17. Antara Aldika dan Fathan

1914 Kata

“Aduh, duh, duh! Sakit, Mas! Yang pelan nempelinnya.” Benturan benda keras tadi membuat leherku memar. Sakitnya baru kerasa ketika aku menoleh. Awalnya kupikir baik-baik saja karena benturan itu hanya sekilas sekalipun memang keras. Mas Al yang tadinya hendak pulang akhirnya membawaku ke taman samping supermarket. Leher yang memar adalah bagian samping agak ke belakang. Bagian itu terhantam dengan kuat sampai membuatku terdorong ke depan. Mengetahui memar di leherku agak parah, Mas Al segera membeli es batu satu plastik di angkringan terdekat lalu membungkusnya dengan sapu tangan. Katanya, kompres yang baik untuk luka memar adalah air dingin. “Makanya, lain kali hati-hati!” “Kok bisa ngomong gitu—aduh!” Aku hendak menoleh, tetapi aku sudah keburu meringis karena memarnya terasa sa

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN