang pandai merayu, aku hanya tahu apa yang disukai wanita.” “Sesekali aku turun gunung. Dan Arya, kau terlihat sangat pandai merayu bahkan aku bisa melihatnya sejak pertama kali berjumpa.” “T – Tapi buktinya aku telah gagal merayunya, Hmnn! menurut Anda apa yang harus aku lakukan untuk meluluhkan hati Dewi Kencana?” “Bukankah kau sudah memiliki Naraya? Cukuplah dengan satu istri. Lebih dari satu, pening kepalamu anak muda!” “Kalau bisa dua, mengapa harus satu!” “Ck! Putra Wicaksana sungguh merepotkan.” Desis Mahaguru. “Mahaguru, itu – itu hanya pendapatku. Aku tidak bermaksud untuk merepotkan Anda.” “Kalau ingin menjadi muridku, kau hanya boleh memiliki satu istri. Karena kau harus berlatih dengan giat dan fokus, tidak boleh terkecoh oleh kedua istrimu yang pasti akan banyak berseteru memperebutkan perhatianmu.” Arya bangkit dari baringnya dan bersimpuh di samping Mahaguru sambil menyatukan tangan dengan sikap memohon penuh kesungguhan.  “Baik, Mahaguru. Jika engkau menerimaku sebagai murid. Aku akan melaksanakan perintah itu. Aku hanya akan memperistri Dewi Naraya dan melupakan Dewi Kencana.”     Mahaguru pun ikut bangkit dari baring, kemudian berdiri dan menyatukan tangan di belakang punggung. “Mulai hari ini kau adalah muridku. Kau telah berhasil membuktikan kesungguhan dan keberanianmu, anak muda.” Arya terkesiap, matanya membelalak, dan wajahnya mendongak sempurna untuk menatap Mahaguru yang menjulang tinggi di depannya. “Dan kau harus menepati segala janjimu.” “Terima kasih, Mahaguru. Akan aku melaksanakan seluruh janji itu. Terima kasih. Terima kasih banyak!” Mahaguru tanpa nama itu pun mengangguk puas, lalu berbalik dan berjalan menjauh. “Ayo kita kembali ke rumah dan mulai berlatih.” Arya pun segera mengekor di belakang Mahagurunya dengan senang hati. Pada awalnya ia sangat menolak ide sang ayahanda yang ingin menjadikan pria tanpa nama itu sebagai gurunya, tapi kini Arya justru menjadi pihak yang sangat terobsesi dan ingin menjadi murid dari pria hebat sepertinya. Dengan suasana hati baik dan puas, ia melangkah riang dan berjalan dengan penuh senyuman. Hingga tak terasa sebentar lagi mereka akan sampai di rumah gubug sederhana miliki Mahaguru di tengah hutan. Langkah Arya terhenti tiba-tiba tatkala Mahaguru berhenti tanpa aba-aba di depannya. Arya bisa melihat dalam keremangan jika punggung Mahaguru waspada dan tegang. Ia menoleh menatap Arya dengan mata membelalak. Arya pun ikut membelalak penuh tanya. “Kau mengatakan tempat ini kepada teman-temanmu?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN