“Kau mengatakan tempat ini kepada teman-temanmu?”
Arya mengerjap mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan nada yang sangat rendah tersebut. Matanya tak lepas menatap bagaimana Mahaguru meniup obor hingga padam dan menghilangkan satu-satunya sumber cahaya paling dekat yang menjadi tuntunan bagi keduanya.
“T – Tidak, Mahaguru! Aku tidak memberi tahu siapapun tentang tempat ini seperti perintah Ayahanda.”
Mahaguru menarik nafas berat kemudian menghembuskannya dengan cepat. Sementara Arya bersikap waspada saat melihat bagaimana tegangnya wajah Sang Mahaguru.
Arya mencium adanya aroma bahaya yang mengelilingi lingkungan mereka. Walau suasana hutan sepi seolah tak terdapat pergerakan sama sekali selain dari binatang-binatang kecil, namun Arya tahu bahwa sikap Mahaguru menunjukkan adanya ancaman musuh yang cukup dekat dengan mereka. Musuh yang tersembunyi dalam kegelapan.
“Mahaguru… Aku bersumpah…”
“Jaga mulutmu. Mereka tak akan tahu tempat ini selain dari kalian berdua.” Desis Mahaguru sebelum berbalik membelakangi Arya dan kembali menghadapi gelapnya hutan.
“Anda tahu jika aku dan ayahku…”
Sebuah suara tarikan busur panah terdengar samar-samar.
“Mereka cukup dekat!” pekik Arya.
“Ya, cukup dekat untuk membunuhmu dengan sekali serangan sederhana.”
Seluruh tubuh Arya menegang ketika suara busur terlepas merasuki telinganya. Pada detik itu juga, ia merasakan tarikan tangan Mahaguru yang menyeretnya ke belakang sebuah pohon besar yang mungkin telah berusia puluhan tahun lamanya.
Arya hampir terkesiap keras saat sebuah panah yang sangat tajam dengan symbol bulu merak tertancap di batang pohon tempatnya bersembunyi.
“Panah dengan symbol bulu merak yang sangat khas milik Kerajaan Salaka!” Seru Arya dalam hati.
“Ingat baik-baik, apakah kau pernah mengungkit rencana perjalananmu ke orang lain selain ayahmu?” bisik Mahaguru tanpa menatap Arya. Matanya Waspada menatap sekeliling pohon yang menjadi tempat persembunyian mereka.
Apakah dirinya pernah mengungkit rencana perjalanan ini?
“Tidak. Aku hanya berkata kepada istriku – Dewi Naraya. Bahwa aku harus pergi melaksanakan tugas dari ayahanda.”
“Apakah kau berkata pada istrimu bahwa ia tak boleh menyebarkan berita tentang kepergianmu?”
Arya menepuk kening, “Aku tidak mengatakannya.”
“Anak bodoh! Bukankah Wicaksana telah melarangmu untuk mengatakan ini kepada semua orang, bahkan kepada ibumu sendiri. Lalu mengapa kau justru mengatakannya kepada istrimu!”
“A – Aku… Mohon ampuni aku Mahaguru. Aku telah lalai melakukan tugasku.”
“Ya, kau telah lalai, Arya. Kini mereka membawa pasukan yang sangat banyak dan telah mengepung hutan ini untuk memerangkap kita berdua. Bisa jadi kau tidak akan pernah berhasil kembali ke pusat kota untuk menemui keluargamu selamanya.”
Arya pucat pasi setelah mendengar pernyataan Mahaguru, “T – Tidak boleh. Aku harus berhasil kembali ke pusat kota. Semua keluargaku pasti sudah menunggu kepulanganku. Dewi Naraya pasti akan menangis sedih jika aku tak kembali.”
“Bagus, teruslah berpikir seperti itu.” Sahut Mahaguru. “Bertahanlah sekuat yang kau mampu sambil memikirkan keluargamu!”
“Baik, Mahaguru.”
“Keluarkan pedangmu.” Perintah Mahaguru.
“Kita akan melawan semua prajurit yang sangat banyak itu?”
“Kau putra Wicaksana – Salah satu Prajurit tangguh di Kerajaan Salaka. Akan memalukan jika kau melarikan diri tanpa perlawanan sama sekali. Keluarkan kemampuan terbaikmu.”
Arya mengangguk, kemudian mengeluarkan pedang dari saku pinggangnya. Arya menatap kilatan pedang ditengah malam yang remang itu dan Mahaguru bergantian.
Sebenarnya siapa lelaki ini?
Orang dengan penampilan berantakan, tak terurus namun memiliki ilmu yang sangat tinggi dibandingkan manusia pada umumnya?
Lalu mengapa ia harus bersembunyi di tengah hutan dan menyepi seorang diri?
Apa yang sebenarnya dia hindari?
“Apakah Anda…”
“Tidak ada waktu untuk mengurus keingintahuanmu itu.”
Suara tarikan busur panah lainnya terdengar, kini tidak hanya satu, namun beberapa sekaligus. Arya bisa menebaknya bahkan hanya dengan suara samar-samar.
Kondisi malam di hutan terasa hening. Keheningan yang tidak wajar dan membuat Arya bertanya-tanya. Jika sebelumnya Arya merasa damai dan nyaman, kini keheningan itu berubah mencekam karena adanya serangan bahaya yang mengancam mereka.
Arya mendengar pelepasan busur panah dari kiri dan kanan, dan ia bersiap untuk melarikan diri dari tempatnya berdiri. Namun tangan Mahaguru menariknya, menyembunyikan Arya dibalik punggung lebar dan kokohnya. Pria berjenggot tebal dan selalu menggunakan topi caping dimalam hari pun itu mengayunkan pedangnya dengan sangat ringan ke kiri dan kanan. Ayunan pedang itu ternyata berhasil menangkis setiap panah yang mengarah kepada mereka.
Panah-panah itu bernasib buruk, teronggok di atas dedaunan dan akar pohon yang sangat besar. Arya terperangah melihat kemampuan Mahaguru dalam menangkis setiap anak panah hanya dengan gerakan pedang sederhana. Bahkan mata Arya menatap mata pedang yang berkilat-kilat di tengah kegelapan malam. Pedang Mahaguru sangat indah, besar dan kuat. Pedang yang bisa menangkit lesatan panah yang tajam dan kencang.
Arya mempertajam matanya, ia seperti melihat sesuatu yang aneh pada ujung pedang itu – tepat di bagian pegangan tangan Mahaguru.
Detik berikutnya, Arya dikejutkan oleh apa yang telah dia saksikan dengan kedua matanya.
Simbol harimau!
Simbol harimau adalah….
Arya menatap punggung Mahaguru tak percaya. Matanya menatap symbol dan punggung Mahaguru berganti-gantian. Harimau adalah symbol khusus milik Seorang Jenderal Perang paling legendaris di Kerajaan Salaka.
“Rajasa…” gumam Arya. “Kartajaya…” Mata Arya bersinar bak bulan di tengah gelapnya malam.
Orang ini… orang yang dikunjunginya ini adalah seorang Raja yang menghilang bertahun-tahun lamanya.
Raja hebat yang menjadi pemberontak…
Musuh tertinggi Kerajaan Salaka karena telah membunuh Yang Mulia Raja Dewawarman VIII – ayahandanya sendiri karena alasan yang tidak diketahui kebenarannya. Banyak masyarakat yang menolak tuduhan terhadap Putra Mahkota Kartajaya, namun rezim Ratu Prabawati yang kejam telah melarang semua orang untuk membela Kartajaya, bahkan mengungkit nama Kartajaya adalah sebuah dosa yang takkan bisa diterima olehnya. Barangsiapa yang melanggar, maka mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal.
“Tutup mulutmu!” desis Mahaguru.
Jadi selama ini ia telah mengunjungi pria legendaris yang hanya didengarnya melalui cerita rakyat. Dongeng yang sering diceritakan Ayahnya. Sosok yang namanya sangat harum semerbak, nama yang tak pernah dilupakan oleh seluruh masyarakat. Walau sudah bertahun-tahun berlalu, tapi ia masih dipercaya akan kebersihan tangannya dari semua fitnah yang telah kejam menghancurkannya.
Dia adalah sosok agung. Sosok yang dihormati dan dicintai dengan sepenuh hati!
Lesatan panah selanjutnya mengudara, dan lagi-lagi berhasil ditepis dengan mudah oleh pedang harimau yang dipegang Yang Mulia Kartajaya.
“Apakah kalian sedang berburu binatang?” seru Yang Mulia kepada para musuhnya.
“Jangan mempermalukan Salakanagara dengan bersikap pengecut. Turun dan bertarunglah selayaknya petarung yang terhomat!”
“Yang Mulia, Anda telah mencari bencana untuk kita.”
“Bencana untuk membebaskanmu dari rasa malu. Mati bertarung lebih terhormat daripada mati menjadi binatang buruan!”
Suara gemerisik dedaunan terdengar dari seluruh sisi hutan. Para prajurit Yang Mulia Ratu Prabawati sangatlah banyak dan bersiap menyerbu mereka berdua. Mereka menuruni pepohonan dengan suara berisik dan langkah kaki mereka pun menggetarkan keberanian Arya seketika.
“Mereka berjumlah sangat banyak.” Arya mulai gelisah, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan dengan penuh kewaspadaan.
“Ya, mereka adalah satu regu pasukan perang yang berjumlah puluhan orang. Mereka tahu kalau mereka tak akan bisa menang jika hanya pasukan kecil yang dikirimkan.”
“A – Aku… sepertinya benar-benar tak bisa menemui keluargaku lagi…” lirih Arya.
***